Halaman  Kraton Palembang dinamakan Benteng Kuto Besak, Komunitas Arab di daerah 3 Ilir membangun Pasar Kuto,  saudagar-saudagar keturunan Arab yang hidup bak  Pasha di Turki  membangun  "plaza" Jero Kuto.  Sementara lingkungan sekitar masih hidup di rumah rakit, beratap rumbia.
Mereka, membangun  "plaza"  lapangan semen  yang lumayan luas untuk menjemur gabah. Rumah-rumah Limas yang luas dan besar di bangun mengitari "plaza" Jero Kuto. Menjelang magrib atau sebelum Isya,biasanya ramai anak-anak bermain di Plaza Jero Kuto.Â
Semua berubah sejak mesin pengiling padi (pady huller)  dengan ukuran kecil mulai memasuki pasar Palembang pada akhir tahun 70an. Petani yang semula menjual gabah, beralih menjadi produsen beras di dusunya masing-masing. Satu persatu, kerabat meninggalkan Palembang mencari peruntungan ke  luar pulau atau ke luar negeri.Â
Rumah-rumah besar di Jero Kuto, sekarang terlihat kumuh dan terlantar. Perlahan tapi pasti, Jero Kuto dan keturunan Arab di 10 Ulu mulai tengelam kisahnya.  Seorang Paman bercerita, kenapa ia yang tak mau datang dan berkunjung ke Jero Kuto lagi. Takut menangis, tak sanggup melihat betapa  berbeda suasana dulu dan sekarang. Tidak ada lagi rasa bangga, tinggal di Jero Kuto.
Begitu memasuki lorong, terdengar logat ngapak bersahut-sahutan. Sekarang, sebagaian besar warga di lorong masjid  menjadi pengupas bawang dengan upah sekitar Rp.1000; / sanggul (ikatan besar bawang merah).  Sayang sekali,karung-karung kulit bawang di tinggalkan begitu saja di sekitar taman  pedestarian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H