"Jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu, n tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara." (2Tes. 3:14-15).
Di sisi lain, Alkitab juga tidak pernah memerintahkan kita untuk memperbaiki hubungan seperti sedia kala. Jika kita mampu melakukannya jelas lebih baik. Bagaimanapun, tidak ada perintah yang mewajibkan itu.
Jadi, bagaimana? Sejauh mana kita mengampuni?
Dari beberapa catatan di Alkitab, kita dapat mengetahui beberapa batasan pengampunan, antara lain:
Pertama, kita tidak memikirkan pembalasan. Tertulis: "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat pada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, fireman Tuhan. (Roma 12:19)
Kedua, kita tetap mengharapkan yang baik untuk musuh kita. Tertulis: "Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu." (Luk. 6:28).
Ketiga, kita tidak bersukacita atas kemalangannya. Tertulis: "Jangan engkau bersukacita apabila jatuh seterumu, dan jangan hatimu bergemar apabila terantuklah ia. Janganlah senang kalau musuhmu celaka, dan jangan gembira kalau ia jatuh." (Ams. 24:17).
Keempat, kita mendoakan dia. Teertulis: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat. 5:44).
Kelima, Kita sudah mencoba untuk berdamai dengan dia. Paulus berkata: "Sedapat-dapatnya, kalua hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Rm. 12:18).
Keenam, kita mau memberikan pertolongan jika dia memerlukan. Tertilis: "Apabila engkau melihat lembu musuhmu  atau keledainya yang sesat, maka segeralah kau kembalikan binatang itu." (Kel. 23:4).
Inti dari semuanya adalah sikap hati kita. Hati yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar.