Pernyataan Mahfud MD soal wacana referendum terkesan menghina daerah-daerah yang ingin referendum. Ucapan Mahfud yang menganggap referendum isu liar di media sosial merupakan bentuk ejekan, bahkan memanasi suasana.
Setelah "Islam garis keras", kini Mahfud berucap tanpa data dan ngawur. Wajar sih bila melihat usia dan posisinya di pemerintahan.
Mohon maaf, Tuan Mahfud MD, ucapan Anda tidak Pancasilais, karena Pancasilais tidak asal ngomong. Tidak pula menghina aspirasi yang berkembang. Harusnya Anda bijak dan berani mengakui pemerintah telah gagal mengintegrasikan daerah-daerah ke dalam NKRI. Mahfud MD telah gagal menjalankan tupoksinya sebagai anggota BPIP.
Jika tidak punya data, sebaiknya diam. Anda sudah cukup menghina soal "Islam garis keras". Jangan menambah kegaduhan dengan tuduhan aspirasi sebagai isu liar di media sosial.
Silakan Anda datang ke Aceh, Sumatra Barat, serta wilayah-wilayah yang menyuarakan referendum. Jangan kebanyakan ngetwit tapi lupa datang ke daerah. Tunjukkan kualitas Anda sebagai negarawan.
Mahfud harusnya memberi saran kepada pemerintah agar meredam wacana itu. Bukan malah menyerang wacana yang dibolehkan dalam negara demokrasi.
Referendum Quebec (1995) terjadi tanpa ada setetes darah pun tumpah. Kita pun tahu hasilnya, Quebec tetap ingin bersama Canada. Sehingga tak perlu berlebihan apalagi menuduh sembarangan.
Referendum bukan berarti berpisah dari negara induk. Referendum hanya mekanisme dengan opsi-opsi bagi rakyat. Tidak perlu menganggap isu itu sebagai isu liar jika tidak mempunyai data valid.
Mahfud MD, diamlah. Karena diam itu baik untuk reputasi Anda. Ada baiknya tim BPIP meramu konsep yang jitu agar referendum bisa diredam, bukan malah sebaliknya.
Polarisasi pasca Pilpres 2019 makin runyam dengan munculnya ucapan-ucapan kontraproduktif ala Mahfud. Tak bisa memberi solusi malah menambah panas suasana. Peluang referendum makin kuat asal tidak ada upaya menjadikan isu referendum dengan tuduhan radikalisme, terorisme, apalagi makar. Logika berpikir hukum kita telah dijajah politik.