Mohon tunggu...
Doni Swadarma
Doni Swadarma Mohon Tunggu... -

Menghabiskan masa kecil sampai SMA-nya di seputaran terminal Blok M, setelah menyelesaikan pendidikannya di Teknik Sipil UI, mendedikasikan diri di dunia pendidikan sambil mengamati banyak hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Do'a Si Bukan Siapa-Siapa

14 Oktober 2015   05:41 Diperbarui: 14 Oktober 2015   05:41 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadirilah Pengajian rutin bulanan di Masjid Jami’Al Ikhlas dengan tema “Meraih Kemenangan Ramadhan” bersama Ustadz Felix Siauw .

Ini adalah kejadian nyata, walaupun tidak persis sama. Saya bukanlah siapa-siapa, suatu siang sebuah postingan di FB mampir di berandaku. Postingan yang berisi ajakan mengikuti kegiatan pengajian. Mengingat lokasi masjidnya cukup dekat dengan tempat tinggalku dan lagi pembicaranya adalah ustadz yang cukup kondang maka saya segera mengshare postingan tersebut dengan harapan makin banyak orang yang tahu dan bisa ikut hadir dalam majelis ilmu tersebut.

Tapi apa nyana, sebuah komentar bernada sinis dari seorang friend list yang tidak begitu saya kenal muncul dalam waktu relatif cepat.

Friend list        : “Mau ngapain lagi si kwetiaw? kalo mau belajar Islam di pesantren, jangan sama orang kayak dia…”

Saya                : “Memangnya kenapa mas?”

Friend list        : “Felix kweiaw itu kan mau makar! dia itu orang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dia ngisi-ngisi pengajian begitu                                tujuannya cuma mau mencari massa! ujung- ujungnya uang juga!”

Saya                :  “Mau makar bagamana maksudnya mas?”

Friend list        : ”HTI itu ingin mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah, kalau saya menhankam pasti saya tangkap si                                        kwetiaw itu! Saya belajar Islam di pesantren, selama saya belajar tidak ada satu ayat pun di Al Qur’an yang                                  bicara tentang  pemerintahan Islam. Saya siap jihad melawan HTI untuk mempertahankan Islam warna warni                              khas nusantara yang ramah dan toleran!”

Sampai sini saya merenung. Apakah saya harus melanjutkan pembicaraan di wall FB ini atau tidak? saya malu untuk melanjutkan, sebab siapapun bisa melihat dan membacanya. Tapi, baiklah saya coba memberi sedikit jawaban. Saya pun mengetik beberapa kalimat….

Saya                : “Saya sangat mendukung Islam Nusantara yang penuh warna warni, toleransi  dan ramah, perlu Anda ketahui                               saya bukanlah anggota atau simpatisan HTI,  saya  hanya    mendukung kegiatan kajian Islam oleh Ustadz Felix,                           karena yang  saya ketahui pada pengajian sebelumnya beliau mengajak umat untuk tidak   meninggalkan sholat,                          memperbaiki akhlak, meningkatkan keimanan pada Allah  SWT dan hal-hal kebaikan lainnya yang sudah                                        termaktub dalam ajaran Islam.  Perkara Ustad Felix adalah aktivis HTI saya tidak melihat “benderanya”,  karena                            lebih mementingkan isi ceramahnya. Sekalipun ternyata beliau mengajak-  ajak pembentukan khilafah, saya rasa                          kita punya pemikiran sendiri yang tak harus sama dengannya. Saya lebih mementingkan sinergi  daripada friksi”.

Friend list        : Anda ini jadi orang harus tegas dan punya prinsip, si Kwetiau ini orang Cina yang baru belajar Islam, udah mau                           sok-sokan! NKRI itu harga mati!

Oke, cukup. Saya tidak mau melanjutkan debat kusir ini. Bukannya saya tidak setuju dengan NKRI, ataupun dengan Islam Nusantara, justru sayapun turut menjadi barisan pendukungnya. Namun, mengapa bila ada saudara seiman yang memiliki pendapat berbeda, kita seperti sulit berdialog untuk mencari titik temunya. Kebanyakan yang ditonjolkan duluan hanyalah ototnya saja.

Apa sulitnyanya untuk membuka ruang dialog? Saya saja yang bukan siapa-siapa, malu rasanya dengan saudara kita yang non muslim. “Masa’ sesama muslim bertengkar, katanya islam artinya damai?  tapi kok nyatanya sesama Islam gak pernah bersatu, cakar-cakaran terus”, begitu mungkin yang ada di benak mereka.

Sebenarnya bukan kali ini saja saya “bersitegang” dengan sesama saudara seiman. Jauh sebelumnya, saat saya masih aktif menjadi Pembina kerohanian Islam di sebuah SMA, acapkali pihak sekolah, terutama guru agamanya malah menaruh curiga kepada saya. Para guru dan kepala sekolah kawatir bila saya akan melakukan brain washing  terhadap anak murid di sekolah tersebut.  Khawatir sekaligus takut bila saya akan membawa ajaran wahabi radikal yang mengarah pada terorisme pada anak didik mereka.

Padahal saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah alumni sekolah tersebut yang merasa miris dengan tingkah polah pergaulan remaja saat ini. Saya merasa terpanggil untuk mengajak  adik kelas saya, siswa siswi SMA di sekolah tersebut untuk mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positip berupa kajian kerohanian Islam. Dengan harapan anak-anak tersebut  semakin mendekatkan diri pada ajaran agama Islam guna menangkal derasnya  pergaulan bebas seperti free sex, drugs, geng motor, bullying, tawuran dan lain-lain.

Tapi apa daya, walaupun saya sudah mencoba menjelaskan, bahwa saya bukanlah seperti yang mereka sangkakan, namun tetap saja pintu telah tertutup rapat. Saat ini saya dianggap hanyalah orang luar yang patut dicurigai. Tak boleh masuk, tak boleh berinteraksi.

Saya paham dan menghargai kebijakan sekolah tersebut. Berita tentang “teroris Islam” memang telah santer ke mana-mana. Mulai dari Imam Samudra, Nordin M.Top, Osama Bin Laden, dan ISIS. Dampaknya: Islamphobia merebak. Orang Islam jadi takut pada orang Islam, orang Islam jadi takut mempelajari agamanya sendiri. Sedangkan mereka yang membenci Islam ramai bersorak sorai dan bertepuk tangan………

Nasib serupa dialami teman saya. Ia harus menghentikan kegiatan kerohanian Islamnya juga, namun dengan alasan sedikit berbeda. Oleh pihak sekolah ia dianggap sebagai kader PKS dan dituding mencoba menyebarluaskan pengaruh politiknya di sekolah tersebut. Sedangkan sekolah tersebut adalah sekolah Muhammadiyah yang kepala sekolahnya merupakan  kader PAN……..

Inilah realita yang ada. Saya hanya bisa sedih, seraya berdoa :

Ya Allah, saya bukanlah siapa-siapa …

Ya Allah, saya hanya mendambakan, kapankah umatMu ini menjadi umat yang satu?

Umat yang saling bahu membahu satu sama lainnya.

Umat yang ikut merasakan sakit bila ada saudaranya sedang merasa sakit.

Umat yang saling menjaga kehormatan dirinya dengan tidak mengumbar keburukan satu sama lainnya.

Umat yang memiliki izzah sehingga tidak bisa diremehkan oleh mereka yang suka mencela.

Ya Allah di saat umatMu saling berhadap-hadapan, musuh-musuhMu mengoyak-ngoyak kami bagaikan berebut kue di hidangan.

Kami lemah tanpa persatuan. Satukanlah kami Ya Allah sebagaimana dulu NabiMu menyatukan hati-hati kami dengan keimanan. Kuatkan kami Ya Allah sebagaimana dulu Umar menguatkan kami dengan penuh keteguhan. Sabarkanlah kami menghadapi ujianMu ini Ya Allah sebagaimana dulu Abu Bakar sabar menanti datangnya pertolongan……

Doni Swadarma

12 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun