Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritisisme atas Kritik Christopher Hitchens Terhadap Ibu Teresa

13 Januari 2016   20:11 Diperbarui: 13 Januari 2016   20:46 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Suffering is nothing by itself. But suffering shared with the passion of Christ is a wonderful gift, the most beautiful gift, a token of love.” ― Mother Teresa, In the Heart of the World: Thoughts, Stories and Prayers"

Banyak Dikutip, Siapakah Teresa?

Bersama kutipan lainnya, kutipan ini banyak dibagikan,  terutama oleh mereka yang kagum dengan apa yang dilakukan oleh Agnes Bonxha (Mother Teresa) pada kaum papa di Kalkutta beberapa dekade lalu. Para pengagum tersebut berasal dari berbagai belahan dunia, berbagai denominasi ajaran agama (termasuk Gereja Katolik, yang menjadi rumah religius Mother Teresa), terutama para penduduk Kalkutta. Mari kita lihat sekilas apa yang dikatakan orang tentang dia. Tidak sulit mencarinya karena ulasan tentangnya memang begitu melimpah. Seperti di laman Wikipedia ini.

Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojaxhiu) lahir di Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih (bahasa Inggris: Missionaries of Charity; M.C.) di Kalkuta, India, pada tahun 1950. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Setelah kematiannya, ia mendapat gelar beata (blessed dalam bahasa Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata . Pada 1970-an, ia menjadi terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.

Popularitas Teresa: Situasi sekarang

Bagi Gereja Katolik dan jutaan rakyat Kalkutta terutama, Mother Teresa itu BENAR melakukan kebaikan bagi manusia selama pelayanannya di Kalkutta. Menjadikannya seorang kudus dan sosok yang pantas diteladani adalah puncak dari kekaguman itu. Bagi Hitchens, Zaenab, dan kritikus lain yang menyebut bahwa Mother Teresa melakukan malpraktek dan memanfaatkan karyanya sebagai ajang mencari popularias, Mother Teresa SEHARUSNYA tidak menjadi seorang kudus. Ia penuh kecurangan. Kritisisisme yang saya tawarkan adalah ajakan untuk menggali kembali sebanyak mungkin sumber-sumber valid dari kedua belah pihak, baik yang pro maupun kontra terhadap kebaikan Mother Teresa.

Berkat bantuan akses internet, kini sumber-sumber informasi tentang REALITAS  karya Mother Teresa di Kalkutta hingga wafatnya pada tahun 1997 bisa diakses sama mudahnya dengan memberikan kembali umpan balik, pandangan, opini dan komentar terhadapnya. Tidak ada jaminan untuk bersikap objektif seratus persen, bahkan kendatipun fakta yang sama hadir di depan kita.

Mengomentari Mother Teresa sebagai seorang Katolik, rentan dicap sebagai kekaguman buta.

Mengomentari Mother Teresa sebagai orang luar, bukan penduduk Kalkutta, dan bukan sebagai Katolik, rentan masuk dalam kebingungan saking bersaingnya pages di internet, hampir sama porsinya, baik dari sisi pro maupun kontra terhadap validitas karya Mother Teresa. Bahkan, Nobel Perdamaian yang diraih Mother Teresa pun bisa dibungkam sebagai sesuatu yang dicemari oleh nuansa politis.

Sebaliknya, mengomentari Mother Teresa sebagai seorang ateis, agnostik, muslim atau kaum agama lain yang anti-Kristen (entah golongan ini ada atau tidak, setidaknya ini semantik yang banyak digunakan), rentan dianggap sebagai argumentasi yang terdorong oleh kebencian belaka. Umum ditemui bahwa pendapat mereka ini ditengarai sebagai opinionisasi a la "haters".

Meski demikian, karena argumentasi memang tidak harus (dan tidak akan bisa) menyenangkan siapapun, apapun posisi dan latar belakang kita dalam memandang sosok Mother Teresa, tidak berarti bahwa kita sebaiknya berhenti menggali kembali: BENAR-kah Mother Teresa memang sebaik yang diberitakan oleh banyak media massa? Sebaliknya, BENAR-kah Mother Teresa memang securang dan se-munafik seperti yang ditulis oleh Christopher Hitchens?

Teresa Is A Fraud?

Kritisisme yang menyoal kembali benar-tidaknya kiprah Mother Teresa bagi warga Kalkutta pada masa hidupnya mengalir deras. Bahkan sampai pada puluhan diskusi, tak terhitung banyaknya tulisan yang menyebut bahwa karya yang dilakukan  oleh si Agnes Bonxha bukanlah sesuatu yang benar. Karenanya, ia tidak pantas menjadi mendapat gelar Mother Teresa, apalagi sampai menjadi Santa. Salah satu kritisisme yang paling terkenal datang dari seorang jurnalis dan polemicist, Christoper Hitchens. Belakangan, menjelang kanonisasi Mother Teresa sebagai santa dalam Tradisi Gereja Katolik, kritisisme yang tendensius mendiskreditkan kiprah kemanusiaan Mother Teresa oleh Hitchens tersebut di-viral-kan kembali oleh banyak orang, baik dalam perbincangan di dunia nyata maupun diskusi di dunia maya, seperti yang saya alami dalam sebuah group Facebook.

Sebuah artikel yang ditulis Zaenab Akande, seorang penulis alumna University of Delaware di website Mic.com, disebarluaskan kembali secara masif. Tulisan itu berjudul: "Mother Teresa Not a Saint: New Study Suggests She Was a Fraud" (Mother Teresa Bukan Seorang Kudus: Studi Terbaru Menunjukkan Bahwa Dia Melakukan Kecurangan).

Tulisan ini cukup provokatif, dan punya beberapa nilai pencerahan. Poin positif yang bisa diambil dari artikel ini ialah upaya kritisisme tanpa henti, seperti telah dimulai sejak Hitchens (yang reportasenya dijadikan dasar penulisan oleh Zaenab), sedemikian sehingga para pengagum Mother Teresa ini membuka mata akan adanya kemungkinan lain soal apa yang sesungguhnya dilakukan oleh Mother Teresa.

Tulisan ini bersama puluhan halaman lain adalah upaya menulis ulang hasil repotase Hitchens. Karenanya, kritikus yang pantas diperhitungkan dalam kontribusinya mengenai validitas karya kemanusiaan Teresa tetap Christopher Hitchens. Konkusi Hitchens yang cukup mencengangkan ialah bahwa menurutnya Agnes Bonxha melakukan malpraktek dalam pelayanannya di Kalkutta.

Selain itu, Agnes juga dituding sengaja menyalahgunakan dana donasi yang diperuntukkan bagi karyanya dengan malah menyimpan dana itu di sebuah rekening rahasia.

Kesucian itu tidak bisa dimanipulasi atau difabrikasi.

William Doino Jr, seorang penulis Inside Vatican, menulis sebuah kritik di First Things (afiliasi dari The Institute on Religion and Public Life, sebuah lembaga riset dan pendidikan inter-religius dan non-partisan) terhadap metodologi yang dilakukan oleh Christopher Hithens untuk menanggapi kembali viralitas tentang tuduhan eksploitasi oleh Agnes Bonxha.

Tanpa menjadi apologetis fanatik, William menunjukkan beberapa hal mendasar yang juga perlu diketahui publik sehingga mereka bisa melihat kembali siapa itu Agnes Bonxha: Apakah benar seperti yang ditulis dan difilm-kan oleh Hitchens. 

Kritisisme (Belum) Berakhir

Menangkap bulat-bulat gagasan Hitchens ataupun membela mati-matian kekudusan Mother Teresa adalah dua ekstrem yang sebaiknya tidak menjadi final standing position dari kita. Akan selalu ada perang gagasan, perang media, dan perang viralitas berita tentang setiap sosok fenomenal, karena rating memang mendapatkan sumbangan terbesar dari propaganda, opinionisasi, analisis dan komentar terhadap suatu "public figure", atau seorang "public property".

Satu hal jelas, lepas dari pro-kontra benar tidaknya tuduhan malpraktek yang dilakukan oleh Mother Teresa, publik Kalkutta dengan bangga menyebut bahwa Agnes Bonxha atau Mother Teresa adalah bagian dari mereka. Sebagai pengamat, pembaca, fans ataupun kritikus, ada baiknya kita mendekat ke sumber-sumber yang paling dekat dan paling mengenal sosok Agnes Bonxha atau Mother Teresa, si ibu tua renta, si gadis manis, dan si biarawati dengan raut wajah yang tegas sekaligus penuh welas ini.

Sumber Foto: BatakTobaNews.com

Artikel asli dalam blog pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun