Berbicara soal kampus, teringat dengan salah satu kalimat yang paling sering dibicarakan di kalangan sivitas akademika, barangkali ini juga sudah menjadi sebuah doktrin, bahwa kampus adalah miniatur sebuah negara.Â
Kemudian, dari situ mulai muncul pertanyaan kalau memang kampus diibaratkan sebagai sebuah negara maka syarat berdirinya sebuah kampus selain memiliki sivitas akademika pastilah sudah jelas salah satunya yakni kemerdekaan (merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan nasib). Namun, apabila melihat kondisi per hari ini, apakah benar jika kampus yang sering dikatakan miniatur negara sudah sepenuhnya mendapat kemerdekaan?
Kampus sebagai salah institusi pendidikan di negeri ini masih menyimpan berbagai persoalan yang belum tuntas. Entahlah, bukan kampus namanya kalau tidak luput dengan namanya persoalan. Barangkali itu yang menjadi ciri khas. Mulai dari biaya pendidikan yang semakin mahal bagi para mahasiswanya lalu dari sisi dosen pun beban akademik masih menjadi belenggu sampai merambah dalam persoalan kebebasan berekspresi.Â
Salah satu persoalannya adalah kampus yang seharusnya menjadi tempat kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat pun sekarang kian dibatasi ruangnya. Terbukti dengan berbagai kegiatan mahasiswa jika itu bertentangan dengan citra kampus seringkali tidak akan mendapatkan izin.Â
Semua harus tunduk dan patuh dengan setiap pendapat yang dikeluarkan institusi kampus. Tidak ada yang diizinkan berpikir merdeka dengan menempuh jalan yang berbeda. Barangkali berbeda pendapat dengan institusi kampus adalah hal yang salah dan haram untuk dilakukan. Konsekuensinya tidak main-main seperti surat teguran, pembekuan atau lebih parah lagi berujung pada pemecatan.Â
Padahal negara sudah menjamin hak warga negaranya untuk bebas menyampaikan pendapat. Mengutip dari pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" manifestasi kebebasan tersebut pun bisa berupa tulisan baik secara cetak maupun digital.
Kasus pembekuan BEM FISIP UNAIR oleh dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR), Prof. Bagong Suyanto Drs., Msi, adalah salah satu dari sekian contoh kebebasan berpendapat yang berupaya dibatasi oleh institusi kampus.Â
Pembekuan tersebut merupakan reaksi fakultas berawal dari aksi pembuatan karangan bunga ucapan selamat pelantikan kepada presiden terpilih yang dibuat oleh BEM lewat teman-teman Politik dan Kajian Strategis (POLSTRAT) pada tanggal 22 Oktober lalu. Tujuan pihak fakultas melakukan pembekuan tidak lain adalah membungkam dan mengontrol BEM FISIP. Padahal kebebasan bagi sivitas akademika wajib hukumnya untuk ditegakkan.Â
Ruang kebebasan itu jangan sesekali diganggu gugat, dipermainkan apalagi dipolitisasi demi kepentingan elit politik. Mengutip data Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) sepanjang tahun 2023-2024 setidaknya terdapat 24 kasus pelanggaran akademik dengan sebagian besar korban kasus ini berada pada kalangan mahasiswa dan dosen. Data tersebut menjadi sebuah keprihatinan sekaligus bukti bahwa kampus masih belum sepenuhnya merdeka.
Kampus selain disebut miniatur dari sebuah negara ternyata juga sekaligus menjadi sebuah ekosistem. Kampus adalah tempat bagi komponen sivitas akademika melakukan hubungan timbal balik dengan cara mengeluarkan pengetahuan baru. Sehingga apabila kampus sudah dianggap menjadi ekosistem maka keberadaanya harus dirawat.Â
Suatu ekosistem dikatakan bagus apabila kondisi tiap komponen penyusunnya berada pada porsi yang seimbang serta menjalankan fungsi masing-masing. Namun, apabila ekosistem kampus ini rusak niscaya cepat atau lambat reproduksi pengetahuan baru juga akan punah. Tanda awal kepunahan ekosistem adalah Menguatnya otoritarianisme di dalam kampus.