Mohon tunggu...
Don Eskapete
Don Eskapete Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

who am i?

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Swalayan ADA Pati, Riwayatmu Dulu

9 Juni 2018   22:28 Diperbarui: 9 Juni 2018   22:50 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang hari raya idul fitri, tempat-tempat perbelanjaan seperti pasar tradisional, swalayan atau mal mulai ramai dikunjungi warga. Pakaian, makanan, dan barang kebutuhan yang lain akan dibeli warga untuk merayakan hari raya tersebut.

Jika ada pertanyaan  apakah pasar tradisional atau swalayan/mal yang menjadi tempat berbelanja favorit, maka saya akan menjawab semua tempat tersebut adalah tempat favorit bagi saya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Di pasar tradisional kita bisa melakukan tawar-menawar harga barang yang akan dibeli. Sementara mal atau swalayan menawarkan tempat yang lebih nyaman dan sejuk karena telah memiliki pengatur suhu ruangan.

Di Pati, pasar tradisional favorit saya adalah Pasar Rogowongso, warga lebih mengenalnya dengan nama Pasar Gowangsan. Alasannya simpel, di sinilah dulu almarhum ibu saya berjualan untuk membantu bapak mencukupi kebutuhan keluarga.

Sedangkan untuk swalayan, ada satu tempat yang lokasinya sangat dekat dengan rumah yaitu Swalayan ADA. Lokasinya ada di jalan Pemuda, Pati. Di belakang swalayan inilah rumah kami berada. Swalayan ini mulai ada sekitar tahun 2012, jadi termasuk masih baru.

Meski tak sebesar mal atau swalayan yang ada di kota-kota besar, swalayan ADA saat ini menjadi salah satu tempat berbelanja favorit bagi warga Pati. Swalayan ini memiliki 2 lantai, menyediakan berbagai barang kebutuhan seperti alat-alat tulis dan kantor, elektronik, pakaian, dan barang kebutuhan sehari-hari.

Pada tulisan kali ini saya akan menceritakan masa lalu dari swalayan ADA ini. Setidaknya seperti apakah bangunan sebelumnya yang ada sebelum swalayan tersebut didirikan, sesuai apa yang saya lihat sejak kecil.

Kapuk, komoditas perkebunan di masa lalu

Sebuah gudang kapuk dulu ada di lokasi yang kini menjadi swalayan ADA. Bentuknya berupa bangunan tembok dengan banyak ruang, dan sebuah tempat terbuka seperti lapangan di tengah-tengahnya. Tempat terbuka ini berlantai semen untuk menjemur kapuk, dan di atasnya dipasang jaring atau kelambu untuk menahan agar serat kapuk tidak beterbangan ke mana-mana.

Buah kapuk yang sudah tua atau sudah matang didatangkan dari beberapa tempat di sekitar Pati. Kemudian di gudang ini dilakukan pemisahan serat kapuk, klentheng (biji kapuk), dan kulit buah (selongsongnya).

Pohon kapuk atau yang disebut pohon randu dulu banyak ditemukan di tepi jalan hampir di semua daerah di Pati, bahkan seluruh Jawa. Lereng pegunungan Muria yang meliputi tiga kabupaten yaitu Pati, Kudus, dan Jepara menjadi salah satu tempat yang banyak ditanami pohon randu.

Konon pohon randu ini mulai ditanam pada masa kolonial Belanda. Komoditas kapuk saat itu diekspor dan menjadi nomor satu di dunia. Tak heran jika hutan randu terjaga pada masa lalu.

Pohon randu bisa tumbuh sampai 60 meter tingginya dan batang pohon bisa mencapai diameter 3 meter. Saya teringat, orang-orang tua bilang jika buah kapuk sudah matang maka itu pertanda musim kemarau tiba.

Pada saat buah kapuk sudah masak, kulit buah atau selongsong mulai merekah dan retak dan serat-serat putih kapuk terlihat dari luar. Serat kapuk yang ringan ini bisa dengan mudah diterbangkan oleh angin. Tak heran jika suasana di sepanjang jalan menyerupai hujan salju karena banyaknya serat kapuk yang beterbangan.

Serat kapuk yang berwarna putih mirip kapas tersebut digunakan sebagai bahan pengisi kasur, guling, matras, kursi sofa, atau peredam suara. Klentheng yang berwarna hitam pekat dan berukuran sebesar gotri akan diolah dan diambil minyaknya sebagai pelumas dan minyak lampu. Sementara kulit luar atau selongsong buah kapuk, kami menyebutnya klothok, digunakan warga sebagai kayu bakar untuk memasak.

Seiring perkembangan zaman, orang mulai memakai kasur dari busa atau polyurethane buatan pabrik dan pohon-pohon randu pun ditebang. Sisa-sisa kejayaan pohon randu masih bisa dijumpai di Karaban, daerah di selatan Pati. Di sini masih ada pengusaha yang memanfaat kapuk randu sebagai bahan kasur.

Jalan Daendels dan jalur kereta Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij

Swalayan ADA terletak persis di pinggir jalur pantura Jawa yang merupakan jalan Daendels yang memanjang dari Anyer hingga Panarukan. Jalur sepanjang 1.000 kilometer di pesisir utara Jawa tersebut dibangun pada masa Gubernur Hindia Belanda era 1800-1811.

Selain Jalan Daendels, Swalayan ADA juga berada persis di pinggir jalur kereta yang dibangun oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). SJS adalah salah satu perusahaan kereta api yang dahulu pernah mengoperasikan jalur kereta sepanjang 417 KM di wilayah Muria Raya. Jadi dulu jalur-jalur kereta api di Jawa dikelola oleh banyak perusahaan.

SJS mengelola jalur kereta api di daerah Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan sebagian daerah Grobogan, Blora, Tuban, dan Bojonegoro. SJS berdiri pada tahun 1881, dan sesuai namanya jalur awal yang dikelola mulia dari Semarang hingga Juwana (sekitar 12 KM sebelah timur Pati).

Karena perkembangan zaman, moda transportasi kereta api mulai tersaingi oleh mobil angkutan umum. Jalur kereta api SJS itu pun akhirnya ditutup. Saya masih sempat melihat kereta api yang lewat di jalur tersebut sekitar tahun 1985-an.

Swalayan ADA persis berada di pinggir rel kereta api yang memanjang di sepanjang Jalan Pemuda Pati tersebut. Rel kereta dan bantalan kayu yang ada ditutup, posisinya kini berada di bawah trotoar yang ada di depan Swalayan ADA.

Beberapa waktu lalu saya pernah membaca berita bahwa jalur kereta api Semarang-Juana akan direvitalisasi. Jika ini benar, saya pikir butuh biaya sangat besar. Rel kereta api yang melewati pusat kota Demak, Kudus, dan Pati ini sebagian besar sudah tertutup oleh aspal atau trotoar.

Tak hanya itu, stasiun-stasiun kereta api yang ada kini juga sudah beralih fungsi. Seperti stasiun Pati yang pada saat ini telah berubah menjadi kafe dan tempat karaoke, atau stasiun Kudus yang sekarang menjadi pasar.

Demikian sedikit cerita saya mengenai Swalayan ADA, salah satu tempat berbelanja favorit di Pati dan riwayatnya di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun