Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Il Phenomenon – Ahok dan Ronaldo Berebut Gelar

15 September 2014   08:39 Diperbarui: 5 November 2015   18:15 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi, kalau pengurus Gerindara DKI katakan “Ahok jangan sok jago dan sok hebat”, boleh kita tanyakan kembali apakah ini murni sapaan sebagai sebagai kader atau ungkapan kejengkelan penuh iri: “Mengapa Ahok, dan bukan saya”.

Atau jika M. Taufik mempertanyakan prestasi Ahok dengan berkicau “Prestasi apa Ahok? Ngomong doanh”, lantas bukankah M. Taufik sendiri-lah yang nota bene sedang atau hanya ngomong sementara yang diomongin barangkali sedang sibuk memikirkan pengelolaan rusun di Marunda dan manajemen Bank DKI? Dan untuk lebih memperjelas hobby-nya ngomong ini, ia lanjut lagi dengan menyebut kedigdayaan Prabowo dibanding Ahok dalam hal sumbangsih ke Partai Gerindra. “Gerindra hebat karena Prabowo, bukan Ahok” (Well... saya bahkan tidak pernah menyangka masyarakat akan berfikir demikian. Sebab semua orang juga tahu bahwa benar Prabowo dan Gerindra berjasa mendukung pencalonan Ahok sebagai Cawagub DKI ketika itu. Tapi, terima kasih sudah memunculkan ide itu. Mungkin ketika wacana ini sudah berkembang luas, malah Taufik sendiri yang tidak bakal menyangka bahwa komparasi Prabowo dengan Ahok malah meluas dengan isu yang ditiupkannya.

Atau supaya lebih lengkap, kita kutip saja ungkapan dari Ketua DPP Gerindra yang menyebut Ahok seperti Malin Kundang. (Walaupun tentunya semua orang juga tahu kisah kedurhakaan Malin Kundang adalah malu mengakui latar belakang keluarganya yang miskin setelah dia menjadi saudagar kaya). Apakah dengan ungkapan ini, dimaksudkan bahwa para petinggi partai garuda merah ini memaklumi kalau benar ada sesuatu yang memalukan di tubuh partai? Sehingga, alih-alih mencari obat penyembuhannya, malah mencap buruk siapapun yang ingin memperbaiki atau yang karena tidak tahan lalu lantas memutuskan untuk meninggalkan?

Seperti biasa, kita iri dengan siapapun yang mulai fenomenal (karena dalam hati kecil kita sebenarnya kita juga ingin disebut dengan gelar yang sama), hanya ya masih banyak yang belum jujur saja.

Jika yang bersuara semakin banyak tentang Ahok dan keluarnya dia Gerindra, bisa ditelisik apa maksud mereka. Apakah karena mereka kurang diliput media sehingga hasrat selfie-nya tidak terpuaskan? Soalnya mereka tahu bahwa kredit mereka berkurang di mata elektor-elektor di masa depan, yakni warga, setiap kali mereka keluarkan pernyataan yang tidak bijaksana atau komentar yang jelas hanya ingin memojokkan Ahok.

Padahal, Ahok sendiri tahu kenapa dia keluar. Ahok tahu bahwa lepas dari Gerindra, ia bakal bebas mengidentikkan diri sebagai milik rakyat. Rakyat cinta kepada siapapun pejabat yang menyatakan diri sebagai milik rakyat. Rakyat akan membela mereka, Lha, siapa coba yang berani melawan sosok yang dibela rakyat?

Apakah karena keran kesabaran mereka sudah tidak kuat lagi membendung arus deras fanatisme warga yang barangkali dulu mereka klaim adalah milik mereka? Katakan saya subjektif, tapi ini lebih masuk akal buat saya. Bahasa sederhananya, para penilai dan siapapun yang memojokkan Ahok sekarang sedang dibuat galau. “Kalau nanti sampai Ahok bisa sangat populer, gimana donk nasib saya ke depan?”.

Hanya saja, mereka mungkin lupa, bahwa media dan publikasi sangat ampuh mengakomodasi penilaian rakyat terhadap komentar dan penilaian yang tidak bijak, apalagi jika itu berasal dari mereka yang mengaku wakil rakyat. Mereka tidak ngeh bahwa semakin Ahok diserang dengan penilaian yang mendiskreditkan, saat itu juga pembela si fenomenal Ahok bertambah, rating-nya naik dalam pembicaraan di media sosial.

 Jangan lupa, kalau ada yang rating-nya naik, ada yang lain rating-nya turun, bahkan sampai pada titik terendahnya. “Yah, mau bagaimana lagi, Ahok sudah kepalang fenomenal, jadi kalau saya melawan arus fenomenal-nya Ahok, jadinya saya tidak populer. Kecuali kalau saya punya kelebihan lain yang positif. Saya tinggalkan Ahok lalu saya bekerja keras membangun lingkungan positif dan citra yang baik. Sekarang mungkin belum akan kelihatan hasilnya. Tapi saya bisa berkata: ‘Well... Ahok, now is your turn. Next, it will be mine. Can’t wait to see it’”, begitulah barangkali siapapun pejabat yang sudah dan sedang melakukannya, yang sudah lebih awal melihatnya lalu mensiasati. “Jadi, ya, daripada semakin tidak populer dengan mengomentari Ahok yang sudah kadung fenomenal itu, mendingan saya latih diri saja sekarang sampai nanti momentum-nya tiba, saya juga bisa fenomenal kok. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja”. Begitulah mungkin pergumulan batin di hati sebagian pejabat yang masih ingin karirnya lebih panjang. Dan jika pergumulan ini betul-betul dihidupi, yakinlah bahwa dari dua ratus juta-an warga Indonesia, Anda juga bakal kebagian sympatikos atau simpatisan.

Hari-hari ini menarik berbicara tentang Ahok dan sepak-terjangnya sebagai figur yang mencoba memikat rakyat dengan lebih memposisikan diri sebagai negarawan daripada seorang politikus (tentu saja: politikus biasanya tentu tidak meninggalkan partai yang menyumbang banyak kursi di DPRD). Semakin menarik karena ternyata, dia berhasil juga memikat media dan masyarakat umum, terutama masyarakat Jakarta, termasuk pendatang seperti saya, untuk tidak berhenti membicarakannya. Dengan kata lain, pelan tapi pasti Il Phenomenon telah berhasil direbutnya. Begitulah, setidaknya di hati saya, untuk sementara waktu ini.

Seandainya saja Ahok suka sepakbola, nge-fans berat dengan Ronaldo, lalu berdua berfoto bersama, saya akan unduh fotonya dari Google, lalu saya print, saya bingkai dan gantungkan di dinding kamar saya. Hmmmm .... saya kasih judul: Il Phenomenon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun