Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hate Speech di Lintas Generasi

5 November 2015   17:52 Diperbarui: 16 Desember 2015   10:37 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

************
Berbahanya tuduhan kebencian

Ngelantur? Iya. Dan ngelantur ternyata tidak selamanya buruk. Setidaknya, ada satu premis yang kami bicarakan tampaknya dimafhumi secara luas, dan semakin jelas buat saya, yakni bahwa: relatifitas tolok ukur seruan kebencian atau kritik itu ternyata sering kali membentang begitu luas.

Tapi, bukankah tolok ukur harusnya tidak relatif? Sebaiknya memang tidak. Dan seperti biasa das sollen dan das sein lebih sering berjalan tidak seiring. Dewasa ini, di negeri ini, bahkan semakin sering. Mutlak perlu pengertian yang benar untuk meletakkannya hanya sebagai seruan saja, jangan sampai menyasar kebebasan bersuara, terutama bagi para awak media massa seperti ditulis sebuah portal berita.

Oleh karena itu, beberapa hal berikut pantas mendapat perhatian penting jika kita tidak ingin surat edaran tentang ujaran kebencian ini.

Pertama, masyarakat yang masih gamang dengan kenyataan keberagamannya. Kritik yang bagi sebagian orang dimaksudkan sebagai humor atau jenaka sajapun, ternyata bisa dipelintir dan dituduh sebagai ungkapan penghinaan terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Bagaimana tidak. Hingga hari ini, fanatisme dan radikalisme, terutama yang mengatas-namakan agama, masih saja memperburuk citra Indonesia sebagai negara yang majemuk. Konon orang Indonesia, terutama ketika menerangkan seperti apa itu ke Indonesia kepada orang luar, akan dengan bangga menyatakan bahwa rakyatnya sangat menjunjung tinggi keberagaman. Padahal fakta di depan mata membuktikan sebaliknya.

Kekerasan dan intoleransi yang dipupuk oleh sistem yang seakan mengabaikannya menjadi preseden buruk kita hingga generasi ini. Entah karena kurangnya law enforcement terhadap pelaku intoleransi dan kekerasan yang membawa label agama dan etnisitas tertentu, ataupun karena kurangnya akses terhadap pendidikan yang setali tiga uang dengannya, tapi fakta yang kita temui di lapangan memang sangat menyedihkan. Sebuah laporan menyebutkan dari situs fica, misalnya, menyebutkan bahwa dari tahun 1945 hingga 1997 saja sudah terjadi pembakaran atas 374 gereja di berbagai pelosok nusantara. Sebuah kontras yang menohok ke jantung kebanggaan kita sebagai bangsa yang katanya bangga dengan segala kemajemukannya.

Kedua, merujuk pada pendapat banyak ahli dan pengamat, tatanan demokrasi kita masih dalam proses pencarian yang panjang untuk mencari-cari bentuknya yang tepat. Bagaimana tidak, ada gelombang besar animo dari sekelompok masyarakat yang bahkan tanpa malu ingin mencari bentuk pemerintahan khilafah yang jelas-jelas bertentangan dengan gagasan dasar pendiri negeri ini.

Ketiga, secara khusus bagi dunia jurnalisme (baik media massa maupun citizen journalism), efek dari pemberlakuan SE ini bisa kebablasan sehingga sebagian orang akan melihat bahwa bukan tidak mungkin seruan ini menjadi alat legalisasi pemusnahan terhadap golongan minoritas atau kaum tak berdaya. Oleh siapa? Tentu saja, bagi golongan mayoritas atau kaum pemilik power (kuasa) yang lebih besar.

Bagi para pembaca yang kritis dan nyinyir (seperti saya mungkin), secara sempit ini bisa dimaknai sebagai persaingan media dalam berebut rating dan berburu target unique visitor demi iklan. Tapi, saya mengantisipasi kemungkinan bahaya yang lebih besar. Yakni jika SE ini disalahgunakan dalam prakteknya dan menghantui masyarakat dengan menjadi instrumen legalisasi pembungkaman suara.

Apakah ini antisipasi yang prematur? Iya. Kelewat prematur? Mungkin saja. Tapi lepas dari posisi SE dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia hanya sebagai surat edaran dan bukan UU, ternyata efek dari SE ini bisa jauh lebih dahsyat dari yang kita bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun