Mohon tunggu...
Donald Siwabessy
Donald Siwabessy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejauh Mana Mengampuni Orang yang Pernah Menyusahkan Hidup Kita?

18 Juni 2024   22:23 Diperbarui: 24 Juni 2024   22:45 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: "Sejahu Mana Mengampuni Orang yang Pernah Menyusahkan Hidup Kita?" (Sumber: Freepik.com)

 Inti dari semuanya adalah sikap hati kita. Hati yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar.

"Kita harus berusaha mengampuni orang yang telah melukai hati atau menyusahkan kita! Ingatlah, Tuhan telah mengampuni semua kesalahan kita! Maka berusahalah mengampuni sesamamu!" suara pengkhutbah itu keras, memenuhi seisi ruangan.

"Ah, rasanya sulit mengampuni dia bila ingat beratnya derita yang ia hadirkan di hidupku setahun lewat. Rasanya tak akan!" omelan batin Agus dalam diam di antara ratusan jemaat, menanggapi nasihat pengkhutbah itu.

Adegan barusan adalah gambaran bahwa mengampuni atau memaafkan bukan perkara yang mudah. Hati manusia cenderung ingin membalas kejahatan dengan kejahatan. Pembalasan dendam menawarkan kepuasan bagi perasaan.

Godaan untuk balas dendam mungkin bisa sedikit berkurang jika orang yang bersalah kepada kita menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita.

Dalam situasi seperti ini, mereka yang memutuskan untuk mengampuni juga masih memiliki sebuah pergumulan atau masalah, yaitu sejauh mana pengampunan diberikan?

Maksudnya, apakah pengampunan selalu harus berupa pemulihan hubungan seperti sebelum kejahatan dilakukan?

Jika iya, bagaimana dengan mereka yang tidak menyadari kesalahannya dan tidak mau meminta maaf? Jika tidak, sejauh mana kebaikan perlu ditunjukkan?

Alkitab memberikan jawaban yang cukup realistis untuk persoalan ini dan menolong menerangi bagaimana harusnya kita bersikap.

Begini, tidak semua relasi memang dapat dipulihkan seperti sedia kala. Paulus menasihati kita untuk hidup damai dengan semua orang, tetapi dia memberi penjelasan, katanya,:"kalau hal itu bergantung kepada kamu" (Rm. 12:18).

Di tempat lain Paulus mengajarkan kita untuk tidak bergaul dengan orang yang bebal atau tak mau berubah, tetapi kita tetap harus menganggap dia sebagai saudara. Paulus menegaskannya begini:

"Jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu, n tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara." (2Tes. 3:14-15).

Di sisi lain, Alkitab juga tidak pernah memerintahkan kita untuk memperbaiki hubungan seperti sedia kala. Jika kita mampu melakukannya jelas lebih baik. Bagaimanapun, tidak ada perintah yang mewajibkan itu.

Jadi, bagaimana? Sejauh mana kita mengampuni?

Dari beberapa catatan di Alkitab, kita dapat mengetahui beberapa batasan pengampunan, antara lain:

Pertama, kita tidak memikirkan pembalasan. Tertulis: "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat pada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, fireman Tuhan. (Roma 12:19)

Kedua, kita tetap mengharapkan yang baik untuk musuh kita. Tertulis: "Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu." (Luk. 6:28).

Ketiga, kita tidak bersukacita atas kemalangannya. Tertulis: "Jangan engkau bersukacita apabila jatuh seterumu, dan jangan hatimu bergemar apabila terantuklah ia. Janganlah senang kalau musuhmu celaka, dan jangan gembira kalau ia jatuh." (Ams. 24:17).

Keempat, kita mendoakan dia. Teertulis: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat. 5:44).

Kelima, Kita sudah mencoba untuk berdamai dengan dia. Paulus berkata: "Sedapat-dapatnya, kalua hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Rm. 12:18).

Keenam, kita mau memberikan pertolongan jika dia memerlukan. Tertilis: "Apabila engkau melihat lembu musuhmu  atau keledainya yang sesat, maka segeralah kau kembalikan binatang itu." (Kel. 23:4).

Inti dari semuanya adalah sikap hati kita. Hati yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar.

Jika dari awal kita enggan untuk memaafkan dan hanya ingin menghindar, respons positif apapun yang ditunjukkan oleh seseorang tidak akan mengubah perilaku kita kepadanya. Kita telah memilih untuk tidak memercayai dia, tidak peduli apapun usaha yang dia tunjukkan kepada kita.

Sebaliknya, jika kita membiarkan hati kita dikalibrasi oleh Tuhan melalui kuasa Firman-Nya, kita akan dimampukan untuk melangkah lebih jauh. Mungkin tidak harus sejauh sebelumnya, tetapi tetap lebih jauh daripada sewajarnya.

Semogah berkenan![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun