Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bung Giring, Menjadi Pemimpin Tak Semudah Menciptakan Sebuah Lagu

1 September 2020   19:55 Diperbarui: 1 September 2020   20:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha maju sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Tampaknya, ia begitu percaya diri. Bagi saya, keputusan Giring tidak dilandasi kesadaran dan panggilan dari diri sendiri, melainkan karena sebagian besar anggota partai harus patuh dengan perintah partai.

Sejenak melihat rekam jejak Giring sebelum terjun ke gelanggang perpolitikan. Tahun 2002, Giring mengawali karir sebagai vokalis, grup band Nidji. Selama kurang lebih 15 tahun berkarya di belantika musik Indonesia, Giring banting setir menjadi politisi.

Tahun 2017, Giring mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif DPR RI dari partai PSI. Hanya saja, keinginannya menjadi wakil rakyat tidak terwujud. Sebab, PSI tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen di tingkat DPR RI. Selebihnya, Giring tetap aktif berkecimpung membantu aktivitas PSI.

Baru seusia jagung merasakan atmosfir perpolitikan, Giring dipercaya Ketua Umum PSI Grace Natalie menjadi Plt Ketum PSI. Alasannya, leader PSI itu melanjutkan studi magister di Singapura. 

Alasan lain, Giring dipercaya mengemban posisi tersebut karena dinilai mencerminkan semangat PSI. Tugas itu ia terima dan laksanakan. Terbaru, pemilik media online Kincir itu kembali ramai diperbincangkan publik. Entah keinginan sendiri atau tugas dari partai, Giring maju sebagai calon presiden 2024.

Jujur saja, ketika mendengar kabar tersebut, saya menilai Giring belum memiliki kapasitas untuk bertarung di level RI 1. Alasannya, Giring masih perlu banyak belajar terkait perpolitikan di Indonesia. Meski dikatakan, Giring memiliki pengalaman memimpin perusahaan, memimpin industri, memimpin band dan masih banyak pengalaman memimpin hal lainnya, saya rasa itu belum cukup, sama sekali.

Jika parameter Bung Giring maju sebagai calon presiden 4 tahun mendatang, mengacu akan pengalaman-pengalaman sebelumnya, itu sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan. Perlu diingat, memimpin sebuah bangsa yang beranekaragam suku dan bahasa serta beranekaragam kepentingan dan konflik yang hingga saat ini belum jua terungkap, sangat jauh amat berbeda dengan memimpin sebuah band, perusahaan dan industri digital lainnya.

Faktor kedua, menjadi pemimpin dibutuhkan suara hati atau panggilan dari hati. Bukan kepentingan partai serta ketamakan individu/sekumpulan kelompok akan duniawi. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dikutip dari CNN Indonesia (11/01/2020) pernah mengatakan, "Saya enggak mau kemudian saya punya nafsu, mohon maaf di dalamnya ada nafsu kekuasaan. Itu yang saya enggak mau karena itu berat," ujarnya.

Dari kutipan Bu Risma, setidaknya, Bung Giring mau sowan atau mungkin belajar dengan beberapa wali kota atau bupati yang sukses membangun daerahnya (Surabaya, Solo, Bandung, Banyuwangi), sebelum memutuskan maju sebagai calon presiden 2024.

Ketiga, ucapan Giring seperti yang disampaikan di beberapa media, ingin Indonesia tak menjadi konsumen melainkan produsen, mengandalkan ekonomi dengan tidak mengandalkan sumber daya alam, melainkan ekonomi kreatif dan produktif yang memberi nilai tambah. Ini omongan klasik. Ekonomi selalu dijadikan alat oleh para elite politik untuk meraup simpati. 

Seakan-akan, mudah mewujudkan dan menciptakan roda perekonomian yang BERDIKARI. Ingat, ada banyak kepentingan di luar sana bung Giring, saya rasa anda sudah paham itu dan itu sangat sulit untuk ditaklukkan.

Dengan demikian, keinginan Giring maju sebagai calon presiden 2024 sama sekali tidak mewakili peran anak muda di dunia perpolitikan. Sebab, rekam jejak Giring untuk maju sebagai capres 2024 merupakan tindakan praktis atau bahasa bekennya, politik praktis.

Meskipun ada orang mengatakan, masih ada 4 tahun belajar menjadi pemimpin, bagi saya itu tetap tidak bisa. Memimpin sebuah bangsa bukan seperti memimpin organisasi kampus. Ini menyangkut hajat hidup banyak orang, kepentingan banyak orang, harga diri sebuah bangsa, termasuk masalah-masalah HAM masa lalu yang hingga saat ini belum juga terungkap. Ingat, Sabang sampai Merauke, berjajah pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun