Mohon tunggu...
Doni Rahma
Doni Rahma Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Panggil saja oey

akun ini hanya menyalurkan apa yang ada di otak saya. kemudian merangkainya menjadi frasa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Terjajah di Kampus Merdeka

12 November 2024   13:39 Diperbarui: 12 November 2024   13:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Berbicara soal kampus, teringat dengan salah satu kalimat yang paling sering dibicarakan di kalangan sivitas akademika, barangkali ini juga sudah menjadi sebuah doktrin, bahwa kampus adalah miniatur sebuah negara. 

Kemudian, dari situ mulai muncul pertanyaan kalau memang kampus diibaratkan sebagai sebuah negara maka syarat berdirinya sebuah kampus selain memiliki sivitas akademika pastilah sudah jelas salah satunya yakni kemerdekaan (merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan nasib). Namun, apabila melihat kondisi per hari ini, apakah benar jika kampus yang sering dikatakan miniatur negara sudah sepenuhnya mendapat kemerdekaan?

Kampus sebagai salah institusi pendidikan di negeri ini masih menyimpan berbagai persoalan yang belum tuntas. Entahlah, bukan kampus namanya kalau tidak luput dengan namanya persoalan. Barangkali itu yang menjadi ciri khas. Mulai dari biaya pendidikan yang semakin mahal bagi para mahasiswanya lalu dari sisi dosen pun beban akademik masih menjadi belenggu sampai merambah dalam persoalan kebebasan berekspresi. 

Salah satu persoalannya adalah kampus yang seharusnya menjadi tempat kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat pun sekarang kian dibatasi ruangnya. Terbukti dengan berbagai kegiatan mahasiswa jika itu bertentangan dengan citra kampus seringkali tidak akan mendapatkan izin. 

Semua harus tunduk dan patuh dengan setiap pendapat yang dikeluarkan institusi kampus. Tidak ada yang diizinkan berpikir merdeka dengan menempuh jalan yang berbeda. Barangkali berbeda pendapat dengan institusi kampus adalah hal yang salah dan haram untuk dilakukan. Konsekuensinya tidak main-main seperti surat teguran, pembekuan atau lebih parah lagi berujung pada pemecatan. 

Padahal negara sudah menjamin hak warga negaranya untuk bebas menyampaikan pendapat. Mengutip dari pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" manifestasi kebebasan tersebut pun bisa berupa tulisan baik secara cetak maupun digital.

Kasus pembekuan BEM FISIP UNAIR oleh dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR), Prof. Bagong Suyanto Drs., Msi, adalah salah satu dari sekian contoh kebebasan berpendapat yang berupaya dibatasi oleh institusi kampus. 

Pembekuan tersebut merupakan reaksi fakultas berawal dari aksi pembuatan karangan bunga ucapan selamat pelantikan kepada presiden terpilih yang dibuat oleh BEM lewat teman-teman Politik dan Kajian Strategis (POLSTRAT) pada tanggal 22 Oktober lalu. Tujuan pihak fakultas melakukan pembekuan tidak lain adalah membungkam dan mengontrol BEM FISIP. Padahal kebebasan bagi sivitas akademika wajib hukumnya untuk ditegakkan. 

Ruang kebebasan itu jangan sesekali diganggu gugat, dipermainkan apalagi dipolitisasi demi kepentingan elit politik. Mengutip data Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) sepanjang tahun 2023-2024 setidaknya terdapat 24 kasus pelanggaran akademik dengan sebagian besar korban kasus ini berada pada kalangan mahasiswa dan dosen. Data tersebut menjadi sebuah keprihatinan sekaligus bukti bahwa kampus masih belum sepenuhnya merdeka.

Kampus selain disebut miniatur dari sebuah negara ternyata juga sekaligus menjadi sebuah ekosistem. Kampus adalah tempat bagi komponen sivitas akademika melakukan hubungan timbal balik dengan cara mengeluarkan pengetahuan baru. Sehingga apabila kampus sudah dianggap menjadi ekosistem maka keberadaanya harus dirawat. 

Suatu ekosistem dikatakan bagus apabila kondisi tiap komponen penyusunnya berada pada porsi yang seimbang serta menjalankan fungsi masing-masing. Namun, apabila ekosistem kampus ini rusak niscaya cepat atau lambat reproduksi pengetahuan baru juga akan punah. Tanda awal kepunahan ekosistem adalah Menguatnya otoritarianisme di dalam kampus.

Pihak kampus sebagai salah satu komponen telah berubah menjadi benalu yang menjadi ancaman para sivitas akademika. Berubahnya kampus menjadi benalu ini juga disebabkan oleh turut andilnya pemerintah dalam dinamika kampus. Idealnya pemerintah itu hanya sebatas sebagai steering yang bertugas pada tataran mengawasi dan mendukung jalan kegiatan kampus. 

Namun, faktanya pemerintah dalam menjalankan fungsinya pun sudah melampaui dari apa yang seharusnya. 

Hari ini, pemerintah sudah masuk kedalam ekosistem akademik dengan dalih mendisiplinkan institusi kampus sebagai rumah pengetahuan. Padahal seharusnya guna mengembangkan ilmu pengetahuan pemerintah dilarang untuk ikut campur ke internal kampus terlalu dalam. Kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bagi para sivitas akademika adalah sebuah prinsip yang harus dipahami. 

Prinsip tersebut menyangkut hak-hak para sivitas akademika untuk tidak direpresif guna terciptanya ekosistem pengetahuan yang inklusif. Selama ini sivitas akademika dihantui rasa takut akan bayang-bayang sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah lewat institusi kampus. Sanksi itu membuat perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia menjadi stagnan sejalan dengan aksi kebebasan berpikir yang terus dibatasi.

Kampus adalah Praesidium libertatis. Tempat dimana benteng dari kebebasan untuk menyatakan berbagai pendapat serta kritik lantang disuarakan. Kampus juga harus tetap menjadi check and balances terhadap ekosistem segala dinamika kenegaraan. Jangan sampai Otorianisme gaya baru yang dibungkus dengan label demokrasi berhasil menjajah kampus. 

Kampus sudah semestinya menjadi ruang merdeka bagi para sivitasnya. Apabila kondisi ini belum sepenuhnya tercapai maka harus segera disadari bahwa kita sedang terjajah di kampus yang katanya merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun