Salah satu kegiatan yang sering dilakukan setiap bulan puasa adalah membangunkan warga untuk bersiap-siap sahur. Jenis kegiatannya bisa bermacam-macam, salah satunya dengan menggunakan tetabuhan yang diarak keliling kampung.
Cara tersebut paling lazim kita jumpai di beberapa daerah di tanah air. Alat-alat yang dipergunakan juga beragam, mulai dari bedug, kentongan, galon air, hingga kaleng biskuit atau kaleng cat. Alat-alat tersebut dibunyikan dengan cara dipukul oleh sekelompok orang sambil berkeliling kampung.
Namun sayangnya, karena dilakukan secara sembarangan, orkes keliling tersebut tidak hanya berhasil membangunkan tetapi juga mengagetkan warga. Bunyi-bunyian tidak teratur dan bisa dikatakan 'kurang nyeni' atau jauh dari estetika disertai teriakan yang terlalu kencang malah membuat warga kurang apresiatif terhadap kegiatan ini.
Saya teringat masa-masa kecil ketika bulan puasa di Pati, Jawa Tengah. Salah satu hal yang rutin dilakukan untuk membangunkan warga yaitu dengan tongtek. Tongtek ini pada dasarnya sama dengan orkes keliling yang telah disebutkan sebelumnya, dengan alat utama yaitu kentongan.Â
Alasan kenapa disebut tongtek, mungkin karena alat yang dipakai adalah kentongan dan bunyi yang dihasilkan ketika kentongan dipukul yaitu 'tek tek tek'. Dalam pelaksanaannya, kelompok tongtek bisa hanya dengan menggunakan kentongan saja, bisa juga dengan tambahan alat lain seperti bedug, seruling, dan yang lain.
Kentongan dalam sejarahnya merupakan alat komunikasi tradisional yang digunakan oleh nenek moyang kita. Ketukan-ketukan kentongan memiliki makna tertentu untuk menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat, seperti terjadinya kematian, kebakaran, pencurian, bencana alam, atau panggilan untuk berkumpul
Di perkampungan di Jawa, kentongan biasa ditempatkan di kantor kelurahan atau kantor desa, dan pos kamling. Di Bali, kentongan lebih dikenal dengan istilah kulkul, fungsinya juga sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan bagi warga.
Kentongan atau dalam bahasa Inggris disebut 'slit drum' ini ternyata tidak hanya digunakan di Indonesia saja. Alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang dilubangi ini juga digunakan di Asia Tenggara, Afrika, dan Oceania.Â
Istilah yang dipakai untuk menyebutnya juga bermacam-macam, seperti Agung a Tamlong, Kagul, atau Tagutok (Filipina), Alimba (Zaire), Mondo (Afrika Barat), Pate (Samoa dan Cook Island), Garamut (Panua Nugini), dan masih banyak yang lain.
Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, kentongan juga menjadi salah satu alat musik tradisional. Melalui suara yang dihasilkan dan dipadu-padankan dengan alat musik lainnya, kentongan mampu berharmoni sehingga menciptakan irama yang enak untuk didengarkan.
Prinsip 'menciptakan irama yang enak didengar' itulah yang membuat saya selalu terkenang dengan tongtek saat bulan puasa sewaktu masa kecil dulu. Kentongan-kentongan yang dipakai terbuat dari bambu, supaya ringan saat dibawa berkeliling kampung.
Setiap kentongan memiliki ukuran yang berbeda-beda, baik dari ukuran panjang maupun diameter kentongan tersebut. Variasi ukuran ini akan menghasilkan bunyi dengan tingkat nada yang berbeda dari masing-masing kentongan.
Saat bulan puasa, tongtek dan siskamling biasanya dilakukan sekaligus. Ada jadwal yang dibagikan kepada seluruh warga untuk secara bergiliran setiap malam melakukan hal tersebut. Jadi dua fungsi yang dilakukan sekaligus, menjaga keamanan lingkungan dan membangunkan warga untuk sahur.
Sekitar jam 3 pagi, para 'seniman' tongtek mulai berkeliling kampung. Sambil membunyikan kentongan dan alat musik yang lain, rombongan ini juga menyanyikan lagu-lagu mulai dari lagu religi, lagu daerah, hingga lagu dangdut.Â
Kesenian tongtek saat ini tak hanya sebatas dimainkan di lingkungan kampung saja. Beberapa festival atau pentas seni tongtek kerap diadakan secara rutin di Pati, Jepara, atau Kudus. Bahkan banyak daerah di Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur juga melestarikan kesenian daerah ini.
Nah, inilah cerita masa kecil saya di Pati mengenai kegiatan membangunkan sahur. Cara-cara yang 'nyeni' dan merdu di telinga seperti ini saya yakin akan membuat warga terbangun tanpa merasa kaget untuk melakukan sahur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H