[caption caption="LGBT = Mental Disorder?"]
[caption caption="Sumber: PDSKJI"][/caption]
[/caption]
Akhirnya pak Menkominfo berhasil mencatatkan satu portofolio baru dalam CV-nya, yakni sebagai great opinionator (penggiring opini). Betapa tidak. Berawal dari reaksi beliau terhadap stiker LINE, kini isu LGBT menjadi viral kembali. Tiba-tiba saja, bermunculan penulis dan pengamat, yang entah dari mana, tiba-tiba menemukan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga merasa punya otoritas untuk menyatakan bahwa memilih mendukung LGBT termasuk sesat, mesti ditolak dan tidak pancasilais. Sebagian kecil memilih untuk berupaya netral, meskipun tidak ada parameter pasti untuk menyebut suatu persektif tulisan itu benar-benar netral, termasuk tulisan saya sebelumnya:-)
Beberapa hal menurut hemat saya perlu dicatat dalam diskursus yang masih terus berjalan ini.
Pertama, tidak ada sikap netral. Meskipun para moderat akan berupaya menggunakan jargon yang seolah-olah memberikan jalan tengah, tetapi pertarungan opini dan penegakan HAM para LGBT akhirnya bermuara pada bipolaritas: Menolak atau Mendukung.
Kedua, para penolak keberadaan LGBT sejatinya juga mempunyai kepentingan lain yang "menurut mereka" adalah demi membela nilai tertinggi dalam kemanusiaan, yakni meneruskan generasi. Mereka memvalidasi penolakan dengan argumen bahwa regenerasi manusia hanya bisa berlangsung secara alamiah antara pria dan wanita, kendatipun interseksi-interseksi seks dan gender pun belum final hingga saat ini. Bahasa sederhananya: Perbedaan pria dan wanita merupakan wacana dan subjek penelitian yang masih terbuka bagi banyak kemungkinan.Â
Ketiga, para pendukung LGBT bisa terdiri dari beberapa komposisi kepentingan. Barangkali karena mereka sendiri adalah manusia LGBT. Â Ini yang paling umum menurut para penolak LGBT (sayangnya, kebanyakan dari mereka hanya berangkat dari asumsi semata). Lebih kerap adalah bahwa para pendukung LGBT (baca: yang berpandangan bahwa LGBT juga mesti diberi panggung sosial yang sama dengan kaum hetero) benar-benar tidak bisa menerima bahwa hak seseorang mesti dikekang hanya karena mereka terlahir dengan keadaan tertentu.Â
Keempat, penting dicatat bahwa setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, para LGBT dan yang pro terhadap keberadaan dan hak-hak mereka untuk mengekspresikan diri secara setara dengan kaum hetero masih harus menempuh jalan panjang.Â
Tertanggal 19 Februari 2016, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mengeluarkan surat yang isinya menegaskan bahwa panggung LGBT masih tidak berubah. Manusia LGBT mesti menunggu beberapa tahun atau dekade lagi sehingga mereka bisa hidup sebagai orang Indonesia secara sah, tanpa ditengarai sebagai paham yang tidak pancasilais.
Surat itu menyebutkan bahwa homoseksual dan biseksual dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan. Sama dengan "maniak-maniak" lain, termasuk gangguan kejiwaan ekstrim seperti orang yang merasa mendapat bisikan ilahi untuk menunaikan tugas suci memusnahkan atau membunuh manusia lainnya.Â
Surat yang sama menyebutkan bahwa transeksualisme dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Gangguan Kejiwaan. Artinya, jika mau jujur, para transeksual ini mesti mendapat terapi kejiwaan. Jika berlanjut pada ranah hukum, sedikit egalisasi dari pemerintah, maka bisnis rumah sakit jiwa akan menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Mengapa? Karena jika kaum transeksual ingin diakui sebagai orang tanpa gangguan kejiwaan, maka mereka mesti berbondong-bondong mencari terapi. Mungkin dengan sertifikat juga.