Belajar merupakan suatu proses menanggapi dan mengolah suatu informasi baru dengan tujuan mendapatkan pengetahuan dan perubahan perilaku. Meski secara umum belajar didefinisikan demikian, ternyata untuk memahami aktivitas belajar tidak mudah. Hal ini bisa terjadi karena belajar merupakan aktivitas kompleks yang multiaspek dan dipengaruhi multifaktor.
KonsepSalah satu aspek yang banyak kali disoroti adalah gaya belajar (learning style). Banyak tulisan yang membahas hal gaya belajar. Secara umum dikatakan bahwa gaya belajar ikut berkontribusi terhadap hasil belajar. Lantas apa yang dimaksud dengan gaya belajar? Jika ditelusuri pada berbagai referensi, dapat dilihat bahwa gaya belajar merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan cara, kecenderungan atau preferensi seseorang dalam menerima, memproses, dan mengelola informasi saat belajar. Teori gaya belajar menyatakan bahwa setiap orang memiliki pendekatan unik dan khas dalam belajar. Pada akhirnya, dengan memahami kecenderungan ini dapat membantu dalam merancang pembelajaran yang lebih efektif dan menyenangkan.
Sejak dimunculkan, konsep gaya belajar menjadi populer cukup lama di kalangan teorisi maupun praktisi pendidikan. Bahkan konsep ini masih sangat populer sampai saat ini. Penelitian Howard-Jones pada tahun 2014 menunjukkan bahwa lebih dari 90% praktisi pendidikan percaya pada teori gaya belajar, dengan keyakininan umum yang sama bahwa orang belajar dengan baik dengan mengandalkan suatu kecenderungan yang ada pada diri mereka, entah visual, auditori, atau kinestetik. Lebih lanjut, dalam praktik pendidikan, seseorang harus diajar dengan memperhatikan salah satu kecenderungan gaya belajar VAK yang spesifik.
Perkembangan Teori
Untuk memahami perkembangan teori tentang gaya belajar perlu dilihat pula perkembangan konsep belajar dalam kajian psikologi, khususnya psikologi kognitif. Salah satu tokoh penting dalam psikologi kognitif yang membahas tentang hal ini adalah Jerome Bruner. Antara tahun 1950-an dan 1960-an Bruner mulai mengeksplorasi peran kognisi dalam pembelajaran. Pada tahun 1960 Bruner menerbitkan karyanya yang cukup fenomenal yaitu The Process of Education. Salah satu hal yang dibahas dalam karya tersebut adalah penekanan pada pentingnyamemperhatikan cara belajar untuk mendapatkan proses dan hasil belajar yang optimal. Selain itu Bruner juga memperkenalkan konsep bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif anak dan menekankan pentingnya representasi mental dan proses berpikir. Dalam proses belajar anak dapat menemukan dan membangun pemahamannya sendiri. Dari sini muncul istilah discovery learning.
Pengaruh berkembangnya psikologi kognitif, didukung gebrakan yang dimulai oleh Bruner terus mendapatkan perhatian pada kajian-kajian selanjutnya. Muncul model gaya belajar kognitif, seperti yang dikembangkan oleh Herman Witkin dkk. Salah satu publikasi Witkin dkk. pada tahun 1977 membagi gaya belajar menjadi dua tipe utama: field-dependent (cenderung melihat informasi secara keseluruhan, terpengaruh oleh konteks) dan field-independent (lebih berfokus pada detail, kurang terpengaruh oleh konteks). Pada masa ini, teori gaya belajar mulai melihat adanya perbedaan individu dalam memproses informasi.
Tahun 1970-an merupakan cikal-bakal munculnya konsep gaya belajar visual, auditori dan kinestetik (VAK), meskipun tidak dinyatakan secara spesifik. Meskipun demikian pendekatan yang digunakan mengarah pada perbedaan kecenderungan belajar termasuk elemen sensorik. Salah satu referensi awal yang mengarah ke model ini adalah penelitian Rita Dunn dan Kenneth Dunn. Dari sini model VAK sebagai istilah mulai populer, terlebih mulai tahun 1980-an.
Salah satu model gaya belajar - sekaligus menjadi salah satu teori yang cukup berpengaruh pada periode ini - dikemukakan oleh David Kolb. Kolb memperkenalkan Experiential Learning Theory (ELT), yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses siklus yang melibatkan pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen aktif. Kolb juga mengidentifikasi empat gaya belajar: converging, diverging, assimilating, dan accommodating, yang didasarkan pada cara individu memilih tahapan dalam siklus ini.
Pada tahun 1987 Neil Fleming menyodorkan model gaya belajar yang lebih spesifik, dikenal sebagai model VARK (Visual, Auditory, Reading/Writing, Kinesthetic). Model ini memberi cara sederhana untuk mengidentifikasi kecenderungan belajar individu, yang membantu dalam mempersonalisasi pendidikan sesuai kebutuhan setiap siswa. Sejak tahun 1980-an sampai saat ini konsep gaya belajar VAK/VARK sering digunakan. Bahkan dapat dikatakan model VAK merupakan yang paling banyak digunakan, terlebih dalam penelitian-penelitian pendidikan yang berhubungan dengan rancangan, proses dan hasil belajar. Konsep VAK juga lebih dikenal karena konon mudah diterapkan dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kritik terhadap Teori Gaya Belajar VAK/VARK
Secara keseluruhan, teori gaya belajar terus berkembang seiring dengan berkembangnya kajian psikologi kognitif. Perkembangan pemahaman ini semakin bertambah dengan kajian dan penelitian yang melibatkan banyak aspek, juga terkait dengan masalah kebutuhan individual akan belajar yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan terkini. Bahkan lebih jauh kritik terhadap teori gaya belajar dikaitkan dengan kebutuhan individual dalam rung lingkup pendidikan. Pada tahun 2000an model gaya belajar VAK dikritik dan ditolak, bahkan mulai cenderung ditinggalkan oleh sebagian peneliti dan praktisi pendidikan dengan beberapa alasan utama yang didasarkan pada hasil penelitian dan teori pembelajaran modern.
Hal pertama yang perlu dilihat adalah saat ini banyak penelitian tidak menemukan bukti kuat bahwa mengajar dengan menyesuaikan gaya belajar visual, auditori, atau kinestetik meningkatkan hasil belajar. Sebagai salah satu contoh, hasil penelitian Pashler dkk. (2008) menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan siswa yang belajar sesuai gaya belajar VAK mengalami peningkatan yang signifikan dalam capaian belajar. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa ada faktor lain, seperti sifat materi atau strategi belajar tertentu, yang lebih berpengaruh terhadap keberhasilan belajar daripada gaya belajar.
Beberapa temuan terkini menemukan pula bahwa model VAK lebih menekankan pada pengalaman sensorik (melihat, mendengar, merasakan) daripada aspek kognitif dalam proses belajar, seperti memahami, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Ini bisa menyesatkan, karena pembelajaran yang efektif sering kali berakar pada keterampilan kognitif dan pengolahan informasi yang lebih mendalam. Padahal belajar tidak selalu berhubungan langsung dengan aspek sensorik. Belajar tidak tergantung pada satu kecenderungan yang tetap. Sebaliknya, strategi belajar yang efektif biasanya melibatkan adaptasi dan variasi, tergantung pada konteks dan jenis informasi. Menggunakan pendekatan yang hanya fokus pada kecenderungan gaya belajar dapat membuat siswa enggan mencoba pendekatan lain yang mungkin lebih efektif untuk jenis materi tertentu.
Perkembangan penelitian tentang kecenderungan seseorang dalam melakukan aktivitas belajar terus berkembang akhir-akhir ini. Pada tahun 2000-an, para peneliti lebih fokus pada metakognisi (kemampuan untuk memantau dan mengontrol proses belajar) dan strategi belajar. Pada tahap ini, gaya belajar tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang tetap, tetapi lebih fleksibel dan dapat disesuaikan. Beberapa penelitian juga menyoroti bahwa gaya belajar yang terlalu kaku tidak selalu efektif, sedangkan strategi belajar yang bervariasi dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Selain itu penelitian di bidang neurosains dan neurodiversitas mulai mengungkapkan bahwa perbedaan individu dalam belajar bisa lebih disebabkan oleh perbedaan struktur dan fungsi otak. Pendekatan ini menggeser pemahaman gaya belajar dari pola subjektif ke aspek biologis dan kognitif. Fokus juga bergeser dari penyesuaian gaya belajar untuk setiap siswa ke pentingnya strategi belajar yang efektif dan fleksibel.
Lebih lanjut, para peneliti kognisi modern menekankan pentingnya strategi belajar yang efektif, seperti latihan, mengingat secara aktif, atau juga perihal metakognitif, yang terbukti meningkatkan hasil belajar secara konsisten. Strategi-strategi ini membantu siswa menjadi pembelajar yang lebih mandiri dan fleksibel, sementara model VAK cenderung membatasi siswa pada pola tetap, yang bisa mengurangi kemampuan mereka untuk menyesuaikan strategi belajar sesuai kebutuhan.
Model VAK dianggap menyederhanakan cara orang belajar menjadi hanya tiga kategori besar. Padahal cara belajar seseorang jauh lebih kompleks dan tidak bisa dibatasi hanya pada dimensi visual, auditori, dan kinestetik. Selain itu, belajar umumnya adalah proses multisensori, misalnya membaca dan mendengar bisa bekerja bersama untuk membentuk pemahaman yang lebih dalam. Pendekatan VAK bisa mengabaikan aspek-aspek penting ini. Lebih memprihatinkan lagi, beberapa temuan menunjukkan jika efektivitas yang dirasakan dalam model gaya belajarsering lebih berkaitan dengan efek plasebo atau keyakinan subyektif. Efek plasebo tersebut muncul pada kesan individu bahwa mereka belajar lebih baik dengan cara tertentu. Keyakinan ini bisa memberikan dorongan psikologis, tetapi tidak selalu menunjukkan perbaikan yang obyektif dalam kinerja akademik.
Mengapa masih sering digunakan?
Pertanyaan di atas berangkat dari kenyataan bahwa sampai saat ini banyak orang masih menggunakan gaya belajar VAK dalam menilai aktivitas belajar seseorang. Atau kembali kepada apa yang ditemukan oleh Jones, banyak praktisi pendidikan percaya pada teori gaya belajar VAK, dan banyak peneliti masih konsisten menggunakan gaya belajar VAK sebagai variabel penelitian. Padahal jika mengacu pada pemikiran bahwa ilmu selalu berkembang dan konsep gaya belajar sebagai suatu teori sudah jauh berkembang, harusnya VAK yang sederhana ini tak lagi relevan. Bisa jadi penyebabnya adalah keengganan untuk meninggalkan cara berpikir yang reduktif dan oversimplifikatif.
Alasan lainnya adalah soal awal mula lahir dan berkembangnya teori-teori belajar yang digunakan dalam banyak konteks. Secara umum banyak teori ilmiah muncul dari Amerika dan Eropa. Ketika teori -teori tersebut diuji bahkan dibantah di kampung halamannya, cerita kelahiran dan perkembangannya baru sampai ke tempat kita, dan kita baru mulai berusaha memahaminya dengan antusiasme tinggi. Lebih rumitnya, ketika kita baru mencoba meraba-raba gaya belajar VAK, pada tahun 2014 Coffield dkk. sudah mengidentifikasi 71 gaya belajar yang berbeda, dan masih ada kemungkinan untuk berkembang lagi.
Penutup
Sebenarnya, jika mengacu keunikan individu dalam belajar maka konsep gaya belajar masuk akal. Artinya setiap individu akan memiliki cara belajar yang berbeda. Bertolak dari sini maka para pendidik perlu menjangkau dan mengekslorasi keunikan tersebut dengan cara yang dipersonalisasi guna membantu individu dalam belajar. Para pendidik perlu mengenali perbedaan peserta didik dan mengupayakan bantuan terbaik guna mencapai hasil belajar yang optimal. Mungkin ini menjadi alasan konsep gaya belajar VAK begitu popular. Namun belajar tidak sesimpel pemikiran tersebut. Daripada berlarut dalam penyederhanaan itu, alangkah lebih baik memikirkan pendekatan berbasis bukti, memberikan perhatian pada strategi belajar dan pengembangan keterampilan kognitif yang dapat diterapkan secara luas, ketimbang mengandalkan preferensi gaya belajar VAK.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H