Tulisan ini tidak hendak menjadi moderasi Kompasiana-war antara Pak Pepih dan Pak Hilman Fajrian.
Pertama, karena sejauh ini, menurut saya, artikel tanggapan atas tulisan Pak Hilman dari Pak Pepih masih sekedar brainstorming(sumbang saran) tentang bagaimana mencerdaskan pembaca dengan infomasi dan opinioniasi yang membawa lebih banyak manfaat daripada mudarat.
Pemetik manfaat ini berlapis:
rakyat Indonesia pada umumnya,
para pembaca berita dari berbagai macam platform media dari Kompas Gramedia Group,
lebih khusus lagi pembaca harian cetak Kompas,
 dan lebih khusus lagi para Kompasianer.
Kedua, hemat saya, setiap Kompasianer adalah setara dalam hal memberikan pendapat dan informasi yang berimbang lewat tulisan-tulisan mereka. Karenanya, sejauh tulisan itu dirangkai dalam bingkai penalaran yang sehat, maka tentu ada nutrisi di setiap untai kata-katanya. Begitu dalam tulisan bernas Pak Hilman, begitu pula pada Pak Pepih.
Ketiga, berhubung para Kompasianer juga tidak luput dari godaan untuk berpendapat secara ad authoritatem, penulis Kompasianer biasanya akan saling mengukur posisi kepiawaian rekan Kompasianer lain dengan melihat statistik dari tulisan mereka satu sama lain. Padahal, bisa saja, seorang Kompasianer yang kelihatan pasif dalam menulis tapi aktif membaca adalah juri sesungguhnya dari setiap perdebatan dan saling balas artikel. Sebab, bukankah orang yang lebih bijaksana ialah mereka yang lebih banyak mendengar daripada berbicara?
Ahaha, tentu saja saya bukan termasuk dalam golongan ini.
Hanya me-remind saja kepada para rekan yang menikmati balas artikel perihal senjakala media cetak ini: Bahwa bisa saja pembaca pasif ini-lah yang punya modal untuk mengupah para penulis volunter di Kompasiana ini, diam-diam melihat bakat opiniator paling hebat di antara para kuli kuota ini (antitesis dari kuli tinta) lalu menggaet sebuah perusahaan VC yang tertarik berinvestasi di bisnis media massa, dan boom .... jadilah seorang blogger yang untuk menulis artikel pun harus menumpang jaringan wi-fi di sebuah minimarket demi menuntaskan sebuah tulisan di blog Kompasiana-nya menjadi seorang pemimpin redaksi. Who knows, hanya dia dan tuhan-nya yang tahu.
Kembali ke papan catur, eh, kembali ke tulisan pak Pepih yang setengah bernada pleidoi ini, pun jika senjakala media cetak sudah di depan mata, seperti yang Pak Pepih katakan, Bapak sudah punya sekoci kecil bernama Kompasiana ini.
Maka, ketika saatnya tiba, beratnya tumpukan kertas membuatnya ditinggalkan oleh para pelayar di lautan pertarungan media massa dengan jutaan petarung yang siap kapan saja membajak satu sama lain. Timbunan koran terutama bagian iklan yang hampir tak pernah dibaca akan menjadi pilihan pertama yang dibuang ke laut ketika biaya cetak koran hanya memberatkan cost di setiap laporan tahunan keuangan media yang melahirkannya.
Maka, senada dengan Pak Hilman, senjakala itu sudah mendekat.
"Behold, ye, the end of the printed newspapers is at hand", kira-kira begitu seruan profetisnya, mengikuti gaya kotbah para pemimpin umat di negeri ini.
Tapi, jika Pak Pepih dan rekan-rekan tidak ingin cepat-cepat mengadakan farewell party dengan Harian Cetak Kompas, dan masih menikmati suasana deadline dan sibuk menghubungi pihak percetakan hingga lembur ditemani kopi dan indomie (mungkin sekarang sudah Starbucks dan Pizza Marzano, saya kurang tahu), saya hanya punya saran:
Tag-lah namaku disana, maka akan kubeli koranmu hari ini juga!
Maaf jika saran ini terlalu blak-blakan. Tapi, seperti yang Pak Hilman utarakan, kami generasi Y ini punya kalkulasi luar biasa soal apa yang kami dapat dan apa yang kami keluarkan. Dengan modal sekian rupiah saja yang dikonversi menjadi beberapa byte kuota, saya bisa merasakan kesenangan ketika postingan FB saya dilike orang. Saya berjingkrak ketika cuitan saya tentang resolusi mengakhiri kejombloan di tahun 2016 ternyata berhasil menambah follower Twitter saya. Belum lagi, kalau foto saya yang lagi mengantuk menunggu antrian bus Trans Jakarta mendapat banyak like di Instagram. Atau ketika tulisan copas saya dari sebuah akun wordpress yang digali dari Archive.Org ternyata malah mendapat banyak nilai di Kompasiana.
Semua itu menyenangkan, pak.
"Tapi, khan hanya menyenangkan saja. Tidak ada pengetahuan baru yang didapat"
Benar, Pak. Inilah kami generasi Y. Lagipula, untuk apa pengetahuan ditimbun di kepala, kalau tidak ada hubungan langsung dengan saya?
Kalau saya mau tahu apa-apa, saya tinggal Google, Bing, Duckduckgo, StumbleUpon atau mencarinya di pencarian Facebook dan Twitter. Lagipula, kami tidak perlu tahu banyak hal kok, Pak. Yang penting kami tahu mencarinya dimana. Begitulah kira-kira aspirasi egois dari kami generasi Y. Persis seperti ditulis Dawkins: Kami punya Selfish Genes, pak.
Maka, sekali lagi, jika Bapak dan para punggawa media cetak itu ingin memperlambat datangnya uzur, tag-lah nama saya.
Mention-lah nama mantan saya. Poke-lah teman-teman sealmamater saya. Hanya dengan itu kami merasa disapa. Hanya dengan begitu kami akan merasa engaged dengan Bapak.
Mengapa engagement itu perlu?
Iya, pak. Zaman sudah berubah. Kami tidak mau lagi sirkulasi informasi yang memaksa kami didikte. Kami sudah punya web 2.0. Kami sudah terlanjur menikmati kemewahan yang ditawarkan fitur User Generated Content di setiap wiki dan media sosial, Pak. "Content is the King", iya itu benar, pak. Itu sebabnya, di bangku kuliah, kami lebih bangga jika disebut sebagai pembaca kompas daripada pembaca berita koran lampu merah dengan berita esek-eseknya.
Tapi jangan lupa, pak, sekarang sudah ada revisinya:
"Content is the King, Engagement is the Queen".
Maka seperti layaknya seorang Kaisar bisa kehilangan tahta jatuh karena seorang wanita dan menghianati cinta sang ratu, maka tulisan bernas di Kompas pun bisa tidak terbaca kalau kami tidak merasa disapa.
Kalau kami bisa menulis tentang Jokowi, mengapa kami harus mendengarkan opini pendapat gadungan yang ijazahnya pun bisa saja palsu? Kalau kami bisa mengupas dan berkas-kus ria memperbincangkan Petral, Hambalang, Century, mengapa kami harus mengutip kata-kata diplomasi tanpa indikasi ke arah aksi dari para pejabat pemerintah yang mulia? (Maaf, yang ini masih terbawa euforia dagelan para anggota MKD yang mulia itu). Kalau kami bebas menyuarakan aspirasi lewat Change.Org atau Uber, mengapa kami harus menggantungkan suara kami pada segerombolan wakil rakyat yang lebih banyak menghabiskan waktu dan hanya merampungkan beberapa biji saja undang-udang yang baru?
Nah, kalau Bapak dan para punggawa di harian cetak Kompas itu bisa memberi alasan atas kegundahan dan sedikit kekesalan kami generasi alay ini, percayalah, senjakala media cetak bisa ditunda dulu.
Pagi hari, ngopi masih akan ditemani dengan baca koran, bukan selfie dan upload gambar setiap saat seperti para penggila media sosial yang haus dan lapar dengan like dan jumlah follower.
Tentu ini tidak akan mudah. Sebab, bagaimanapun, rating koran harus dipertahankan. Dan, berhubung rakyat Indonesia, juga para Kompasianer masih tidak luput dari kesesatan logika terutama argumentum ad authoritatem (hanya mau mendengar jika yang berbicara punya uang, kuasa atau tahta), maka tentu saja para rekan kami kuli tinta harus mendahulukan pendapat dari para pejabat bertopi dan pengusaha berdasi daripada kami para blogger muda yang hanya menumpang jaringan wi-fi sambil menikmati indomie. Tapi, jika Bapak dan Kompas yang saya cintai ini mau, pasti bisa.
Begitulah, pak.
Sekian dulu.
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H