Oke, cukup. Saya tidak mau melanjutkan debat kusir ini. Bukannya saya tidak setuju dengan NKRI, ataupun dengan Islam Nusantara, justru sayapun turut menjadi barisan pendukungnya. Namun, mengapa bila ada saudara seiman yang memiliki pendapat berbeda, kita seperti sulit berdialog untuk mencari titik temunya. Kebanyakan yang ditonjolkan duluan hanyalah ototnya saja.
Apa sulitnyanya untuk membuka ruang dialog? Saya saja yang bukan siapa-siapa, malu rasanya dengan saudara kita yang non muslim. “Masa’ sesama muslim bertengkar, katanya islam artinya damai? tapi kok nyatanya sesama Islam gak pernah bersatu, cakar-cakaran terus”, begitu mungkin yang ada di benak mereka.
Sebenarnya bukan kali ini saja saya “bersitegang” dengan sesama saudara seiman. Jauh sebelumnya, saat saya masih aktif menjadi Pembina kerohanian Islam di sebuah SMA, acapkali pihak sekolah, terutama guru agamanya malah menaruh curiga kepada saya. Para guru dan kepala sekolah kawatir bila saya akan melakukan brain washing terhadap anak murid di sekolah tersebut. Khawatir sekaligus takut bila saya akan membawa ajaran wahabi radikal yang mengarah pada terorisme pada anak didik mereka.
Padahal saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah alumni sekolah tersebut yang merasa miris dengan tingkah polah pergaulan remaja saat ini. Saya merasa terpanggil untuk mengajak adik kelas saya, siswa siswi SMA di sekolah tersebut untuk mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positip berupa kajian kerohanian Islam. Dengan harapan anak-anak tersebut semakin mendekatkan diri pada ajaran agama Islam guna menangkal derasnya pergaulan bebas seperti free sex, drugs, geng motor, bullying, tawuran dan lain-lain.
Tapi apa daya, walaupun saya sudah mencoba menjelaskan, bahwa saya bukanlah seperti yang mereka sangkakan, namun tetap saja pintu telah tertutup rapat. Saat ini saya dianggap hanyalah orang luar yang patut dicurigai. Tak boleh masuk, tak boleh berinteraksi.
Saya paham dan menghargai kebijakan sekolah tersebut. Berita tentang “teroris Islam” memang telah santer ke mana-mana. Mulai dari Imam Samudra, Nordin M.Top, Osama Bin Laden, dan ISIS. Dampaknya: Islamphobia merebak. Orang Islam jadi takut pada orang Islam, orang Islam jadi takut mempelajari agamanya sendiri. Sedangkan mereka yang membenci Islam ramai bersorak sorai dan bertepuk tangan………
Nasib serupa dialami teman saya. Ia harus menghentikan kegiatan kerohanian Islamnya juga, namun dengan alasan sedikit berbeda. Oleh pihak sekolah ia dianggap sebagai kader PKS dan dituding mencoba menyebarluaskan pengaruh politiknya di sekolah tersebut. Sedangkan sekolah tersebut adalah sekolah Muhammadiyah yang kepala sekolahnya merupakan kader PAN……..
Inilah realita yang ada. Saya hanya bisa sedih, seraya berdoa :
Ya Allah, saya bukanlah siapa-siapa …
Ya Allah, saya hanya mendambakan, kapankah umatMu ini menjadi umat yang satu?
Umat yang saling bahu membahu satu sama lainnya.