Maka seperti layaknya seorang Kaisar bisa kehilangan tahta jatuh karena seorang wanita dan menghianati cinta sang ratu, maka tulisan bernas di Kompas pun bisa tidak terbaca kalau kami tidak merasa disapa.
Kalau kami bisa menulis tentang Jokowi, mengapa kami harus mendengarkan opini pendapat gadungan yang ijazahnya pun bisa saja palsu? Kalau kami bisa mengupas dan berkas-kus ria memperbincangkan Petral, Hambalang, Century, mengapa kami harus mengutip kata-kata diplomasi tanpa indikasi ke arah aksi dari para pejabat pemerintah yang mulia? (Maaf, yang ini masih terbawa euforia dagelan para anggota MKD yang mulia itu). Kalau kami bebas menyuarakan aspirasi lewat Change.Org atau Uber, mengapa kami harus menggantungkan suara kami pada segerombolan wakil rakyat yang lebih banyak menghabiskan waktu dan hanya merampungkan beberapa biji saja undang-udang yang baru?
Nah, kalau Bapak dan para punggawa di harian cetak Kompas itu bisa memberi alasan atas kegundahan dan sedikit kekesalan kami generasi alay ini, percayalah, senjakala media cetak bisa ditunda dulu.
Pagi hari, ngopi masih akan ditemani dengan baca koran, bukan selfie dan upload gambar setiap saat seperti para penggila media sosial yang haus dan lapar dengan like dan jumlah follower.
Tentu ini tidak akan mudah. Sebab, bagaimanapun, rating koran harus dipertahankan. Dan, berhubung rakyat Indonesia, juga para Kompasianer masih tidak luput dari kesesatan logika terutama argumentum ad authoritatem (hanya mau mendengar jika yang berbicara punya uang, kuasa atau tahta), maka tentu saja para rekan kami kuli tinta harus mendahulukan pendapat dari para pejabat bertopi dan pengusaha berdasi daripada kami para blogger muda yang hanya menumpang jaringan wi-fi sambil menikmati indomie. Tapi, jika Bapak dan Kompas yang saya cintai ini mau, pasti bisa.
Begitulah, pak.
Sekian dulu.
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H