Masih ingat dengan Ronaldo si "plontos" khan?
Tentu saja. Tidak perlu menjadi seorang fanaticos sepak bola untuk mengenalinya. Sekedar mengingatkan saja, striker plontos penyandang nama asli Ronaldo Luís Nazário de Lima atau yang akrab disapa Ronaldo ini adalah sang “Fenomena” atau Il Phenomenon dalam sebutan kerennya). Lepas dari segala dinamika karir yang dialaminya, mulai dari ribut dengan pelatih, berpindah-pindah klub sampai masalah berat badan konsistensinya pada sepakbola terutama pada kurun 90-an sampai 2011 di kancah sepakbola Eropa dan internasional membuat kita tidak merasa boros menggelarinya si “fenomenal”. Puluhan prestasinya baik sebagai individu maupun dalam sumbangsih ke tim telah membuatnya tak tergantikan di hati para penggemarnya, apalagi melihat betapa dia tetap bersusah-payah menggumuli si kulit bundar di tengah cederanya yang muncul-tenggelam ibarat sahun itu.
Nah, kalau yang ini?
Rasanya tidak perlu memperkenalkan lagi ya. Semua warga di republik ini, (kecuali mungkin suku Anak Rimba di Jambi atau suku Badui di ujung Banten atau suku-suku lain di pedalaman yang belum tersentuh surat kabar, apalagi membaca Kompasiana, hehe) tentu tahulah bahwa wajah yang mulus ini adalah milik sang wagub DKI Basuki T. Purnama atau yang akrab disapa Ahok.
Sejenak saya melihat keduanya tidak ada persamaan yang cukup besar untuk bisa disandingkan dalam satu konteks. Profesi keduanya berbeda, SARA-nya juga, dan kemungkinan besar juga mereka belum pernah bertemu (Saya tidak tahu apakah Bapak Ahok nge-fans dengan si plontos Ronaldo atau malah dulu terbang ke luar negeri hanya untuk menonton sepakbola, well ... it is not relevan to talk here).
Satu hal jelas: keduanya berhasil memikat saya. Tentu berawal dari penglihatan saya akan publikasi tentang mereka. Kemudian ada sesuatu yang unik saya temukan dari keduanya. Semakin saya ikuti ada yang unik ini bukan sekedar “eksentrik-asal tampil” tetapi sesuatu yang luar biasa.
Runut-punya runut, ternyata pengamatan saya terhadap sepak terjang keduanya ini-lah yang saya bisa sebut fenomena (Yun. phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti: gejala, misalkan gejala alam; hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra; hal-hal mistik atau klenik; fakta, kenyataan, kejadian). Tetapi kemudian, kata turunan adjektif, fenomenal, berarti: "sesuatu yang luar biasa". Ya. Ronaldo memang fenomenal pada masanya, dan di bidangnya. Tentang hal itu saya harus angkat tangan kepada para komentator sepakbola atau fans fanatik dari klub sepakbola tertentu. Saat ini Saya mau fokus ke fenomenal yang satu lagi ini. Bolehlah saya sebut si fenomenal Ahok atawa Ahok “Il Phenomenon”.
Saya tidak keberatan dituding subjektif, tetapi keduanya layak disebut luar-biasa alias fenomenal. Dan saya sadar bahwa saya, sebagai bagian dari masyarakat yang masih belum sembuh benar dari penyakit “kurang percaya diri”, saya butuh “idol” atau idola seperti ini. Tentu saja, supaya saya kemudian bisa melabuhkan identifikasi saya ke siapa dan dalam hal mana. Artinya, kalau Ahok yang dari Belitung sana berhasil menyedot perhatian Senayan dan seantero Jakarta, ya saya juga pasti bisa. Praktisnya, bersama orang-orang lain, saya jujur mulai kagum dengan si fenomenal Ahok ini.
Bukan kompetensi saya untuk menilai kapasitas dan kinerja Ahok sebagai Wagub DKI Jakarta, tempat saya juga belajar dan berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan “warga kampung tengah” alias perut ini. Saya hanya tertarik dan tak henti-hentinya mengernyitkan dahi setiap kali ada pemberitaan tentang orang ini. Ada yang “spesial” rasanya. Dan ini membuat saya penasaran. Suatu kenyataan yang terbuka untuk saya, pasti juga terbuka untuk orang lain (mengutip Mahatma Gandi, walau dalam konteks yang berbeda). Jadi, yang melihat betapa fenomenalnya Ahok berarti bukan hanya saya. Kemungkinan besar juga adalah warga sekitar Tanah Kusir, Kebayoran Lama Selatan, tempat saya ngekos. Soalnya, saban hari pembicaraan tentang sosok ini juga naik rating-nya di warteg dan warkop tempat saya biasa nongkrong dan mulai sok akrab dengan warga sekitar.
Bahkan, kemungkinan ini juga niscaya berdampak semakin luas. Rasanya juga sudah merambah sampai ke tingkatan yang lebih elitis yakni para pejabat dan pemangku kepentingan yang setiap hari memikirkan urusan yang kurang lebih sama dengan Ahok.
Pada tingkat ini, kritik dan komentar menjadi berimplikasi luas dan layak ditelusuri secara lebih mendalam. Sebab, bukankah ucapan dan kritik yang kita lontarkan adalah cermin dari permenungan dan kecemasan kita?
Jadi, kalau pengurus Gerindara DKI katakan “Ahok jangan sok jago dan sok hebat”, boleh kita tanyakan kembali apakah ini murni sapaan sebagai sebagai kader atau ungkapan kejengkelan penuh iri: “Mengapa Ahok, dan bukan saya”.
Atau jika M. Taufik mempertanyakan prestasi Ahok dengan berkicau “Prestasi apa Ahok? Ngomong doanh”, lantas bukankah M. Taufik sendiri-lah yang nota bene sedang atau hanya ngomong sementara yang diomongin barangkali sedang sibuk memikirkan pengelolaan rusun di Marunda dan manajemen Bank DKI? Dan untuk lebih memperjelas hobby-nya ngomong ini, ia lanjut lagi dengan menyebut kedigdayaan Prabowo dibanding Ahok dalam hal sumbangsih ke Partai Gerindra. “Gerindra hebat karena Prabowo, bukan Ahok” (Well... saya bahkan tidak pernah menyangka masyarakat akan berfikir demikian. Sebab semua orang juga tahu bahwa benar Prabowo dan Gerindra berjasa mendukung pencalonan Ahok sebagai Cawagub DKI ketika itu. Tapi, terima kasih sudah memunculkan ide itu. Mungkin ketika wacana ini sudah berkembang luas, malah Taufik sendiri yang tidak bakal menyangka bahwa komparasi Prabowo dengan Ahok malah meluas dengan isu yang ditiupkannya.
Atau supaya lebih lengkap, kita kutip saja ungkapan dari Ketua DPP Gerindra yang menyebut Ahok seperti Malin Kundang. (Walaupun tentunya semua orang juga tahu kisah kedurhakaan Malin Kundang adalah malu mengakui latar belakang keluarganya yang miskin setelah dia menjadi saudagar kaya). Apakah dengan ungkapan ini, dimaksudkan bahwa para petinggi partai garuda merah ini memaklumi kalau benar ada sesuatu yang memalukan di tubuh partai? Sehingga, alih-alih mencari obat penyembuhannya, malah mencap buruk siapapun yang ingin memperbaiki atau yang karena tidak tahan lalu lantas memutuskan untuk meninggalkan?
Seperti biasa, kita iri dengan siapapun yang mulai fenomenal (karena dalam hati kecil kita sebenarnya kita juga ingin disebut dengan gelar yang sama), hanya ya masih banyak yang belum jujur saja.
Jika yang bersuara semakin banyak tentang Ahok dan keluarnya dia Gerindra, bisa ditelisik apa maksud mereka. Apakah karena mereka kurang diliput media sehingga hasrat selfie-nya tidak terpuaskan? Soalnya mereka tahu bahwa kredit mereka berkurang di mata elektor-elektor di masa depan, yakni warga, setiap kali mereka keluarkan pernyataan yang tidak bijaksana atau komentar yang jelas hanya ingin memojokkan Ahok.
Padahal, Ahok sendiri tahu kenapa dia keluar. Ahok tahu bahwa lepas dari Gerindra, ia bakal bebas mengidentikkan diri sebagai milik rakyat. Rakyat cinta kepada siapapun pejabat yang menyatakan diri sebagai milik rakyat. Rakyat akan membela mereka, Lha, siapa coba yang berani melawan sosok yang dibela rakyat?
Apakah karena keran kesabaran mereka sudah tidak kuat lagi membendung arus deras fanatisme warga yang barangkali dulu mereka klaim adalah milik mereka? Katakan saya subjektif, tapi ini lebih masuk akal buat saya. Bahasa sederhananya, para penilai dan siapapun yang memojokkan Ahok sekarang sedang dibuat galau. “Kalau nanti sampai Ahok bisa sangat populer, gimana donk nasib saya ke depan?”.
Hanya saja, mereka mungkin lupa, bahwa media dan publikasi sangat ampuh mengakomodasi penilaian rakyat terhadap komentar dan penilaian yang tidak bijak, apalagi jika itu berasal dari mereka yang mengaku wakil rakyat. Mereka tidak ngeh bahwa semakin Ahok diserang dengan penilaian yang mendiskreditkan, saat itu juga pembela si fenomenal Ahok bertambah, rating-nya naik dalam pembicaraan di media sosial.
Jangan lupa, kalau ada yang rating-nya naik, ada yang lain rating-nya turun, bahkan sampai pada titik terendahnya. “Yah, mau bagaimana lagi, Ahok sudah kepalang fenomenal, jadi kalau saya melawan arus fenomenal-nya Ahok, jadinya saya tidak populer. Kecuali kalau saya punya kelebihan lain yang positif. Saya tinggalkan Ahok lalu saya bekerja keras membangun lingkungan positif dan citra yang baik. Sekarang mungkin belum akan kelihatan hasilnya. Tapi saya bisa berkata: ‘Well... Ahok, now is your turn. Next, it will be mine. Can’t wait to see it’”, begitulah barangkali siapapun pejabat yang sudah dan sedang melakukannya, yang sudah lebih awal melihatnya lalu mensiasati. “Jadi, ya, daripada semakin tidak populer dengan mengomentari Ahok yang sudah kadung fenomenal itu, mendingan saya latih diri saja sekarang sampai nanti momentum-nya tiba, saya juga bisa fenomenal kok. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja”. Begitulah mungkin pergumulan batin di hati sebagian pejabat yang masih ingin karirnya lebih panjang. Dan jika pergumulan ini betul-betul dihidupi, yakinlah bahwa dari dua ratus juta-an warga Indonesia, Anda juga bakal kebagian sympatikos atau simpatisan.
Hari-hari ini menarik berbicara tentang Ahok dan sepak-terjangnya sebagai figur yang mencoba memikat rakyat dengan lebih memposisikan diri sebagai negarawan daripada seorang politikus (tentu saja: politikus biasanya tentu tidak meninggalkan partai yang menyumbang banyak kursi di DPRD). Semakin menarik karena ternyata, dia berhasil juga memikat media dan masyarakat umum, terutama masyarakat Jakarta, termasuk pendatang seperti saya, untuk tidak berhenti membicarakannya. Dengan kata lain, pelan tapi pasti Il Phenomenon telah berhasil direbutnya. Begitulah, setidaknya di hati saya, untuk sementara waktu ini.
Seandainya saja Ahok suka sepakbola, nge-fans berat dengan Ronaldo, lalu berdua berfoto bersama, saya akan unduh fotonya dari Google, lalu saya print, saya bingkai dan gantungkan di dinding kamar saya. Hmmmm .... saya kasih judul: Il Phenomenon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H