Mohon tunggu...
Doni Swadarma
Doni Swadarma Mohon Tunggu... -

Menghabiskan masa kecil sampai SMA-nya di seputaran terminal Blok M, setelah menyelesaikan pendidikannya di Teknik Sipil UI, mendedikasikan diri di dunia pendidikan sambil mengamati banyak hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Do'a Si Bukan Siapa-Siapa

14 Oktober 2015   05:41 Diperbarui: 14 Oktober 2015   05:41 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke, cukup. Saya tidak mau melanjutkan debat kusir ini. Bukannya saya tidak setuju dengan NKRI, ataupun dengan Islam Nusantara, justru sayapun turut menjadi barisan pendukungnya. Namun, mengapa bila ada saudara seiman yang memiliki pendapat berbeda, kita seperti sulit berdialog untuk mencari titik temunya. Kebanyakan yang ditonjolkan duluan hanyalah ototnya saja.

Apa sulitnyanya untuk membuka ruang dialog? Saya saja yang bukan siapa-siapa, malu rasanya dengan saudara kita yang non muslim. “Masa’ sesama muslim bertengkar, katanya islam artinya damai?  tapi kok nyatanya sesama Islam gak pernah bersatu, cakar-cakaran terus”, begitu mungkin yang ada di benak mereka.

Sebenarnya bukan kali ini saja saya “bersitegang” dengan sesama saudara seiman. Jauh sebelumnya, saat saya masih aktif menjadi Pembina kerohanian Islam di sebuah SMA, acapkali pihak sekolah, terutama guru agamanya malah menaruh curiga kepada saya. Para guru dan kepala sekolah kawatir bila saya akan melakukan brain washing  terhadap anak murid di sekolah tersebut.  Khawatir sekaligus takut bila saya akan membawa ajaran wahabi radikal yang mengarah pada terorisme pada anak didik mereka.

Padahal saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah alumni sekolah tersebut yang merasa miris dengan tingkah polah pergaulan remaja saat ini. Saya merasa terpanggil untuk mengajak  adik kelas saya, siswa siswi SMA di sekolah tersebut untuk mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positip berupa kajian kerohanian Islam. Dengan harapan anak-anak tersebut  semakin mendekatkan diri pada ajaran agama Islam guna menangkal derasnya  pergaulan bebas seperti free sex, drugs, geng motor, bullying, tawuran dan lain-lain.

Tapi apa daya, walaupun saya sudah mencoba menjelaskan, bahwa saya bukanlah seperti yang mereka sangkakan, namun tetap saja pintu telah tertutup rapat. Saat ini saya dianggap hanyalah orang luar yang patut dicurigai. Tak boleh masuk, tak boleh berinteraksi.

Saya paham dan menghargai kebijakan sekolah tersebut. Berita tentang “teroris Islam” memang telah santer ke mana-mana. Mulai dari Imam Samudra, Nordin M.Top, Osama Bin Laden, dan ISIS. Dampaknya: Islamphobia merebak. Orang Islam jadi takut pada orang Islam, orang Islam jadi takut mempelajari agamanya sendiri. Sedangkan mereka yang membenci Islam ramai bersorak sorai dan bertepuk tangan………

Nasib serupa dialami teman saya. Ia harus menghentikan kegiatan kerohanian Islamnya juga, namun dengan alasan sedikit berbeda. Oleh pihak sekolah ia dianggap sebagai kader PKS dan dituding mencoba menyebarluaskan pengaruh politiknya di sekolah tersebut. Sedangkan sekolah tersebut adalah sekolah Muhammadiyah yang kepala sekolahnya merupakan  kader PAN……..

Inilah realita yang ada. Saya hanya bisa sedih, seraya berdoa :

Ya Allah, saya bukanlah siapa-siapa …

Ya Allah, saya hanya mendambakan, kapankah umatMu ini menjadi umat yang satu?

Umat yang saling bahu membahu satu sama lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun