Partai Aceh (PA) sudah menyelesaikan Musyawarah Besar (Mubes) dengan keputusan yang biasa-biasa saja. Muzakir Manaf kembali terpilih, begitu pula sekjen partai masih diisi orang lama (Abu Razak). Lalu apa yang besar dari mubes ke-tiga partai penguasa di Aceh tersebut?
Sebelumnya rakyat Aceh terutama para pendukung partai itu sangat berharap akan ada regenerasi. Akan ada sebuah perubahan yang signifikan dan besar. Faktanya, mubes hanya legalitas kepemimpinan Mualem dan Abu Razak. Hanya formalitas belaka. Tidak salah. Namun PA harusnya berbenah diri.
Seorang pendukung fanatik PA mengatakan, "Partai Aceh pasti menang". Teriak optimis itu bukan tanpa bukti selama ini. Benar, selama ini PA selalu unggul sejak mereka ikut serta dalam pemilu di Indonesia. Meski 'adik kandung' partai itu (PNA) mengusung tema yang sama, meski mereka didukung kombatan GAM namun PA tetap mendominasi parlemen Aceh.
Suara pesimis yang kerap sumbang, hingga detik ini belum mampu menggerus perolehan suara PA. Benar bahwa suara PA terus menurun dari setiap pemilu. Dari 33 kursi (2009) menjadi 29 kursi (2014) dan pemilu terakhir (2019) hanya 18 kursi.
Realitas itu memberi gambaran penting. Teriakan sudah pasti menang ada benarnya walaupun kemenangan yang diraih tidak telak. Bahkan tidak mustahil PA akan digeser parnas yang kian ramai di pemilu 2024. Apalagi banyak pemilih yang kecewa dengan gaya kepemimpinan PA.Â
PA harus berbenah atau bersiap menjadi parti gurem. Â Bahkan PA bisa saja dikalahkan partai lokal lainnya. Mengingat suasana kebatinan pemilih. "Cukup sudah selama ini PA berkuasa", demikian suara minor yang kerap saya dengar.Â
Menyelamatkan PA
Situasi dan kondisi yang demikian mengharuskan PA berbenah. PA harus ramah pada generasi Z, mengingat mereka adalah pemilih mayoritas. PA harus memahami kebutuhan gen z, terkhusus, dan pemilih secara umum.
Jargon-jargon lama tidak bisa digunakan lagi. Aceh bukan lagi daerah yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan. Dan selama ini MoU juga tidak dijaga dengan benar. Banyak pasal merugikan yang tidak diperjuangkan PA.Â
PA harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat aceh, bukan sebatas retorika semata. Harus diwujudkan dengan kerja nyata. Masih ada waktu untuk melakukan kerja nyata itu. Setahun ke depan adalah momentum bagi PA berbuat.
Lawan terberat PA bukan parnas maupun parlok. Namun mereka sendiri. Sikap hedonis yang sudah memapari elit PA harus segera dibasmi, diamputasi, diobati. Jangan sampai menjadi 'kanker' bagi PA. Dan pada akhirnya PA akan lenyap dari peredaran bahkan bubar.
Nah, terkair dengan gen-z ada baiknya PA segera menjadi partai digital. Sebuah aplikasi yang memungkinkan komunikasi antara PA dan gen-z. Di aplikasi itu PA dapat memaparkan program kerja dan rencana kerja. Di aplikasi itu pula gen-z dapat mengkritisi, membaca, melihat kinerja anggota parlemen utusan PA.
Aplikasi digital menjadi penting mengingat user internet tiap tahun bertambah. Dan gen-z adalah generasi paling aktif dalam urusan internet. Langkah revolusioner ini ada baiknya dilakukan PA. Mengingat perubahan adalah kepastian.Â
Tanpa ingin beradaptasi dengan perubahan. PA hanya akan menjadi catatan sejarah. PA harus paham bahwa kelahiran PA untuk meningkatkan marwah rakyat aceh bukan sebaliknya. Jadi, PA bukan milik elit partai maupun deklarator partai. Partai Aceh adalah milik Aceh dan bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H