Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Di Balik Gugatan RCTI dan iNews

2 September 2020   14:50 Diperbarui: 2 September 2020   14:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadirnya youtube dengan segala kemudahan dan keuntungan yang bisa didapat, membuat sebagaian orang utamanya publik figur berbondong-bondong banting setir menjadi vloger. Ketika mereka (selaku kreator konten) memiliki kreatifitas, kemandirian serta kemampuan menciptakan konten yang bermutu dan berbobot, dapat dipastikan mampu menarik perhatian banyak orang untuk mengkonsumsi setiap konten yang ditampilkan di youtube ketimbang menonton televisi. 

Hal ini bisa terjadi karena faktor kecanggihan dan kemudahan teknologi. Penonton di rumah sudah menyadari setiap acara yang disajikan publik figur tidak bisa ia dapatkan di televisi. Sementara seorang publik figur maupun kelompok, sudah memahami bagaimana ruang gerak mereka di industri pertelevisian. Keleluasaan dan kebebasan mereka untuk lebih berekspresi terhalang oleh waktu. Belum lagi aturan-aturan yang harus ditaati selama membawakan atau mengikuti suatu program acara. Dengan kata lain, kurang ada kebebasan berekspresi. 

Lebih lanjut, hadirnya youtube secara tidak langsung mampu dijadikan sebagai media promosi bagi setiap orang agar terkenal atau mendadak viral. Hal ini yang menambah pusing industri pertelevisian. 

Berjalan di Rel Kebenaran
Selain sifatnya yang menghibur, sejatinya, televisi merupakan sarana komunikasi pendidikan. Sejauh ini, saya pribadi mengakui 4-5 tahun belakangan, terbilang jarang menonton televisi. Selain aktivitas yang cukup padat, sebagian besar acara yang ditampilkan industri televisi tidak sama seperti dulu. Beberapa program acaranya, tidak mengandung unsur pendidikan, yang ada hanya hiburan semata. Membahas kehidupan artis, mengulas makanan dan minuman tapi pembawa acaranya merupakan orang yang taunya hanya makan saja. Tidak menyelipkan pengetahuan seputar makanan yang dicicipi. Menampilkan program acara yang semuanya hanya sandiwara. Sinetron yang dari judul membuat khalayak ogah melihatnya. Belum lagi berita-berita politik yang sudah diintervensi pemilik media. Sehingga tidak ada keberimbangan berita. Hal-hal semacam ini yang membuat penonton lelah.

Industri televisi harus berjalan di rel kebenaran. Jika tidak segera berbenah utamanya sajian program acaranya, jangan heran 5 tahun mendatang, khalayak beralih ke youtube. Bahkan diprediksi satu per satu stasiun televisi hanya menjadi selingan belaka dan tontonan sesaat. 

Melihat dari Dua Sisi

Secara garis besar, pemaparan singkat atas gugatan yang disampaikan RCTI dan INEWS terkait UU Penyiaran bagi setiap kreator konten harus disikapi secara bijak. Artinya, industri televisi dan kreator konten sama-sama harus melakukan pembenahan utamanya dari segi materi atau konten yang akan disajikan kepada masyarakat.

Televisi mengurangi atau bahkan menghapus program acara yang tidak mendidik dan mengganti dengan acara yang lebih luwes, bermoral dan bermutu. Hal serupa juga dilakukan para kreator konten agar mau belajar dan sedikit memeras otak agar mampu menghasilkan konten-konten yang menarik, bermoral dan berpendidikan. Sudah saatnya menyatukan bakat dan minat yang dimiliki untuk kemudian diolah menjadi sebuah acara atau konten yang apik (tidak sekadar menghibur) melainkan juga mencerminkan budaya moral Bangsa Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun