[caption id="attachment_87951" align="alignright" width="300" caption="Ruang Sembahyang Leluhur"][/caption]
Hujan masih turun. Udara sejuk, menyenangkan merasakan aromanya, tetesan air di sela-sela dedaunan. Ada suara indah berirama mendengarkan jatuhnya tetesan demi tetesan. Tidak begitu bagi Mey. Kepalanya panas, jengkel. Popo selalu saja berteriak memanggilnya, Mey bantu ini, Mey tolong berikan makan kepada burung, Mey cepat mandi, Huuuu.... Popo (nenek)nya, ia lebih suka memanggil Oma, nyinyir, cerewet. Orang tua ini menjengkelkan. Walau sudah begitu tua dan jalan pun tertatih-tatih, ia terlihat tangguh bila sudah menyangkut sesuatu yang ingin dikerjakannya. Entah itu membuat kue, memasak makanan kesukaan papa, ikan bandeng asap dan seterusnya.
Jengkel, mangkel dan segala sumpah serapah ingin ditumpahkan kepada Oma yang renta ini. Ia terlihat lemah, tetapi bila berteriak, atau memarahi dirinya atau mengomel ke bibi Iyah, pembantu mereka yang sudah puluhan tahun setia mengabdi, hummm.... Suara itu loh, menggelegar, sambil berkacak pinggang, matanya melotot. Sebel deh...
Mey sebenarnya menyayangi popo, omanya, demikian juga mama dan papa tampaknya toleran pada sikap Oma, papa adalah anak kesayangannya. Popo selalu menjadi temannya sejak kecil, bila papa dan mama sibuk dengan pekerjaannya, maka oma lah yang setia mendampinginya bermain, menonton film kartun kesukaannya, menyiapkan makanan, memandikannya, mendongeng ketika ia beranjak tidur dan seterusnya, tetapi sejak Mey menginjak remaja semuanya berubah. Waktunya bersama oma semakin berkurang. Sepulang kuliah dihabiskannya dengan tugas-tugas kampus, hang out dengan teman-teman atau mencoba keberuntungan casting di sebuah production house.
Oma menjadi asing baginya, mereka seperti kucing dan anjing saja layaknya, berdebat, bertengkar tentang banyak hal, bahkan hal remeh sekalipun.
"Mey, tolong belikan aku kertas minyak di kota ya, aku ingin membuat lampion!" suaranya kembali menggelegar.
"Ga mau Oma, suruh pak Jikin saja yang beli deh... Aku sebentar lagi ada kesibukan niy..."
"Eeh, kamu...," Mey langsung lari ke kamarnya, cape mendengar suara perempuan tua ini, daripada nanti bertengkar dan seperti biasa mama menjadi penengah keributan diantara mereka berdua.
***
Benar Oma sudah sebulan ini sibuk tampaknya, ia tampak begitu bergairah kembali saat menyambut Imlek. Ia selalu begitu, tahun demi tahun berlalu sambil menikmati saat-saat menjelang Imlek, bahkan 3 bulan sebelum hari perayaan itu tiba, oma sudah sibuk sendiri membersihkan sendiri ruang pemujaan sembahyang leluhur di ruang pavilion, menyapunya merapikan letak guci atau patung-patung, di samping bangunan utama rumahnya. Kadang-kadang ia bersenandung lagu-lagu yang tak diketahuinya pasti sambil menyapu ruang tersebut, hanya logatnya menunjukkan itu lagu asli dari Mainland (Cina daratan), bagi Mey lagu Agnes Monica, Alena dan Vierra lebih enak dan cool didengar telinganya atau mendengarkan Rainism atau Love Story dari Rain, penyanyi pujaan remaja asal Korea itu, humm....
Disana ada tempat menaruh semacam hio dan tercium aroma dupa yang membuat kepalanya pusing, Mey tak perduli. Biarkan oma disana, daripada mendengar ocehannya.
Mey menyukai suasana Imlek atau Sin Chia (Tahun Baru Tionghoa), mengenang saat-saat indah tatkala cici-cicinya masih tinggal di rumah besar ini, satu persatu cicinya pergi, Lily ikut suami ke Belanda, Melani juga demikian ikut sang suami ke Bandung menjalankan usaha keluarga suaminya, koko Sandy yang dipanggil Sansan melanjutkan sekolah ke Amrik, dan tak ada kabar sampai sekarang, barangkali sibuk berkencan dengan perempuan bule, entah kapan ia menyelesaikan sekolah. Tinggallah ia sendiri bersama papa, mama dan omanya...
Lamunan Mey melayang, tiap tahun pada waktu dekat Sin Chia, mama dan nenek selalu sibuk membersihkan rumah, mengecat pintu dan jendela-jendela dan mengapur tembok serta ruang pemujaan kepada leluhur di pavilion sebelah rumahnya. Tantenya, adik-adik mama repot menyuruh pembantu rumah, termasuk bibi Iyah menumbuk ketan sebagai bahan membuat Kue Satu, yang dicetak di cetakan kayu.
[caption id="attachment_87952" align="alignleft" width="300" caption="Kue-kue Imlek"]
Mey ingat semua. Bersama cici-cici, harap-harap cemas menantikan hasil cetakan kue satu, semoga tidak semua berhasil dibuat dengan baik. Cetakan kue satu yang tidak bagus tak akan disuguhkan buat tamu, tapi dibagikan kepada Mey dan cici-cicinya, mereka selalu berebutan mengambil. Tak ketinggalan, selalu menjadi kenangan lucu, saat ia memamerkan baju dan celana baru dari sutera, disebut phangsi, yang hitam outiu dan yang putih pehtiu, bahkan sutera kuncir (thaucang) pun minta diganti yang baru. Iiiiiihhh.... Mey merinding, bergetar dadanya saat mengenang senangnya bersolek dan memantas-mantaskan dandanan bersama Lily dan Melani.
Kembang api serta petasan tak lepas dari kenangan Mey kecil. Mercon, katanya, dibeli koko Sansan untuk memeriahkan malam tahun baru dan hari raya Imlek. Selain melakukan paychia (memberi selamat tahun baru) kepada mereka yang lebih tua, ada hal yang paling dinantikannya, yaitu angpau (amplop berwarna merah berisi uang).
Momen itu semua mendebarkannya, bersama koko dan cici, Mey mulai menghitung-hitung berapa perolehan angpau masing-masing. Kakaknya selalu menggodanya, Mey kamu sudah mikirin mau beli komik apa saja dari angpaunya? Aah, kakak... Selalu mengganggunya saat ia mengumpulkan satu persatu amplop merah di kantong bajunya, segumpalan amplop yang didapat dari keluarga papa atau mama yang berkunjung ke rumah dan tentu angpau dari papa dan mama atau oma (dan opa saat masih hidup) paling ditunggu, karena diyakini paling tebal isinya..... Hihihihi.....
Menggelikan? Tentu. Maklum, saat itu Mey tak tahu pasti soal makna angpau dan beragam hal-hal yang berkaitan dengan Tahun Baru Imlek, seperti atraksi barongsay dan sembahyang leluhur.
Belakangan Mey tahu, papa menceritakannya, "Angpau memiliki makna filosofi transfer kesejahteraan atau energi dari orang mampu ke tidak mampu, dari orangtua ke anak-anak, dari anak-anak yang sudah menikah ke orangtua," ujarnya.
Tradisi Tionghoa yang telah berlangsung sejak lama. Ditambahkannya, dalam tradisi Konghucu, pemberian angpau dilakukan tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek. "Harinya disebut Hari Persaudaraan. Ini mewajibkan orang yang merayakan Tahun Baru Imlek membantu sesama yang tak mampu merayakannya."
“Menjadi modern, bukan berarti kita melupakan leluhur, jati diri kita, sayang...” papa menambahkan.
***
[caption id="attachment_87953" align="alignright" width="300" caption="Barongsay"]
Aaahh... Mey melamun di kamarnya, sendirian. Ia masih membayangkan mama pasti menyediakan kue keranjang, kue lapis, ikan bandeng bumbu dan penganan lain, ornamen rumah dihias meriah dengan lilin merah dan lampu lampion. Senangnya bersama koko Sansan menonton atraksi barongsay di sebuah kelenteng di bilangan Petak Sembilan.
"Mey.... Tolonglah oma, ia mau membuat lampion, kamu beli kertas minyak ya di kota..." suara lembut ibu menyapanya, rupanya ia tak mendengar ketukan di pintu kamarnya saat mama masuk ke kamar.
"Oma mau membuat lampion khusus buat kamu, lihatlah Oma, walau kamu sering bertengkar dengannya, ia sangat menyayangimu..."
"Aah Mama, aku sebentar lagi mau berangkat casting, lagian kan bisa menyuruh pak Jikin supir untuk pergi membelinya, ia sudah tahu kok tempatnya..." Mey sebisa mungkin mencari alasan, sebenarnya ia mau ke mal menonton film Acha Septriasa dan Irwansyah, Love Story di bioskop 21 Cineplex, bersama Chitra dan Karin, temannya.
Mey tahu, setiap tahun mama pasti membeli dan mempersiapkan sendiri lampion di rumah, oma selalu membuat sendiri khusus buat cucunya. Dulu Mey sangat menyukai lampion buatan oma, tetapi sekarang ia mempunyai dunia sendiri. Ia bercita-cita ingin menjadi presenter atau bintang apa lah, ia menyukai seni peran.
***
Pagi itu, hujan rintik-rintik menyambut hari-hari menjelang Imlek tiba, mama memberitahu bila cici-cici dan keponakan serta koko San akan tiba di rumah, bersama-sama merayakan tahun baru.
Mey ingin pergi saja meninggalkan kesibukan rumah. Ia jengkel mendengar suara popo, oma yang nyinyir, mulutnya sebaiknya disumpal saja. Mey ingin hang out saja. Kehidupan modern lebih mempesona. Lampu-lampu di mal lebih menggodanya. Lilin-lin, lampion hanya tradisi baginya, apa maknanya bagi masa depan? Mey mencintai kehidupan terkini.
Mey cemburu pada Chitra yang bisa semaunya pergi dari rumah tanpa diganggu suara-suara seperti oma, berjalan santai berpegangan tangan dengan pacar. Memanjakan diri berleha-leha sekedar melepaskan penat dan stress sehabis kuliah. Pergi ke toko buku Gramedia mencari bacaan baru. Atau pergi mencari pizza sambil bercanda dengan teman-teman. Sementara ia harus bertempur di rumah menulikan telinga.
“Chit, kita nonton aja yuuk, ada film bagus tuuh... Males gue di rumah...”
***
Sore menjelang malam, hujan rintik masih tersisa, tetesannya masih menyisakan satu demi satu jatuh menimpa rerumputan. Selalu tak enak melihat keremangan senja, apalagi hujan sering turun. Lampu-lampu rumah sudah mulai dinyalakan, pemilik rumah sudah mulai menutup pintu. Menutup gordijn jendela. Sang malam sudah menyapa, suara nocturnal mulai berbunyi. Mey sampai di rumah. Dari luar tampak lengang. Bukankah cici-cici dan koko seharusnya sudah tiba? Kemana suara keponakanku yang lucu-lucu itu?
Mey melangkah ke ruangan dalam, sebuah selasar panjang. Terasa jauh kali ini ia melangkah. Lampu-lampu itu. Lampu-lampu itu tidak dinyalakan semua. Mengapa terlihat suram? Mey melewati teras rumah. Terus masuk ke ruangan utama. Bukankah besok sudah Imlek?
Mey terus melangkah. Suara tetesan air hujan menimpa rerumputan di halaman rumahnya.
Mama melangkah mendekatinya, “Mey... Oma sudah tiada...,” oma terbujur di sebuah pembaringan di tengah ruangan, papa, cici-cici, koko tampak disana. Melihat padanya, mereka melambaikan tangan.
“Popo... popo.... Mengapa oma.... Aku sayang oma.......,” Mey menghambur mendekati jasad oma, memeluknya erat-erat, tubuhnya sudah dingin. Tak ada lagi darah menghangati tubuh renta itu. Mey ingin berteriak. Menangis. Rintik hujan seolah ingin menemaninya bersama tetesan air mata. Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum. Sakit.
Tersadar. Ia segera bangkit, tanpa perduli kepada sekeliling, ia menuju ruang persembahan leluhur, dicarinya di setiap sudut ruang, “Oohh... Oma... Aku sayang kamu....” Lampu lampion merah menyala disana, cahayanya menari-nari, indah di temaram malam, Oma masih sempat membuatkan lampion merah itu.....
Tampak disela-sela cahayanya, Oma sedang tersenyum padanya...
Jakarta, 30 Januari 2011
--------------------------------------------
(Diolah dari berbagai sumber artikel di megapolitan.kompas.com (28-31 Januari 2011), female.kompas.com (11-13 Februari 2010 dan 27 Januari 2011), Foto Indonesiamedia.com, Foto milik Devina Veryano)
(Terinspirasi dari film "The Last Samurai")
"Selamat Tahun Baru Imlek 2562, Gong Xi Fat Coy..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H