Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hate Speech di Lintas Generasi

5 November 2015   17:52 Diperbarui: 16 Desember 2015   10:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari ini wacana tentang Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech (Ujaran Kebencian) semakin luas dibicarakan, baik di media massa, maupun media sosial lain yang lebih luas jangkauannya seperti Facebook dan Twitter, bahkan dalam perbincangan sehari-hari seperti yang saya alami bersama teman-teman di tempat kerja tadi siang. Dan pembicaraan kami pun melebar kemana-mana. Awalnya hanya mencoba mencari-cari kira-kira bagaimana “berita” tentang hate speech ini dimengerti oleh berbagai lintas generasi. (Saya beri tanda kutip karena sesungguhnya keprihatinan serupa bukan barang baru lagi). Kami pun mulai mencari beberapa statement yang cukup iconic dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan umur.

Benci tapi ngangenin

"I miss you but I hate you" kata Slank. Dengan jumlah penggemar yang jutaan di Indonesia, (belakangan bahkan pak Presiden Jokowi pun tampaknya ikut dalam barisan ini pada kampanye pilpres lalu), lirik lagu ini cukup populer. Tapi popularitasnya tidak mengandung tendensi atau konten yang rentan disalahartikan. A song as a song. Hanya ungkapan romantisme dalam dinamika asmara orang-orang yang mencari cinta.

Benci tapi Cinta

.
"I hate that I love you", kata "jomblo ngenes" yang tidak terima mantannya memilih orang lain. Yang ini malah mendapat rating yang terus menaik. Kendatipun, tema ini lebih akrab bagi anak remaja dengan segala ke-"alay"-an mereka.

Meski dibohongi, tetap tidak bisa membenci

"I love the way you lie", begitu penggalan lirik lagu yg dilantunkan Rihanna. Bagi penggemar diva Rihanna, penggalan lirik lagunya ini begitu menarik hingga dikutip jutaan kali. Bagi saya, liriknya membantu mengungkapkan suatu paradoks sederhana bahwa: "Orang-orang ternyata bisa membenci diri mereka sendiri karena tidak membohongi perasaan cinta kepada orang yang telah membohonginya berkali-kali". 

Saya penasaran, apakah perasaan yang sama dimiliki oleh seorang pemilih aktif terhadap wakil rakyat di DPR yang dulu didukungnya. Soalnya, yang terakhir ini kerap menebar janji kampanye manis. Tapi lebih sering tidak lebih dari kebohongan belaka ketika mereka sudah merasakan empuknya kursi di Senayan.

Sampai disini, "hate" (benci, kebencian) dan "love" (cinta, sayang; antitesis dari kebencian) hanya paradoks yang bisa diterima oleh manusia dalam hubungan horisontal dengan sesama lainnya dalam kehidupan keseharian. Indikasi masalah mulai muncul ketika lingkaran orang-orang yang terlibat itu meluas. Terutama ketika ketika "hate speech" menjadi isu nasional, terutama di negeri dengan 254 juta penduduk ini, wanti-wanti saja, perlu upaya lebih serius untuk mensosialisasikan poin-poin dari A hingga Z dari Surat Edaran ini.

Mengapa?

Karena demografi Indonesia ternyata memang membentang sangat luas. Lepas dari parameter apapun yang akan digunakan: ideologi, tendensi politik, tingkat ekonomi, kelas sosial, dan etinisitas. Lebih luas dari yang mungkin menjadi anggapan umum. Sebab, seringkali, umum bagi kelompok tertentu, ternyata tidak umum bagi kelompok lain. Begitulah intisari pembicaraan kami siang tadi.

 

************
Berbahanya tuduhan kebencian

Ngelantur? Iya. Dan ngelantur ternyata tidak selamanya buruk. Setidaknya, ada satu premis yang kami bicarakan tampaknya dimafhumi secara luas, dan semakin jelas buat saya, yakni bahwa: relatifitas tolok ukur seruan kebencian atau kritik itu ternyata sering kali membentang begitu luas.

Tapi, bukankah tolok ukur harusnya tidak relatif? Sebaiknya memang tidak. Dan seperti biasa das sollen dan das sein lebih sering berjalan tidak seiring. Dewasa ini, di negeri ini, bahkan semakin sering. Mutlak perlu pengertian yang benar untuk meletakkannya hanya sebagai seruan saja, jangan sampai menyasar kebebasan bersuara, terutama bagi para awak media massa seperti ditulis sebuah portal berita.

Oleh karena itu, beberapa hal berikut pantas mendapat perhatian penting jika kita tidak ingin surat edaran tentang ujaran kebencian ini.

Pertama, masyarakat yang masih gamang dengan kenyataan keberagamannya. Kritik yang bagi sebagian orang dimaksudkan sebagai humor atau jenaka sajapun, ternyata bisa dipelintir dan dituduh sebagai ungkapan penghinaan terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Bagaimana tidak. Hingga hari ini, fanatisme dan radikalisme, terutama yang mengatas-namakan agama, masih saja memperburuk citra Indonesia sebagai negara yang majemuk. Konon orang Indonesia, terutama ketika menerangkan seperti apa itu ke Indonesia kepada orang luar, akan dengan bangga menyatakan bahwa rakyatnya sangat menjunjung tinggi keberagaman. Padahal fakta di depan mata membuktikan sebaliknya.

Kekerasan dan intoleransi yang dipupuk oleh sistem yang seakan mengabaikannya menjadi preseden buruk kita hingga generasi ini. Entah karena kurangnya law enforcement terhadap pelaku intoleransi dan kekerasan yang membawa label agama dan etnisitas tertentu, ataupun karena kurangnya akses terhadap pendidikan yang setali tiga uang dengannya, tapi fakta yang kita temui di lapangan memang sangat menyedihkan. Sebuah laporan menyebutkan dari situs fica, misalnya, menyebutkan bahwa dari tahun 1945 hingga 1997 saja sudah terjadi pembakaran atas 374 gereja di berbagai pelosok nusantara. Sebuah kontras yang menohok ke jantung kebanggaan kita sebagai bangsa yang katanya bangga dengan segala kemajemukannya.

Kedua, merujuk pada pendapat banyak ahli dan pengamat, tatanan demokrasi kita masih dalam proses pencarian yang panjang untuk mencari-cari bentuknya yang tepat. Bagaimana tidak, ada gelombang besar animo dari sekelompok masyarakat yang bahkan tanpa malu ingin mencari bentuk pemerintahan khilafah yang jelas-jelas bertentangan dengan gagasan dasar pendiri negeri ini.

Ketiga, secara khusus bagi dunia jurnalisme (baik media massa maupun citizen journalism), efek dari pemberlakuan SE ini bisa kebablasan sehingga sebagian orang akan melihat bahwa bukan tidak mungkin seruan ini menjadi alat legalisasi pemusnahan terhadap golongan minoritas atau kaum tak berdaya. Oleh siapa? Tentu saja, bagi golongan mayoritas atau kaum pemilik power (kuasa) yang lebih besar.

Bagi para pembaca yang kritis dan nyinyir (seperti saya mungkin), secara sempit ini bisa dimaknai sebagai persaingan media dalam berebut rating dan berburu target unique visitor demi iklan. Tapi, saya mengantisipasi kemungkinan bahaya yang lebih besar. Yakni jika SE ini disalahgunakan dalam prakteknya dan menghantui masyarakat dengan menjadi instrumen legalisasi pembungkaman suara.

Apakah ini antisipasi yang prematur? Iya. Kelewat prematur? Mungkin saja. Tapi lepas dari posisi SE dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia hanya sebagai surat edaran dan bukan UU, ternyata efek dari SE ini bisa jauh lebih dahsyat dari yang kita bayangkan.

Ketika saya kemudian men-share opini dengan mengutip penuh artikel saya tentang tema yang sama di sebuah media sosial, seorang teman langsung memberi tanggapan begini:

Couldn't agree more pak. Semestinya memang perlu di kaji lagi kepentingan SE ini, kalau hanya merugikan pers misalnya buat apa, bisa2 ketika pers secara gamblang mengungkap fakta malah disalah artikan sementara pers ibarat suara rakyat bukan kelompok, atau klo saya blng saya benci dengan Bapak, misalnya, bisa2 saya masuk bui. SE ini prematur, kalopun hanya ingin lebih bertindak tegas kita udh ada uu elektronik toh, tinggal di maksimalkan aja jika mengacu pada ujaran kebencian/hasutan di sosmed. Dan pada akhirnya SE ini hanya menguntungkan segelintir tikus2 yg haus akan perlindungan dri jeratan hate speech tsb. So weird

Komentar lain menyebut:

"Yup. Sepakat. Karena sejarah sudah membuktikan”

Yang lain lagi, menusuk pada kepicikan religius masyarakat, menyebut:

Yang paling membingungkan dari soal ujaran kebencian adalah seandainya ada orang yang mengutip kitab suci agamanya yang ayatnya berisi ujaran kebencian kepada suatu kaum. Siapa yang harus ditangkap dan dimintai pertanggungjawaban? Tidak mungkin pengarangnya/penulisnya dimintai pertanggungjawaban. Kalau yang mengutip ditangkap dengan mudah dia berdalih hanya sedang beribadah mempraktekkan ayat agamanya.

Bahkan, tak lama kegelisahan yang sama pun dirasakan oleh komentator lain dan tampaknya beliau begitu bersemangat untuk menulis sebuah petisi tentangnya. Mengikuti tren yang dewasa ini semakin efektif untuk menciptakan viralitas dari suatu gagasan atau keprihatinan.

“Petisi mana petisi?

*Catatan dari Penulis
Oh iya. Ini adalah kritik tanpa endorsement dari dan untuk pihak manapun. Murni pendapat pribadi saya. Mudah-mudahan ini pun tidak dianggap sebagai ujaran kebencian. Karena kalau sampai begitu, yah, salam miris saja dari saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun