***
Sore menjelang malam, hujan rintik masih tersisa, tetesannya masih menyisakan satu demi satu jatuh menimpa rerumputan. Selalu tak enak melihat keremangan senja, apalagi hujan sering turun. Lampu-lampu rumah sudah mulai dinyalakan, pemilik rumah sudah mulai menutup pintu. Menutup gordijn jendela. Sang malam sudah menyapa, suara nocturnal mulai berbunyi. Mey sampai di rumah. Dari luar tampak lengang. Bukankah cici-cici dan koko seharusnya sudah tiba? Kemana suara keponakanku yang lucu-lucu itu?
Mey melangkah ke ruangan dalam, sebuah selasar panjang. Terasa jauh kali ini ia melangkah. Lampu-lampu itu. Lampu-lampu itu tidak dinyalakan semua. Mengapa terlihat suram? Mey melewati teras rumah. Terus masuk ke ruangan utama. Bukankah besok sudah Imlek?
Mey terus melangkah. Suara tetesan air hujan menimpa rerumputan di halaman rumahnya.
Mama melangkah mendekatinya, “Mey... Oma sudah tiada...,” oma terbujur di sebuah pembaringan di tengah ruangan, papa, cici-cici, koko tampak disana. Melihat padanya, mereka melambaikan tangan.
“Popo... popo.... Mengapa oma.... Aku sayang oma.......,” Mey menghambur mendekati jasad oma, memeluknya erat-erat, tubuhnya sudah dingin. Tak ada lagi darah menghangati tubuh renta itu. Mey ingin berteriak. Menangis. Rintik hujan seolah ingin menemaninya bersama tetesan air mata. Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum. Sakit.
Tersadar. Ia segera bangkit, tanpa perduli kepada sekeliling, ia menuju ruang persembahan leluhur, dicarinya di setiap sudut ruang, “Oohh... Oma... Aku sayang kamu....” Lampu lampion merah menyala disana, cahayanya menari-nari, indah di temaram malam, Oma masih sempat membuatkan lampion merah itu.....
Tampak disela-sela cahayanya, Oma sedang tersenyum padanya...
Jakarta, 30 Januari 2011
--------------------------------------------
(Diolah dari berbagai sumber artikel di megapolitan.kompas.com (28-31 Januari 2011), female.kompas.com (11-13 Februari 2010 dan 27 Januari 2011), Foto Indonesiamedia.com, Foto milik Devina Veryano)