Cara pandang seperti ini lebih sering bermuara pada hasil yang negatif daripada positif.
Kedua, tak boleh mengembangkan stigma negatif terhadap suku lain.
Poin ini berhubungan dengan poin sebelumnya. Ethnosentrisme membuat seseorang sukar memandang suku lain secara objektif.
Orang tersebut lebih suka memercayai apa yang ditangkap berdasarkan perspektif atau pengalaman mereka sendiri.
Ia juga mudah tergoda untuk memahami suku lain berdasarkan opini populer tentang suku itu, yang belum tentu mewakili semua penduduk suku itu.
Ketiga, perlu memasukkan unsur budaya lain dalam ibadah atau aktivitas mereka.
Gereja bisa mengundang pembicara dari suku lain untuk membagikan cara pandang yang berbeda tentang beberapa hal.
Langkah ini sangat diperlukan untuk mengikis ethnosentrisme. Manfaat lain adalah mengondisikan jemaat untuk mau belajar dari suku yang berbeda-beda.
Keempat, perlu menyuarakan anti rasisme secara jelas dan berulang-ulang.
Mengubah kebiasaan bukanlah usaha yang mudah. Setiap orang merupakan produk budaya. Karenanya gereja perlu mengulang-ulang berita yang sama.
Keberdosaan dan keberhargaan semua suku di dalam Kristus perlu dikhotbahkan dan dibicarakan secara intensional dan intensif.
Hanya dengan membiasakan hal-hal baru yang positif demikian kita akan mampu mengikis hal-hal lama yang negatif.
Kesimpulan
Akhirnya, bisa dikemukakan bahwa sesungguhnya jawaban utama untuk pertanyaan besar di awal, termasuk pertanyaan rekan mahasiswa tadi, adalah  bahwa gereja suku bukanlah sebuah sikap rasisme karena keberadaan Yesus sendiri sebagai kepala gereja.
Di mata Yesus setiap ragam perbedaan kita, termasuk perbedaan latar suku adalah sebuah keberhargaan. Itu kesukaan Yesus. Dalam kesukaan Yesus itu semua denominasi gereja termasuk gereja suku menyatu tak suka rasisme.