"Mak saa?" ibu guru bertanya sambil melangkah mendekati bangku saya.
"Matole, ibu. Hom-tole om, au tole et."
"Plaaaakkkk...." Ayunan telapak tangan kanan ibu guru mendarat tepat di pipi kiri saya. Keras dan telak. Pusing dan mual seketika.
**
Serius, saya tak tahu kenapa saya ditampar. Kalian, wahai para pembaca, tentu bertanya-tanya juga. Begini. Dalam bahasa dawan, kata 'tole" bisa berarti "menungging". Jika kata itu diberi imbuhan "ma-" menjadi "matole" maka akan bermakna saling menunggingi. Lalu kalimat 'hom-tole om, au tole et' jika diterjemahkan berarti 'kamu nungging ke sini, saya nungging ke situ'. Sudah paham kan?
**
Tema toleransi memang menarik untuk dibahas. Salah satu hal yang menjadi alasan mendasar mengapa toleransi selalu dibahas adalah realitas keberagaman yang menjadi kekhasan suatu masyarakat multikultural. Indonesia merupakan negara dengan latar belakang sangat beragam: suku, budaya, sistem kepercayaan, ras, termasuk cara berperilaku dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Artinya, bahasan mengenai toleransi selalu aktual dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Ternyata yang ideal tak selamanya berjalan baik dalam kenyataan. Beberapa kejadian di Indonesia menyuguhkan fakta bahwa masih ada pribadi maupun kelompok yang tidak memiliki sikap toleran terhadap sesama warga masyarakat.
Kelompok ini mejadi cerminan belum seluruh anggota masyarakat memahami makna toleransi, yang muaranya adalah munculnya sikap memusuhi, menghasut, ujaran kebencian yang mencederai hidup bersama. Toleransi yang mengandaikan orang saling memandang wajah sebagai manusia ternyata terbalik dalam kenyataan.
Sebagaimana pelajaran toleransi yang saya pahami pertama kali, bisa jadi hal ini terjadi karena orang lebih memilih "matole". Ini pendapat pribadi yang latah. Orang lebih memilih saling menunggingi, memberikan pantat kepada orang lain dan bukan saling memandang wajah.Â
Seandainya setiap manusia sadar untuk saling memandang wajah dalam keberagaman, saling memahami bahwa keberagaman merupakan kekayaan dan kekuatan dalam hidup berbangsa, tentu perilaku "matole" tidak perlu muncul ke ruang publik.