Mohon tunggu...
Don Eskapete
Don Eskapete Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

who am i?

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hadiah yang Tak Pernah Sampai kepada Ibu

8 Juni 2018   23:10 Diperbarui: 8 Juni 2018   23:47 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran tinggal menghitung hari dan hawa mudik sudah mulai terasa hari ini. Beberapa teman yang sudah libur kerja, satu per satu mulai meninggalkan Jakarta dan sekitarnya menuju ke kampung halaman masing-masing.

Merayakan lebaran di kampung halaman menjadi momen istimewa bagi kaum perantau. Bertemu orang tua, sanak saudara, dan teman-teman semasa kecil tentunya menjadi momen yang menggembirakan. Masing-masing saling bertanya kabar, atau bercerita mengenang masa-masa lalu.

Mengenang masa lebaran masa kecil tak pernah lepas hadiah lebaran yang diterima. Baju dan atau celana baru yang dibelikan orang tua membuat hati anak-anak sangat bergembira. Tahun 80 dan 90'an bagi anak-anak di kampung saya dulu, mendapatkan pakaian baru biasanya hanya 2 kali setahun yaitu saat masuk tahun ajaran baru dan hari raya.

Lulus SMA di Pati Jawa Tengah dan melanjutkan pendidikan jauh dari kampung halaman, membuat saya tidak mungkin bisa sering bertemu dengan keluarga. Begitu juga ketika mulai bekerja menjadi karyawan, mengambil jatah cuti juga harus diperhitungkan baik-baik

Setahun mungkin hanya satu atau dua kali saja mudik. Mudik biasanya dilakukan saat hari raya dan saat ada kepentingan yang benar-benar urgent, ketika ada kerabat yang menikah, sakit keras, atau meninggal dunia.

Mudik lebaran bagi seseorang yang sudah bekerja berarti harus mempersiapkan dana lebih. Jika pada waktu kecil saya mendapatkan baju baru sebagai hadiah lebaran, maka sekarang sebaliknya. Sayalah sekarang yang memberikan hadiah lebaran bagi keponakan dan orang tua.

Saya tipe orang yang tidak mau repot. Sangat jarang saya membawa oleh-oleh dari tanah rantau saat pulang kampung. Lebih sering saya memberikan hadiah lebaran berupa uang, ataupun kalau berupa barang biasanya saya beli saat sudah tiba di Pati.

Salah satu hadiah lebaran yang pernah saya berikan kepada orang tua yaitu lemari es. Kalau tidak salah sudah belasan tahun lalu, belinya ya di salah satu toko elektronik di Pati. Saat itu saya sendiri bahkan belum punya lemari es, karena masih ngekos di Tangerang.

Harganya lumayan, hampir dua juta rupiah, jumlah yang cukup besar bagi seorang yang baru beberapa tahun bekerja seperti saya waktu itu. Lemari es warna biru tua itu masih ada sampai sekarang, dan masih berfungsi dengan baik.

Tahun 2010 saya punya rumah sendiri, tidak terlalu besar ukurannya. Halaman depan rumah yang berukuran 3 x 3 meter saya manfaatkan untuk menanam beberapa pohon, salah satunya jeruk. Umur dua tahun jeruk sudah mulai berbuah. Ukuran buahnya sebesar bola bekel dan berwarna kuning cerah. Rasanya masam segar dan cocok untuk dibuat minuman hangat.

Beberapa kali saya memotret jeruk-jeruk itu, lalu mengunggahnya di Facebook. Biasalah, buat pamer di medsos. Jadi teman-teman dan keluarga di Pati bisa melihatnya, termasuk ibu yang melihatnya melalui akun Facebook sepupu saya.

Beberapa kali ibu minta dibawain jeruk saat saya mudik. Namun saya enggan, alasannya ya karena saya itu orang yang tidak mau repot. Toh saat mudik saya bisa beli jeruk semacam itu di pasar atau toko buah di Pati.

Tahun 2012/2013 ibu saya mulai sakit-sakitan, ada luka di bagian pencernaan beliau. Beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit di Pati, Kudus, juga Semarang.

Tahun 2014 saya menjadi salah satu pemenang lomba di Kompasiana, dan diganjar ksempatan berkunjung ke salah satu perusahaan tambang di Sumbawa bersama belasan pemenang lainnya. Kabar gembira ini saya sampaikan juga kepada keluarga di Pati.

Ibu minta dibawakan oleh-oleh kain dari Sumbawa. Namun sayang, karena kondisi internal di perusahaan tambang yang akan saya kunjungi, maka kunjungan diundur dari rencana bulan April 2014 sampai waktu yang belum bisa ditentukan saat itu. Jadi permintaan ibu juga belum bisa saya penuhi.

dok. pribadi
dok. pribadi
Sekitar pertengahan bulan Juli 2014, dalam salah satu perbincangan lewat telepon yang biasa kami lakukan, saya dan ibu berbicara cukup lama pagi itu. Kami saling bertanya keadaan masing-masing. Saya juga memberi tahu kapan rencana mudik lebaran akhir Juli tersebut. Sebelum percakapan telepon berakhir, Ibu minta dibawakan jeruk saat saya mudik.

Sabtu pagi, 26 Juli 2014 saya memetik belasan butir jeruk di halaman depan. Rencananya mau saya bawa mudik sebagai untuk memenuhi permintaan ibu, yang berkali-kali belum sempat saya penuhi. Sabtu siang saya berangkat dari Tangerang menuju  Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Sekantong kresek jeruk ada bersama beberapa pakaian yang saya masukkan ke ransel.

Sabtu sore pesawat mendarat di Ahmad Yani, Semarang. Saya sempat kesulitan mendapatkan kendaraan dari Semarang, dan akhirnya saya sampai di Pati hampir jam 8 malam. Cukup lama terlambatnya!

Saat saya hampir tiba di rumah, dari jauh saya melihat ada tenda terpasang dan beberapa orang berkumpul. Ada acara apa ya, saya bertanya dalam hati. Pakdhe saya, kakak dari ibu, berdiri dan menghampiri saya saat itu. Pakdhe menepuk pundak saya, "yang sabar ya," katanya.

Saya berjalan cepat menuju ke rumah. Sebuah peti kayu berada di ruang tamu, dan saya melihat ibu berbaring di dalamnya. Saya duduk di kursi di dekat peti, memandangi wajah ibu yang terdiam dan tersenyum.

Rupanya ibu telah pergi sore itu, setelah beberapa tahun bertahan dari sakit yang diderita. Sengaja saya tidak diberitahu soal berita duka ini, karena memang saya sudah dalam perjalanan pulang. Ibu memilih waktu 'pulang' pada hari di mana semua anak-anaknya berkumpul.

Kantong plastik yang berisi jeruk permintaan ibu  saya ambil dari ransel, dan saya masukkan ke kulkas warna biru tua yang ada di dapur. Maafkan aku, Ibu, jika engkau tidak sempat merasakan jeruk yang sudah beberapa kali engkau minta itu.

Januari 2015, saya akhirnya ikut dalam kunjungan ke perusahaan tambang di Sumbawa yang mundur dari rencana sebelumnya. Satu pekan kami belajar dan mengetahui proses yang ada di pertambangan tersebut.

Padi hari terakhir kunjungan, para peserta kunjungan diberikan kesempatan berkunjung ke salah satu pusat oleh-oleh di kota Mataram. Ada beberapa barang yang saya beli, seperti kue-kue khas Lombok, gantungan kunci, kaos, dan tentu saja dua potong kain tradisional yang pernah diminta ibu.

Saya tahu bahwa ibu tidak akan pernah memakai kain itu. Namun saya percaya bahwa ibu tersenyum di surga melihat saya telah memenuhi permintaan beliau. Hingga kini kain itu masih tersimpan rapi di lemari pakaian saya.

Beberapa hari lagi saya mudik, bertemu dengan keluarga dan teman dan juga berkunjung ke peristirahatan ibu. Saya akan mengenang kembali masa-masa tak terlupa, betapa senangnya ketika waktu kecil memakai pakaian baru hadiah hari raya. Juga mengenang sekantong jeruk dan dua potong kain yang tak pernah sampai kepada ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun