Mohon tunggu...
Unu D Bone
Unu D Bone Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar Sama-Sama

Kadang suka jalan-jalan, kadang suka diam di rumah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi: Tidak Saling Menunggingi

20 November 2020   22:08 Diperbarui: 20 November 2020   22:14 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau tidak salah mengingat, pertama kali saya mengenal kata "toleransi" itu ketika saya duduk di bangku kelas dua SD. Kata itu saya baca di salah satu buku milik om saya saat beliau masih duduk di bangku SMP. Karena om sudah melanjutkan ke SMA di ibukota kabupaten, buku-buku saat SMP ditinggalkan di rumah.

Bukunya tidak banyak. Diwadahi satu peti kayu berwarna biru. Ada beberapa buku yang menarik. Ada kumpulan peribahasa Indonesia, RPAL, RPUL, sejarah, bahasa Indonesia, PMP, agama dan lain-lain.

Entah, saya lupa persisnya, tetapi dari salah satu diantara buku-buku itu kata "toleransi" itu saya temukan. Untuk ukuran anak SD kelas dua kala itu, toleransi merupakan kata baru, boleh dibilang asing.

**

Di kampung kami hanya ada SD. Belum ada SMP. Jika anak-anak yang telah menamatkan sekolahnya di SD dan ingin melanjutkan ke SMP, mereka harus ke kota kecamatan.

Jaraknya tidak begitu jauh, meski tidak bisa pula dikatakan dekat. Satu setengah jam dengan berjalan kaki. Itu kalau berangkat dari kampung ke kota. Berbeda kalau pulang dari kota ke kampung. Bisa dua jam lebih.

Perbedaan waktu tempuh itu lantaran medan yang harus di tempuh. Kampung berada di lereng bukit, sementara kota kecamatan berada di dataran yang lebih rendah. Berangkatnya menurun, pulangnya menanjak. Kalau anak-anak dari kampung kami ingin melanjutkan ke SMP, pilihan yang paling mungkin adalah anak-anak dititipkan ke asrama milik sekolah.

Para orang tua tentu merasa kasihan kalau anak-anak mereka harus menempuh jarak dan waktu ekstra setiap hari demi mengejar cita-cita mendapat pendidikan yang layak. Anak-anak itu baru akan kembali ke rumah setiap libur catur-wulan. Salah satu dari anak-anak SMP ini adalah Agus, anak tetangga kami.

**

Di kampung, sumber air adalah media sosial. Dari sana akan mengalir berbagai informasi. Cerita tentang apa yang sedang terjadi di kampung menyebar dari sama. Informasi tentang kunjungan camat kadang disampaikan oleh aparatur desa di sana.

Cerita tentang si Ana yang sakit karena disuanggi si Boko karena lamarannya ditolak beredar dari sana. Atau cerita tentang om Mundus berselingkuh dengan tanta Lusia di bawah pohon-pohon pinang juga menyebar dari sana.

Sumber air juga menjadi tempat banyak anak berkumpul dan berbagi cerita. Setiap sore, setelah semua pekerjaan harian dilakukan, anak-anak dan pemuda berkumpul untuk mandi di sumber air. Biasanya para perempuan akan lebih dahulu mandi dan mencuci, sementara para lelaki menunggu di padang kecil pinggir hutan dekat sumber air. Setelah para perempuan meninggalkan sumber air dan hari mulai gelap, giliran para lelaki yang akan mandi.

**

Liburan kenaikan kelas tiba. Agus, anak tetangga yang SMP itu, juga beberapa anak SMP yang lainnya dari kampung kami berkesempatan pulang ke kampung. Ini sesuatu yang luar biasa. Kami yang masih SD selalu memandang mereka dengan kagum. Betapa kami ingin segera seperti mereka, bersekolah di kota kecamatan, tinggal di asrama, tahu banyak hal, dan masih banyak hal lagi.

Suatu sore, ketika sedang menunggu giliran mandi di sumber air, saya bertanya kepada Agus, apa itu toleransi. Entah malas meladeni pertanyaan seorang anak kecil atau memang anak tetangga ini tidak tahu, dia menjawab bahwa toleransi itu artinya "matol". Tentu saja jawaban ini membingungkan.

Saya lantas lanjut bertanya, minta penjelasan, apa maksudnya "matol" tersebut. Dengan gaya cuek Agus menjawab, "Matole nan nakam ho-mtole om, au tole et." Oke. Jawaban cukup memuaskan rasa ingin tahu saya saat itu. Jawaban anak SMP tentu benar.

**

Selesai liburan. Saya masuk sekolah dengan senang. Saya sudah kelas tiga sekarang. Pindah ruangan kelas, satu ruangan ke arah timur - posisi ruangan kelas di sekolah kami diurutkan searah matahari terbit, kelas satu paling barat dan kelas enam paling timur. Wali kelas juga baru, seorang ibu guru, yang mengampu semua mata pelajaran kelas tiga, kecuali pelajaran agama dan pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (penjas-orkes).

Pada mata pelajaran PMP, muncul kata toleransi. Ketika sampai topik ini, ibu guru bertanya, siapa yang tahu arti toleransi. Tidak ada yang tahu, kecuali saya. Saya sendiri yang mengacungkan tangan. Bangga.

"Unu, apa arti toleransi?"

"Matole, ibu," saya menjawab disambut tawa sebagian teman kelas. Raut muka ibu guru berubah.

"Mak saa?" ibu guru bertanya sambil melangkah mendekati bangku saya.

"Matole, ibu. Hom-tole om, au tole et."

"Plaaaakkkk...." Ayunan telapak tangan kanan ibu guru mendarat tepat di pipi kiri saya. Keras dan telak. Pusing dan mual seketika.

**

Serius, saya tak tahu kenapa saya ditampar. Kalian, wahai para pembaca, tentu bertanya-tanya juga. Begini. Dalam bahasa dawan, kata 'tole" bisa berarti "menungging". Jika kata itu diberi imbuhan "ma-" menjadi "matole" maka akan bermakna saling menunggingi. Lalu kalimat 'hom-tole om, au tole et' jika diterjemahkan berarti 'kamu nungging ke sini, saya nungging ke situ'. Sudah paham kan?

**

Tema toleransi memang menarik untuk dibahas. Salah satu hal yang menjadi alasan mendasar mengapa toleransi selalu dibahas adalah realitas keberagaman yang menjadi kekhasan suatu masyarakat multikultural. Indonesia merupakan negara dengan latar belakang sangat beragam: suku, budaya, sistem kepercayaan, ras, termasuk cara berperilaku dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Artinya, bahasan mengenai toleransi selalu aktual dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Ternyata yang ideal tak selamanya berjalan baik dalam kenyataan. Beberapa kejadian di Indonesia menyuguhkan fakta bahwa masih ada pribadi maupun kelompok yang tidak memiliki sikap toleran terhadap sesama warga masyarakat.

Kelompok ini mejadi cerminan belum seluruh anggota masyarakat memahami makna toleransi, yang muaranya adalah munculnya sikap memusuhi, menghasut, ujaran kebencian yang mencederai hidup bersama. Toleransi yang mengandaikan orang saling memandang wajah sebagai manusia ternyata terbalik dalam kenyataan.

Sebagaimana pelajaran toleransi yang saya pahami pertama kali, bisa jadi hal ini terjadi karena orang lebih memilih "matole". Ini pendapat pribadi yang latah. Orang lebih memilih saling menunggingi, memberikan pantat kepada orang lain dan bukan saling memandang wajah. 

Seandainya setiap manusia sadar untuk saling memandang wajah dalam keberagaman, saling memahami bahwa keberagaman merupakan kekayaan dan kekuatan dalam hidup berbangsa, tentu perilaku "matole" tidak perlu muncul ke ruang publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun