Mohon tunggu...
Donald Siwabessy
Donald Siwabessy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mendisiplin Anak dengan Rasa Cinta

27 Juli 2024   17:15 Diperbarui: 27 Juli 2024   17:42 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Mendisiplin Anak Dengan Rasa Cinta" (Sumber: Freepik.com)

"Ayah dan bunda, sebagai orang tua apakah Anda pernah mendisiplinkan buah hati Anda karena kesalahan yang dilakukannya?"

Disiplin berarti menolong anak belajar mematuhi aturan dan tata tertib dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun sekolah.

Pemberlakuan disiplin sangat penting, bertujuan agar anak belajar untuk mengendalikan diri dan tak berperilaku seenaknya sendiri. Karenya disiplin seringkali dikonotasikan dengan tindakan 'ketegasan' atau 'hukuman' terhadap pelanggaran yang dilakukan anak.

Sering terdengar keluhan bahwa anak-anak sekarang sulit didisiplin, cenderung melawan dan berani membantah orang tua atau guru. Seringkali tidakkan keras dengan maksud mendisiplin bukannya mengubah perilaku anak, malah memperburuk hubungan anak dengan orang tua.

Di samping itu, ada pendapat agar orang tua lebih bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap anak. Apakah sikap "lembek" dan permisif semacam ini justru tidak akan memperburuk keadaan, membuat anak-anak semakin brutal, dan tidak tahu sopan santun dan aturan?

Di tengah situasi dilematis demikian, bagaimana semestinya mendisiplinkan anak? Agar pendisiplinan berlangsung dengan benar dan efektif, beberapa langkah berikut bisa menjadi masukkan bagi ayah dan bunda dalam melakukannya..

1. Anak harus merasa dicintai.

Kebutuhan dasar setiap anak adalah dicintai dan diterima tanpa syarat. Anak benar-benar merasakan bahwa orang tuanya mencintai dirinya melalui tindakan nyata sehari-hari yang terungkap melalui kata-kata ataupun perbuatan. Ketika kebutuhan dasar ini terpenuhi, anak cenderung berpikir positif dan kooperatif dengan orang tua.

Dengan merasa dicintai, anak akan menerima tindakan pendisiplinan secara positif. Mereka percaya bahwa apa pun yang dilakukan orang tua adalah demi kebaikan dirinya. Sebaliknya, jika anak merasa tidak dicintai dan tidak diterima, apa pun yang dilakukan orang tua cenderung dinilai secara negatif.

Secara naluriah anak pun bereaksi terhadap tindakan pendisiplinan, bisa berupa perlawanan, protes, atau sikap tak acuh. Pendisiplinan tanpa didasari oleh rasa cinta hanya akan melahirkan kemarahan, kebencian, dan balas dendam dalam diri seorang anak.

2. Tetapkan aturan bersama.

Jika tindakan disiplin menyangkut aturan dan tata tertib, sebaiknya anak sudah mengetahui terlebih dulu risiko yang akan ditanggungnya jika melanggar aturan tersebut. Hukuman yang tiba- tiba, sering dimengerti anak sebagai tindakan yang tidak adil sehingga reaksi pun negatif dan tidak efektif.

Misalnya, orang tua menerapkan aturan agar anak makan malam bersama pukul tujuh di rumah, sedangkan bagi yang tidak bisa harus memberitahu sebelumnya, atau setidaknya menelepon. Bagi yang melanggar, hukumannya adalah "tugas mencuci piring pada hari berikutnya".

Jika aturan ini disepakati bersama, masing-masing anggota keluarga akan berusaha memberikan komitmen dengan senang hati, bagi yang terpaksa melanggar pun hukuman bisa dijalankan tanpa diwarnai amarah dan kebencian.

Aturan-aturan yang dibuat dalam keluarga dan disepakati bersama akan menjadi media belajar bagi anak untuk menumbuhkan sikap solidaritas dan tanggung jawab. Orang tua pun tidak harus memaksakan otoritasnya karena aturan dengan sendiri sudah berfungsi sebagai alat pendisiplinan.

"Mendisiplin Anak Dengan Rasa Cinta" (Sumber: Freepik.com)

3. Bijaksana menimbang kesalahan.

Ketika anak melakukan tindakan negatif, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, apakah anak sengaja atau tanpa unsur kesengajaan. Kedua, apakah anak menyadari kesalahannya atau tanpa penyesalan sedikit pun.

Tindakan pendisiplinan mutlak perlu dan paling serius diberikan jika anak sengaja dan tidak menyesali perbuatannya. Jika anak sengaja tetapi menyesali perbuatannya, berarti anak mau belajar dari kesalahan. Di kemudian hari, pendisiplinan yang terlalu keras justru tidak mendidik karena anak merasa tidak dihargai.

Jika anak tidak sengaja, dan menyesali perbuatannya, maka yang paling bijak adalah tindakan memaafkan karena pada prinsipnya anak tidak bersalah.

Dalam kasus-kasus seperti sebelumnya, orang tua benar-benar harus berlaku bijaksana agar tindakan pendisiplinan memiliki nilai edukatif yang mampu mengubah perilaku anak ke arah yang lebih positif.

4. Bukan bentuk amarah dan emosi.

Tak jarang tindakan pendisiplinan didorong oleh rasa marah dan suasana emosional karena harga diri dan kewibawaan orang tua terasa dirongrong, atau frustrasi menghadapi perlawanan anak. Jika hal ini yang terjadi, tindakan pendisiplinan tentu tidak efektif, bahkan bisa menjadi bumerang di kemudian hari.

Orang tua terlebih dulu perlu introspeksi, apakah masih dikuasai emosi dan amarah, dan apakah tindakannya masih bersifat rasional, semata-mata demi kepentingan dan kebaikan anak atau tidak.

Orang tua  perlu menunjukkan bahwa mereka tetap menghormati dan mencintai pribadi anak,  mereka hanya tidak menyetujui perbuatannya.

Cara ini akan mengurangi resistensi anak dan memotivasi untuk membangun sikap positif. Tidak ada kesan bagi orangtua untuk melakukan pembalasan terhadap kesalahan anak, justru sebaliknya timbulnya kesan dalam diri anak bahwa orang tuanya terpaksa melakukannya.

Dengan cara demikian, tindakan pendisiplinan dapat dilihat benar sebagai koreksi atas perbuatan anak.

5. Hargai perilaku positif anak.

Sering timbul kesan dalam diri anak bahwa orang tua bisanya hanya melihat kekurangan dan kurang bisa menghargai hal yang positif. Ketika anak melakukan tindak negatif, baru orang tua bereaksi, tetapi ketika anak menunjukkan perilaku positif, tak ada penghargaan apa pun.

Penggunaan kata "selalu" atau "tidak pernah" membuat anak merasa tak dihargai, misalnya "Kamu selalu malas!" atau "kamut idak pernah nurut sama orang tua!". Apakah selamanya si anak malas dan tak pernah barang sekali pun menuruti perintah? Jawabanya, jelas tak selalu demikian!

Demikian ayah dan bunda beberapa langkah yang dapat  Anda terapkan dalam mendisplinkan anak. Semogah melalui setiap disiplin yang diterapkan anak tetap menemukan bahwa kita melakukannya demi kebaikan karena mencintai mereka.

Semogah berkenan![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun