Kritik terhadap Teori Gaya Belajar VAK/VARK
Secara keseluruhan, teori gaya belajar terus berkembang seiring dengan berkembangnya kajian psikologi kognitif. Perkembangan pemahaman ini semakin bertambah dengan kajian dan penelitian yang melibatkan banyak aspek, juga terkait dengan masalah kebutuhan individual akan belajar yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan terkini. Bahkan lebih jauh kritik terhadap teori gaya belajar dikaitkan dengan kebutuhan individual dalam rung lingkup pendidikan. Pada tahun 2000an model gaya belajar VAK dikritik dan ditolak, bahkan mulai cenderung ditinggalkan oleh sebagian peneliti dan praktisi pendidikan dengan beberapa alasan utama yang didasarkan pada hasil penelitian dan teori pembelajaran modern.
Hal pertama yang perlu dilihat adalah saat ini banyak penelitian tidak menemukan bukti kuat bahwa mengajar dengan menyesuaikan gaya belajar visual, auditori, atau kinestetik meningkatkan hasil belajar. Sebagai salah satu contoh, hasil penelitian Pashler dkk. (2008) menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan siswa yang belajar sesuai gaya belajar VAK mengalami peningkatan yang signifikan dalam capaian belajar. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa ada faktor lain, seperti sifat materi atau strategi belajar tertentu, yang lebih berpengaruh terhadap keberhasilan belajar daripada gaya belajar.
Beberapa temuan terkini menemukan pula bahwa model VAK lebih menekankan pada pengalaman sensorik (melihat, mendengar, merasakan) daripada aspek kognitif dalam proses belajar, seperti memahami, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Ini bisa menyesatkan, karena pembelajaran yang efektif sering kali berakar pada keterampilan kognitif dan pengolahan informasi yang lebih mendalam. Padahal belajar tidak selalu berhubungan langsung dengan aspek sensorik. Belajar tidak tergantung pada satu kecenderungan yang tetap. Sebaliknya, strategi belajar yang efektif biasanya melibatkan adaptasi dan variasi, tergantung pada konteks dan jenis informasi. Menggunakan pendekatan yang hanya fokus pada kecenderungan gaya belajar dapat membuat siswa enggan mencoba pendekatan lain yang mungkin lebih efektif untuk jenis materi tertentu.
Perkembangan penelitian tentang kecenderungan seseorang dalam melakukan aktivitas belajar terus berkembang akhir-akhir ini. Pada tahun 2000-an, para peneliti lebih fokus pada metakognisi (kemampuan untuk memantau dan mengontrol proses belajar) dan strategi belajar. Pada tahap ini, gaya belajar tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang tetap, tetapi lebih fleksibel dan dapat disesuaikan. Beberapa penelitian juga menyoroti bahwa gaya belajar yang terlalu kaku tidak selalu efektif, sedangkan strategi belajar yang bervariasi dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Selain itu penelitian di bidang neurosains dan neurodiversitas mulai mengungkapkan bahwa perbedaan individu dalam belajar bisa lebih disebabkan oleh perbedaan struktur dan fungsi otak. Pendekatan ini menggeser pemahaman gaya belajar dari pola subjektif ke aspek biologis dan kognitif. Fokus juga bergeser dari penyesuaian gaya belajar untuk setiap siswa ke pentingnya strategi belajar yang efektif dan fleksibel.
Lebih lanjut, para peneliti kognisi modern menekankan pentingnya strategi belajar yang efektif, seperti latihan, mengingat secara aktif, atau juga perihal metakognitif, yang terbukti meningkatkan hasil belajar secara konsisten. Strategi-strategi ini membantu siswa menjadi pembelajar yang lebih mandiri dan fleksibel, sementara model VAK cenderung membatasi siswa pada pola tetap, yang bisa mengurangi kemampuan mereka untuk menyesuaikan strategi belajar sesuai kebutuhan.
Model VAK dianggap menyederhanakan cara orang belajar menjadi hanya tiga kategori besar. Padahal cara belajar seseorang jauh lebih kompleks dan tidak bisa dibatasi hanya pada dimensi visual, auditori, dan kinestetik. Selain itu, belajar umumnya adalah proses multisensori, misalnya membaca dan mendengar bisa bekerja bersama untuk membentuk pemahaman yang lebih dalam. Pendekatan VAK bisa mengabaikan aspek-aspek penting ini. Lebih memprihatinkan lagi, beberapa temuan menunjukkan jika efektivitas yang dirasakan dalam model gaya belajarsering lebih berkaitan dengan efek plasebo atau keyakinan subyektif. Efek plasebo tersebut muncul pada kesan individu bahwa mereka belajar lebih baik dengan cara tertentu. Keyakinan ini bisa memberikan dorongan psikologis, tetapi tidak selalu menunjukkan perbaikan yang obyektif dalam kinerja akademik.
Mengapa masih sering digunakan?
Pertanyaan di atas berangkat dari kenyataan bahwa sampai saat ini banyak orang masih menggunakan gaya belajar VAK dalam menilai aktivitas belajar seseorang. Atau kembali kepada apa yang ditemukan oleh Jones, banyak praktisi pendidikan percaya pada teori gaya belajar VAK, dan banyak peneliti masih konsisten menggunakan gaya belajar VAK sebagai variabel penelitian. Padahal jika mengacu pada pemikiran bahwa ilmu selalu berkembang dan konsep gaya belajar sebagai suatu teori sudah jauh berkembang, harusnya VAK yang sederhana ini tak lagi relevan. Bisa jadi penyebabnya adalah keengganan untuk meninggalkan cara berpikir yang reduktif dan oversimplifikatif.
Alasan lainnya adalah soal awal mula lahir dan berkembangnya teori-teori belajar yang digunakan dalam banyak konteks. Secara umum banyak teori ilmiah muncul dari Amerika dan Eropa. Ketika teori -teori tersebut diuji bahkan dibantah di kampung halamannya, cerita kelahiran dan perkembangannya baru sampai ke tempat kita, dan kita baru mulai berusaha memahaminya dengan antusiasme tinggi. Lebih rumitnya, ketika kita baru mencoba meraba-raba gaya belajar VAK, pada tahun 2014 Coffield dkk. sudah mengidentifikasi 71 gaya belajar yang berbeda, dan masih ada kemungkinan untuk berkembang lagi.
Penutup