Mohon tunggu...
Donald Siwabessy
Donald Siwabessy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Tutup Tahun 2023: Cinta yang Membatasi, Cinta yang Paling Membebaskan

31 Desember 2023   14:50 Diperbarui: 31 Desember 2023   14:52 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta Yang Membatasi, Cinta Yang Paling Membebaskan! (Sumber: Freepik.com)

 

"Jangan cintai aku apa adanya, jangan! 

Tuntut sesuatu biar kita jalan ke depan."

Satu kebiasan yang saya kembangkan beberapa tahun terakhir ini, yaitu merampungkan pembacaan sebuah buku sebelum mengakhiri tahun.

Bersyukur akhir tahun ini saya merampungkan membaca sebuah buka lama berjudul, "Allah Dan Rasio", yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Timotty Keller, setebal 292 hlm. sejak dua minggu lalu sebelum 31/12/2023. Lama juga ya? Ah, tak apalah. Syukur masih bisa membaca buku!

Salah satu quotes menarik yang saya temukan dalam buku itu dan ingin saya sorot dan refleksikan lewat tulisan ini sebelum menutup tahun 2023 ini adalah: "Cinta yang membatasi adalah cinta yang paling membebaskan!" Anda berkenan membacanya? Mari kita lanjutkan!

Sesaat setelah membaca quotes tadi, dahi saya kernyitkan, mata dipicingkan, disusul suara membatin, "Masa sih, bukannya cinta itu seharusnya membebaskan, bukan membatasi?" Begitulah lazim kita, cepat menanggapi sesuatu sebelum tahu persis duduk perkaranya.

                                                                                                                   

Lakon tanggap isi quotes semacam tadi tak jarang dipicu alasan-alasan sentimentil soal cinta, semacam, "Cinta itu indah, kok pakai dibatasi? Sebenarnya cinta nggak sih? Sayang nggak sih? Jangan-jangan cuma terpaksa. Bebaskan saja perasaan itu. Itu baru cinta!" begitu katanya.

Namun ada juga alasan lain yang berbau filosofis mendukung jenis tanggapan semacam tadi, yaitu penolakan pada otoritas dalam persoalan moral. Penolakan ini bahkan telah menjadi arus kuat dalam budaya kita hari ini. 

         

Arus kuat apa? Arus kuat budaya yang menilai bahwa manusia dilihat sepenuhnya manusia, jika ia memiliki kebebasan untuk menentukan tolok ukur moral dirinya lepas dari kendali otoritas dan tradisi di luar dirinya. Termasuk pada persoalan moral berkenan urusan cinta. Artinya, pembatasan dalam urusan cinta bisa dianggap sebagai tindak membelenggu manusia menjadi manusia seutuhnya!

Bila ditelusuri sejarahnya, arus kuat sungai budaya itu berhulu pada pemikiran seorang filsuf bernama Imanuel Kant, yang mendefenisikan bahwa seorang manusia yang tercerahkan adalah seorang yang percaya pada kekuatan pemikirannya sendiri ketimbang terbelenggu otoritas atau tradisi.

Apakah pemikiran dan sikap itu bisa dibenarkan? Sepenuhnya tidak! Kebebasan tidak dapat didefenisikan hanya dalam istilah yang negatif dan kaku sebagai ketiadaan pembatasan. Justru kenyataannya dalam banyak kasus termasuk soal cinta, pembatasan dan peraturan sebenarnya adalah sarana produksi kebebasan.

Ambil contoh, jika Anda punya kemampuan bermain bola, Anda harus terus berlatih selama bertahun-tahun demi menjadi pemain bola profesional. Ini sebuah pembatasan bagi kebebasan diri. Ada banyak hal yang tidak dapat Anda lakukan karena waktu yang digunakan untuk berlatih. Akan tetapi disiplin dan pembatasan ini akan membebaskan kemampuan Anda yang tersembunyi. Itu berarti Anda telah menghilangkan kebebasan diri untuk melakukan beberapa hal demi mendapatkan sejenis kebebasan yang memampukan untuk mencapai hal-hal lain.

Apakah ini artinya bahwa pembatasan, disiplin, dan aturan secara otomatis membebaskan? Tidak juga! Pembatasan dan disiplin akan membebaskan ketika sesuai dengan kenyataan natur dan kapasitas kita.

Sebagai contoh, seekor ikan tongkol, karena menghirup oksigen dari air bukan dari udara, ia menjadi bebas jika dibatasi oleh air. Jika diletakkan ke dalam tas kresek, kebebasannya bergerak dan hidup telah dihancurkan. Bukan karena nasibnya nanti akan dicemplung dalam minyak goreng panas, lalu jadi tongkol goreng lesat. Namun ia bakal mati karena realitas naturnya tak dihargai.

Begitulah pembatasan yang sesuai dengan kenyataan natur kita kelak menghasilkan kekuatan dan kemampuan bahkan sebuah sukacita dan kepuasan yang lebih besar.

Sekarang kita kembali pada quotes di awal, melihat duduk perkaranya dan menanggapinya dengan benar. Benarkah bahwa cinta yang membatasi adalah cinta yang paling membebaskan?

Sebuah prinsip dalam soal cinta, baik cinta yang romantis maupun bukan menandaskan bahwa kita harus kehilangan kebebasan untuk dapatkan keintiman yang lebih besar dalam cinta.

Andaikan, si Maman ingin "kebebasan" cinta -- kepuasan, keamanan, rasa berharga yang dihasilkan cinta -- ia harus membatasi kebebasannya dalam banyak hal. Ia tidak dapat masuk dalam sebuah relasi yang dalam saat masih membuat keputusan-keputusan sepihak. Atau tidak mengizinkan si Mimin kekasih hatinya berpendapat tentang bagaimana ia menjalankan hidupnya. Dengan kata lain untuk mengalami sukacita dan kebebasan cinta, Maman harus menyerahkan otonomi pribadinya pada sang kekasih, Mimin.

Prinsip cinta ini tergambar jelas dalam lagunya Tulus, seorang penyanyi sekaligus pencipta lagu Pop Indonesia, berjudul "Jangan Cintai Aku Apa Adanya." Bagian chorus lagu itu berlirik begini:

"Jangan cintai aku apa adanya, jangan! 

Tuntut sesuatu biar kita jalan ke depan."

Frasa "tuntut sesuatu" di bagian itu menunjukkan kesediaan seorang kekasih membuka diri bagi orang yang dicintainya. Mendengar tuntutan atau harapannya dalam relasi itu. Tentu ini sebuah pembatasan. Siapa juga yang senang dituntut, enaknya menuntut.

Namun lihat hasilnya, katanya: "biar kita jalan ke depan". Hubungan keduanya bisa langgeng jalan ke depan. Cinta mereka justru membebaskan bukan mengekang. Menariknya, bagi Tulus itulah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tak hanya apa adanya alias ala kadarnya.

Timothy Keller dalam bukunya itu mengatakan, "Manusia paling bebas dan hidup jika ia berada dalam relasi kasih. Kita hanya menjadi diri kita di dalam kasih, dan relasi-relasi kasih yang sehat mencakup pelayanan timbal balik yang tidak egois."

Di dalam Kekristenan, diyakini dari pengalaman manusia yang pernah ada, salah satu pribadi yang paling bebas menyatakan cinta sebagaimana dimaksud Keller, bahkan membuktikan diri Nya adalah cinta itu, adalah Yesus. Cinta Yesus membatasi diri Nya demi membebaskan bukan hanya diri Nya namun terutama yang dicintai Nya.

Untuk menyatakan cinta Nya bagi manusia, seakan kita mendengar ia berkata: "Aku akan menyesuaikan diri denganmu. Aku akan berubah untukmu. Aku akan melayanimu meskipun itu berarti pengorbanan bagi Ku." Cinta Nya itu diyakini adalah potret relasi antara Allah dan manusia. Tak hanya kita yang dituntut menyesuaikan diri dengan Allah, namun Allah juga dengan cara yang radikal melalui Yesus menyesuaikan diri dengan kita.

Dalam penyesuaian Allah itu kita menemukan Yesus rela menjadi seorang manusia terbatas, menderita dan mati tersalib sebagai orang berdosa. Ia mati menggantikan dan membebaskan manusia dari dosa. Tertulis, "melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia ... dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi. 2:7-8)

Jika cinta Yesus rela membatasi diri Nya demi membebaskan manusia dari kejahatan, maka mereka yang percaya pada Nya tak hanya punya model bagaimana mencintai, namun juga diberi kemampuan untuk mencinta oleh anugerah-Nya.

Cintai siapa? Tuhan, suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, tetangga, sesama termasuk orang yang mungkin memusuhi.

Bagaimana caranya? Timbal balik, tak egois, mampu membatasi diri!

Hasilnya? Memuaskan, membahagiakan, membebaskan!

Jadi, benarkah cinta yang membatasi adalah cinta yang paling membebaskan? Ah, sekarang Anda sudah tahulah jawabannya!

Selamat mengakhiri tahun 2023 dan memasuki tahun baru, 01/01/2024. Semogah cinta dan berkat melimpahi kita di tahun 2024.[]

                                             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun