Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Antara Hujan, Semangkuk Indomie, dan Secangkir Teh

16 Juni 2019   19:12 Diperbarui: 16 Juni 2019   19:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/lucysmykowska

"Kedua tangannya dilipat sambil menyandarkan tubuh di pinggiran daun pintu kayu. sambil menatap derasnya air hujan membasahi bumi, dalam hati ia berkata, "Tuhan, masih adakah semangkuk indomie dan secangkir teh yang akan menemani diriku saat ini dan di hari-hari selanjutnya?" 

Setiap kali melihat langit berwarna hitam pekat diiringi petir yang menyambar-nyambar, raut wajah dua sejoli yang sedang kasmaran selalu berseri-seri. Seakan tak sabar menunggu sekaligus menikmati derasnya guyuran air hujan membasahi bumi dan sekujur tubuh mereka. Aktivitas ini kerapkali dilakukan karena mereka percaya dengan bermain hujan dapat menghilangkan penat akan rona kehidupan yang semakin tidak waras ini.

Ketika hujan mulai membasahi bumi, kedua bola mata mereka saling menatap tajam lalu berteriak sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan menuju ke luar rumah. Tingkah mereka mirip anak kecil. Sambil mengangkat kedua tangan lalu mengenadahkan kepala ke langit, mereka berteriak sangat girang. Berlari kecil sambil tertawa lepas. Seakan dunia milik berdua. Padahal ya tidak juga.

Cukup puas bermain hujan, masing-masing dari mereka membersihkan diri kemudian duduk di teras depan rumah sambil melihat rintikan hujan yang perlahan-lahan semakin reda. Suasana di sore itu semakin terasa sejuk saat keduanya masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu saling berhadapan dibatasi meja kayu berbentuk persegi panjang.

Di meja kayu itu, sudah tersedia semangkuk indomie goreng dan secangkir teh hangat. Tak usah heran, ini sudah menjadi kewajiban yang harus dilakukan setelah bermain hujan bersama-sama.

"Sekarang waktunya kita makan" ujar laki-laki sambil mengusap-usap kedua buah tanganya. Tak sabar untuk segera menyantap dua bungkus mie instan yang sudah matang dan secangkir teh hangat.

Tidak ada perbincangan. Keduanya begitu lahap menyantap mie goreng yang sudah puluhan tahun sukses memanjakan sebagian lidah masyarakat indonesia. Hanya terdengar suara rintikan air hujan menetes pelan di tanah. Sedikit demi sedikit, mie instan dikunyah lalu habis ditelan. Sama seperti air hujan yang berhenti. Saking nikmatnya, kedua sejoli sampai menjilat sisa-sisa bumbu yang masih menempel di sendok dan pinggiran mangkuk.

"Ini yang paling enak. dan nikmat. Bawang goreng dan bumbunya menyatu" ungkap lelaki sambil tersenyum malu.

Walau hanya semangkuk mie instan, keduanya selalu kenyang utamanya bagi si perempuan. Maklum, sikap perempuan acapakali membuang-buang makanan sesuka hatinya. Namun, sejak mengenal lelaki ini, ia perlahan-lahan belajar bersyukur dari hal-hal yang sederhana.

"Terima kasih sudah dihabiskan makannya" kata lelaki kepada perempuan sambil tersenyum.

Mendengar ungkapan lelaki, perempuan membalas dengan senyuman tanpa ada kata yang diucapkan. Lelaki manis itu membalas dengan tatapan datar dan senyum kecil sambil melihat aura cantik yang keluar dalam diri si perempuan.

Tak kuasa melihat paras cantik perempuan itu,  lelaki mengambil kedua gelas bercorak tempo dulu berisi teh yang masih hangat. Terlihat kepulan asap membumbung tinggi keluar dari dalam gelas. Gagang gelas berisi teh dipegang oleh lelaki lalu ditiup perlahan-lahan. Aktivitas itu dilakukan berulang-ulang hingga teh dirasa cukup dingin, lalu diminumnya sedikit demi sedikit.

"Gimana tehnya, enak kan?" kata perempuan kepada lelaki.

Mendengar pertanyaan itu, lelaki mengeryitkan jidatnya lalu menjulurkan lidahnya keluar.

"Loh kenapa sama tehnya?" tanya perempuan sedikit takut

Lelaki itu hanya terdiam sambil mengibas-ngibaskan lidahnya. Lalu perempuan memandang wajah lelaki itu dengan seksama.

"Kenapa tehnya, pahit?" kali ini ia bertanya sedikit memaksa.

"Air putih dong, air putih" pinta lelaki tergesa-gesa.

Segera perempuan mengambil air putih lalu diberikan kepada lelaki. Ditegaknya dalam-dalam. Selang beberapa menit, lelaki itu memandang wajah perempuan dengan tatapan yang cukup serius. "Teh ku nggak enak ya? Atau kurang manis? atau apa?" ucap perempuan sedikit sendu.

Sambil menahan tawa lelaki tersebut mengatakan, "Teh buatanmu ini, enak sekali. Mirip dengan teh buatan ibuku".

Mendengar penjelasan singkat itu, si perempuan datang menghampiri lalu memukul pundak lelaki itu berulang-ulang sambil sedikit meneteskan air mata. Maklum, ia anak yang mudah menangis. Tapi bukan anak yang manja. Lelaki pun tertawa lepas sambil memegang kedua tangan perempuan. 

Usai menegak teh dan menyantap mie instan yang kata dokter kalau dikonsumsi terus menerus dapat membahayakan kesehatan, keduanya mulai berbincang hangat sambil menyedot sebatang rokok kretek. Keduanya asyik berbincang dengan berbagai macam topik tentang kehidupan yang selama ini mereka alami dan rasakan.

Biasanya lelaki suka menceritakan soal kemisikinan dan ketidakadilan yang selama ini ia lihat, alami dan rasakan. Ia punya alasan kuat mengapa harus menyampaikan hal semacam ini kepada perempuan itu. Jika pencipta tidak mengizinkan aku mendampingi hidupnya sampai maut memisahkan, setidaknya aku sudah menyelipkan sedikit ajaran hidup sederhana untuknya agar kelak ia bisa menghormati dan menghargai sesama utamanya mereka yang termajinalkan. Disitulah letak pengorbanan dan cinta kasih untuk sesama tanpa harus dipamerkan atau bahkan menunut pamrih.

"Jangan pernah melupakan dan meninggalkan mereka yang membutuhkan dan satu lagi, jangan pernah menasehati orang miskin karena sejatinya mereka sudah mengetahui bagaimana rasanya hidup susah, terasing, ditekan dan terhimpit. Memang masih banyak sebagian orang memandang mereka sebelah mata dan lemah, tetapi di gubuk-gubuk si miskin itu lah, Tuhan hadir" tutur lelaki kepada perempuan dengan tenang dan lembut.

Sejenak perempuan terdiam dan terus memandang wajah lelaki berbentuk bulat. Sambil mendengar senandung lelaki, sikap manja mulai ditunjukkan perempuan pada lekaki tersebut. Mata mereka saling bertatapan lalu perempuan menginjak sepasang kaki mungilnya di atas kaki laki-laki tersebut. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan secara halus dan pelan lalu tertidur pulas di atas sofa dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Kini, hujan sudah cukup lama reda dan lelaki itu masih tetap menunggu satu janji imajinasi yang pernah diucapkan perempuan padanya. Dalam benak, ia berharap agar hujan segera turun untuk menghadirkan percikan apa yang hendak dihempaskan baginya. Dengan senang hati, lelaki itu akan mendengar dan meresapi semuanya, kemudian tersenyum sambil berkata

"Terima kasih, kau sudah membasahi tubuhku dengan utuh".

Sempat ada secercah harapan ketika perempuan mengirimkan setetes hujan kepada lelaki itu. Namun, tidak sampai membajiri hati lelaki itu. Hujan yang dikirim hanya berbunyi, "Bagamana kabarmu? Aku kangen ngobrol sama kamu".

Sejak itu, perempuan menghilang dan tidak ada hujan lagi. Hasrat lelaki untuk bertemu dengan si perempuan yang telah menghidupkan sekaligus menggairahkan arti cinta, kembali mengalami kekeringan. Hingga di garis waktu yang entah kapan dijawab semesta, lelaki pun ingat sekaligus mengamini kalimat dalam sebuah buku yang pernah ia baca sebelum mengenal perempuan ini.

"Hujan yang kau kirim padaku adalah hujan ketidakpastian. Mulai sekarang, pergilah dan jangan pernah hadir dalam hidupku lagi".

Memang terkesan egois, sok tahu dan tidak konsisten. Tapi, itulah kenyataannya. Perempuan itu tidak akan pernah kembali saat hujan tiba lalu duduk bersama menikmati semangkuk mie instan dan secangkir teh hangat di atas meja kayu.

Menurut kabar angin, perempuan itu lebih memilih hidup bersama si burung besi yang kokoh dari segala aspek kehidupan. Sejak itu pula, lelaki mengakhiri semuanya dan berjanji tidak bermain air jika hujan turun membasahi bumi. Justru, ia menggunakan mantel dan payung agar derasnya air tidak membasahi sekujur tubuhnya seperti dulu kala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun