Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Di Balik Gugatan RCTI dan iNews

2 September 2020   14:50 Diperbarui: 2 September 2020   14:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama kurang lebih 50 tahun (1960-2010), industri televisi nasional maupun swasta hadir untuk membuka cakrawala informasi yang cukup lebar, memenuhi kebutuhan informasi khalayak luas sekaligus menghibur. Namun, seiring berkembangnya zaman, industri televisi lamat-lamat redup dengan hadirnya situs web youtube. Cara penggunaan youtube yang mudah dan sederhana, mobile serta dilengkapi dengan berbagai macam kebutuhan informasi, perlahan-lahan membuat sebagian besar orang beralih mengkonsumsi youtube ketimbang menonton televisi. 

Di samping itu, mereka penikmat televisi, tentu sudah hafal dengan acara yang hendak disajikan. Sedangkan pengguna youtube, lebih "bebas" mengeksplore konten sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun, cukup banyak konten yang tidak mendidik sehingga tidak mencerminkan moral budaya Bangsa Indonesia. 

Potret inilah yang kemudian membuat dua perusahaan saluran televisi seinduk, RCTI dan INEWS menggungat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) karena menilai ada perbedaan perlakuan atau regulasi antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio (misal saluran televisi) dengan penyelenggara penyiaran Over The Top (OTT) yang menggunakan internet seperti YouTube dan Netflix. Di samping itu, uji materi diajukan untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa. Dengan kata lain, kedua perusahaan menginginkan tayangan yang dikonsumsi sesuai dengan moral budaya Indonesia.

Tidak Seratus Persen Salah

Gugatan yang dilayangkan RCTI dan INEWS tidak bisa dikatakan salah 100 persen. Sebab, sebagai media massa yang sudah puluhan tahun menyajikan berbagai macam program acara, tentu menginginkan agar aturan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang sudah dibuat pemerintah juga diberlakukan kepada setiap kreator konten youtube. Sehingga, goalnya merujuk pada keadilan dan tidak timpang sebelah. Seandainya kebijakan ini direstui, setidaknya ada penyaringan acara bagi kreator konten youtube sebelum dikonsumsi khlayak sekaligus ruang bagi industri pertelevisian untuk bersaing dengan  para kreator konten. 

Tak Sekedar Mengejar Popularitas dan Meraup Keuntungan

Saya mengatakan RCTI dan INEWS tidak bisa disalahkan 100 persen karena mengacu pada gugatannya terkait UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran (UU Penyiaran) yang dibuat pemerintah serta keterkaitan tayangan yang dikonsumsi harus mencerminkan moral budaya Indonesia layak diperhitungkan. 

Mengingat, ada cukup banyak konten receh dan tidak mendidik yang disajikan. Justru memamerkan kekayaan pribadi, menunjukkan tindakan-tindakan yang sejatinya, tidak mencerminkan budaya Bangsa Indonesia melainkan budaya-budaya barat. Hal-hal semacam ini yang harus diberantas habis sehingga ke depan konten yang disajikan benar-benar mendidik serta ada pesan moral yang diselipkan yang kemudian mampu  dijadikan pembelajaran hidup bagi setiap orang. 

Beberapa konten bermutu dan berobot yang selama ini apik untuk ditayangkan diantaranya, film dokumenter ada Watchdoc, ranah sepak bola ada Justinus Lhaksana dan Bung Towel. Sementara di makanan dan minuman ada Chef Juna dan beberapa chef lainnya, lalu destinasi wisata ada Nadine Candrawinata, musik dan hiburan lainnya bisa diisi dengan kreator konten yang memang mumpuni di bidangnya, bukan orang yang hanya bermodal wajah cantik atau ganteng, tapi tidak menguasai materi. Mereka bukannya memberikan pengetahuan, justru mengajak orang untuk bergaya hidup hedonisme sekaligus menjadikan perilaku masyarakat bersifat konsumerisme. 

Sedangkan acara televisi yang mendidik dan menarik ada Kick Andy, Menolak Lupa, Tukang Ojek Pengkolan, Mata Najwa, beberapa film layar lebar, Tonight Show, serial kartun anak-anak seperti Upin Ipin serta film animasi berjudul pada zaman dahulu. Program-program semacam ini layak dipertahankan. Selain sifatnya menghibur, ada nilai moral, sejarah dan kehidupan yang hendak disampikan kepada penonton. 

Terhalang Ruang dan Waktu

Hadirnya youtube dengan segala kemudahan dan keuntungan yang bisa didapat, membuat sebagaian orang utamanya publik figur berbondong-bondong banting setir menjadi vloger. Ketika mereka (selaku kreator konten) memiliki kreatifitas, kemandirian serta kemampuan menciptakan konten yang bermutu dan berbobot, dapat dipastikan mampu menarik perhatian banyak orang untuk mengkonsumsi setiap konten yang ditampilkan di youtube ketimbang menonton televisi. 

Hal ini bisa terjadi karena faktor kecanggihan dan kemudahan teknologi. Penonton di rumah sudah menyadari setiap acara yang disajikan publik figur tidak bisa ia dapatkan di televisi. Sementara seorang publik figur maupun kelompok, sudah memahami bagaimana ruang gerak mereka di industri pertelevisian. Keleluasaan dan kebebasan mereka untuk lebih berekspresi terhalang oleh waktu. Belum lagi aturan-aturan yang harus ditaati selama membawakan atau mengikuti suatu program acara. Dengan kata lain, kurang ada kebebasan berekspresi. 

Lebih lanjut, hadirnya youtube secara tidak langsung mampu dijadikan sebagai media promosi bagi setiap orang agar terkenal atau mendadak viral. Hal ini yang menambah pusing industri pertelevisian. 

Berjalan di Rel Kebenaran
Selain sifatnya yang menghibur, sejatinya, televisi merupakan sarana komunikasi pendidikan. Sejauh ini, saya pribadi mengakui 4-5 tahun belakangan, terbilang jarang menonton televisi. Selain aktivitas yang cukup padat, sebagian besar acara yang ditampilkan industri televisi tidak sama seperti dulu. Beberapa program acaranya, tidak mengandung unsur pendidikan, yang ada hanya hiburan semata. Membahas kehidupan artis, mengulas makanan dan minuman tapi pembawa acaranya merupakan orang yang taunya hanya makan saja. Tidak menyelipkan pengetahuan seputar makanan yang dicicipi. Menampilkan program acara yang semuanya hanya sandiwara. Sinetron yang dari judul membuat khalayak ogah melihatnya. Belum lagi berita-berita politik yang sudah diintervensi pemilik media. Sehingga tidak ada keberimbangan berita. Hal-hal semacam ini yang membuat penonton lelah.

Industri televisi harus berjalan di rel kebenaran. Jika tidak segera berbenah utamanya sajian program acaranya, jangan heran 5 tahun mendatang, khalayak beralih ke youtube. Bahkan diprediksi satu per satu stasiun televisi hanya menjadi selingan belaka dan tontonan sesaat. 

Melihat dari Dua Sisi

Secara garis besar, pemaparan singkat atas gugatan yang disampaikan RCTI dan INEWS terkait UU Penyiaran bagi setiap kreator konten harus disikapi secara bijak. Artinya, industri televisi dan kreator konten sama-sama harus melakukan pembenahan utamanya dari segi materi atau konten yang akan disajikan kepada masyarakat.

Televisi mengurangi atau bahkan menghapus program acara yang tidak mendidik dan mengganti dengan acara yang lebih luwes, bermoral dan bermutu. Hal serupa juga dilakukan para kreator konten agar mau belajar dan sedikit memeras otak agar mampu menghasilkan konten-konten yang menarik, bermoral dan berpendidikan. Sudah saatnya menyatukan bakat dan minat yang dimiliki untuk kemudian diolah menjadi sebuah acara atau konten yang apik (tidak sekadar menghibur) melainkan juga mencerminkan budaya moral Bangsa Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun