Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Antara Hujan, Semangkuk Indomie, dan Secangkir Teh

16 Juni 2019   19:12 Diperbarui: 16 Juni 2019   19:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/lucysmykowska

Biasanya lelaki suka menceritakan soal kemisikinan dan ketidakadilan yang selama ini ia lihat, alami dan rasakan. Ia punya alasan kuat mengapa harus menyampaikan hal semacam ini kepada perempuan itu. Jika pencipta tidak mengizinkan aku mendampingi hidupnya sampai maut memisahkan, setidaknya aku sudah menyelipkan sedikit ajaran hidup sederhana untuknya agar kelak ia bisa menghormati dan menghargai sesama utamanya mereka yang termajinalkan. Disitulah letak pengorbanan dan cinta kasih untuk sesama tanpa harus dipamerkan atau bahkan menunut pamrih.

"Jangan pernah melupakan dan meninggalkan mereka yang membutuhkan dan satu lagi, jangan pernah menasehati orang miskin karena sejatinya mereka sudah mengetahui bagaimana rasanya hidup susah, terasing, ditekan dan terhimpit. Memang masih banyak sebagian orang memandang mereka sebelah mata dan lemah, tetapi di gubuk-gubuk si miskin itu lah, Tuhan hadir" tutur lelaki kepada perempuan dengan tenang dan lembut.

Sejenak perempuan terdiam dan terus memandang wajah lelaki berbentuk bulat. Sambil mendengar senandung lelaki, sikap manja mulai ditunjukkan perempuan pada lekaki tersebut. Mata mereka saling bertatapan lalu perempuan menginjak sepasang kaki mungilnya di atas kaki laki-laki tersebut. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan secara halus dan pelan lalu tertidur pulas di atas sofa dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Kini, hujan sudah cukup lama reda dan lelaki itu masih tetap menunggu satu janji imajinasi yang pernah diucapkan perempuan padanya. Dalam benak, ia berharap agar hujan segera turun untuk menghadirkan percikan apa yang hendak dihempaskan baginya. Dengan senang hati, lelaki itu akan mendengar dan meresapi semuanya, kemudian tersenyum sambil berkata

"Terima kasih, kau sudah membasahi tubuhku dengan utuh".

Sempat ada secercah harapan ketika perempuan mengirimkan setetes hujan kepada lelaki itu. Namun, tidak sampai membajiri hati lelaki itu. Hujan yang dikirim hanya berbunyi, "Bagamana kabarmu? Aku kangen ngobrol sama kamu".

Sejak itu, perempuan menghilang dan tidak ada hujan lagi. Hasrat lelaki untuk bertemu dengan si perempuan yang telah menghidupkan sekaligus menggairahkan arti cinta, kembali mengalami kekeringan. Hingga di garis waktu yang entah kapan dijawab semesta, lelaki pun ingat sekaligus mengamini kalimat dalam sebuah buku yang pernah ia baca sebelum mengenal perempuan ini.

"Hujan yang kau kirim padaku adalah hujan ketidakpastian. Mulai sekarang, pergilah dan jangan pernah hadir dalam hidupku lagi".

Memang terkesan egois, sok tahu dan tidak konsisten. Tapi, itulah kenyataannya. Perempuan itu tidak akan pernah kembali saat hujan tiba lalu duduk bersama menikmati semangkuk mie instan dan secangkir teh hangat di atas meja kayu.

Menurut kabar angin, perempuan itu lebih memilih hidup bersama si burung besi yang kokoh dari segala aspek kehidupan. Sejak itu pula, lelaki mengakhiri semuanya dan berjanji tidak bermain air jika hujan turun membasahi bumi. Justru, ia menggunakan mantel dan payung agar derasnya air tidak membasahi sekujur tubuhnya seperti dulu kala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun