"Anda pernah mengingat sebuah lagu lama?" sore ini saya mengingatnya!
Hari Selasa (21/11/2023) saya terima telpon dari seorang kakak di Ambon. Ia orang Maluku yang lahir, dibesarkan dan tinggal di Belanda. Saat ini ia sedang vakansi dari Belanda bersama istrinya di Ambon.
Dalam ceritanya lewat handphone mengalir sebuah cerita tentang rasa syukurnya meyakini Sang Pencipta menolong istrinya dan ia melewati kesulitan dan ujian hidup. Syukurnya menghisapku mengalir bersama dalam syukurnya.
Aliran rasa syukur tiga hari lalu itu muncul kembali di benak sore ini membawa sejuknya. Deras alir syukur itu lalu menguak kenangan-kenangan  lama di sekitar soalan kesulitan hidup manusia.
     Â
Tak kebetulan cerita tentang sulit dan ujian hidup yang dihadapinya di Belanda ketika istrinya divonis dokter menderita penyakit kanker hingga akhirnya sembuh, mengingatkan kembali lagu pertama dalam bahasa Belanda yang pernah saya dengar. Lagu berjudul Als u in nood verkeert, diperkenalkan oleh oma Sumiatun.
Siapa oma Sumiatun? Tentang apa lagu itu? Hendak saya kisahkan. Semogah Anda tak buru-buru berlalu, saya hendak berkisah ... hehe
***
Oke, 18 Agustus 2011 untuk kedua kalinya saya berkunjung ke Yayasan Rumah Orang Tua Tuna Netra Ebenhaezer, di daerah Lembang (Bandung). Sebuah panti jompo Kristen. Para orang tua disitu adalah kaum disabilitas tuna netra.
Kunjungan bersama teman-teman gereja kali itu semacam silahturahmi dengan orang tua di panti itu. Mengadakan ibadah dan doa, selepasnya berbagi semacam bingkisan sebelum berpisah.
Oma Sumiatun, adalah satu di antara orang tua itu. Usianya 76 tahun kala itu. Seperti pertemuan pertama dua tahun sebelumnya, ia tampak antusias, bersemangat. Terus saja ingin bernyayi memuji Tuhan walau telah tuntas ibadah.
Saat itu saya menemukan hal menarik lain tentangnya. Sebuah foto di ruang tamu panti itu yang tak sempat dilihat saat kunjungan pertama. Foto berukuran besar. Dibingkai. Tergantung di dinding.
Fotto itu memotret tangan kanan seseorang sedang membaca kitab suci berhuruf Braille dengan jari-jarinya. Pada jari manis tangan kanan itu melingkar indah cincin kawin, nice.
Di samping foto itu tertulis sebuah puisi, berjudul, "Tetap Setia". Sebaris di bawah judul puisi tertera nama oma Sumiatun. Rupanya itu puisinya. Tangan itu milik oma Sumiatun sendiri.
Anda pasti pasti penasaran bagaimana isi puisinya. Begini ...
"Tetap Setia"
Masa indah memang telah berlalu
Dan kini kau tidak lagi ada di sisiku
Namun janjiku untuk tetap setia padamu
Tidak akan mengenal waktu
Saat aku bisa melihat suamiku
Aku bersyukur pada Mu
Tapi ketika aku tidak dapat melihatpun
Aku tetap setia membaca Firman Mu
Dan memakai cincin perkawinanku
Membaca pauisi itu sesuatu menari di benak, mengajak mendalami makna puisi itu dalam diam. Saya lalu menemukan dua bentuk kesetiaan kawin didalamnya.
Pertama, kesetiaan oma Sumiatun pada mendiang suaminya. Gambaran kesetiaan hubungan suami-istri. Harusnya berlangsung sepanjang hayat. Tak sebatas masa indah lalu menghilang diterpa angin susah.
Kedua, kesetiaan oma Sumiatun pada Tuhan. Gambaran setia ciptaan pada Penciptanya. Menerima, bersyukur sekalipun kenyataan tak seindah harap. Dan cinta membaca Firman-Nya sejenis petunjuk setianya pada Sang Maha Segalanya.
Kedua, bentuk kesetiaan itu menyatu. "Aku tetap setia membaca Firman Mu," dan "Dan memakai cincin perkawinanku". Seperti mengingatkan bahwa kesetiaan seseorang pada pasangannya bergantung setiaannya pada Tuhannya!"
Ya, sejatinya kesetiaan pada Pencipta memengaruhi setia pada ciptaan dalam relasi setara!
16 Januari 2012, setahun berselang, saya berkunjung kembali ke panti itu. Kembali menemuinya karena rindu mendengar ceritanya. Ia nampak kian sepuh, namun tak hilang semangat dan antusiasnya.
Maka mengalirlah kisah demi kisah. Tentang matanya yang buta sejak usia 15 tahun, akibat infeksi karena tak sengaja mencuci muka dengan air yang tercemar racun. Tentang mendiang suaminya sesama penyandang tuna netra. Tentang 5 anak. Mantu. 13 cucu.Tentang waktunya tinggal di panti itu sejak tahun 1998 dan terus betah hingga saat itu. Tentang foto dan puisi di ruang tamu panti. Dan tentang lagu kesayangannya dalam bahasa Belanda, "Als u in nood verkeert" yang berarti "Kalau kamu duduk di dalam satu kesulitan". yang ia nyanyikan bagiku.
     Â
Sebelum ia mengakhiri ceritanya buru-buru saya bertanya, "Selama 78 tahun, hal apa yang paling oma syukuri dalam hidup?"
"Rencana Tuhan dalam hidup saya. Sekalipun mata jasmani saya tak melihat, tetapi mata batin saya bisa melihat Tuhan kekuatan dan penghibur saya." Â jawabnya
Seketika hadir di benak, "Ini rahasianya, kenapa ia begitu bersemangat. Kenapa antusiasnya riang candai harinya. Ya, harinya terang sekalipun netranya gelap."
Di tengah jalan kembali ke rumah, antara Lembang dan Cihanjuang terngiang lagu berbahasa Belanda itu, disusul hikmat, "Mata hati yang tertuju pada Nya mengajar, kita tak sendiri sesulit apa pun hidup!"
***
Ah, panjang kali bah kisah itu, haha. Saya sudahilah! Semogah berkenan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H