Tulisan ini saya buat sebagai puncak kekesalan saya atas pernyataan yang dikeluarkan oleh kepala BNP2TKI Nusron Wahid. Semoga tumpahan kegerahan ini membuat yang bersangkutan tidak ahistoris atas apa dan bagaimana KTKLN sebenarnya menyusul masalah dan kontroversi yang ada seputaran KTKLN ini.
Hal pertama yang mengemuka adalah soal pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum tertentu di bandara. Bukankah KTKLN itu harusnya gratis? Lalu mengapa ada tindakan terstruktur melakukan pemerasan kepada para pekerja migran? Lalu dimana esensi gratisnya? Saya yakin sebagai kepala BNP2TKI ia tahu tentang ini tapi tidak ada salahnya saya menuliskan sehingga lagi-lagi tidak ahistoris.
Hal kedua yang mengemuka adalah tindakan cekal atau pembatalan keberangkatan yang dilakukan oknum di bandara entah itu maskapai penerbangan, oknum imigrasi dan antek-anteknya para broker di bandara. Padahal jelas-jelas bahwa ketika seseorang ada passport, visa dan tiket, setiap warga negara bisa pergi ke luar negeri. Lalu mengapa ada pembatalan keberangkatan hanya karena KTKLN sehingga para pekerja migran kehilangan kesempatan kerja?.
Hal ketiga yang mengemuka adalah persoalan asuransi yang harus dibayarkan pada saat pembayaran KTKLN. Sangat relevan jika pertanyaan mendasar tentang apa relevansi asuransi tersebut terungkap dari kesalahan pengelolaan asuransi selama ini sehingga begitu banyak masalah yang timbul. Soal klaim yang sulit sekali utk dicairkan, soal tidak adanya transparansi pengelolaan asuransi ini dan soal adanya konsep monopoli terstruktur tetapi dibungkus manis dengan membuat konsorsium asuransi yang tidak jelas mekanismenya. Para pekerja migran akan sangat mengapresiasi jika pemerintah ini memberikan transparansi tentang berapa besar jumlah dana asuransi pekerja migran selama ini dan berapa banyak klaim yang berhasil diterima? Berikan informasi ini ke publik sehingga mampu menjawab rasa penasaran yang selama ini selalu dialamatkan bagi pemerintah
Tulisan ini akan dihubungkan dengan tulisan terdahulu tentang revitalisasi peran negara dalam perlindungan pekerja migran. Bukankah seharusnya negara yang melakukan fungsi perlindungan, bukan justru mengalihkan ke pihak swasta dalam hal ini perusahaan asuransi?Mari bicara data berapa banyak kontribusi remitansi yang disumbangkan oleh pekerja migran ke devisa negara menurut laporan perekonomian yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam Perekonomian Indonesia tahun 2014. Nilai remitansi pekerja migran pada tahun 2013 tercatat naik menjadi 7,4 miliar dolar AS dari 7,1 miliar dolar AS pada tahun 2012. Grafik diawal tulisan ini  menunjukkan kecenderungan meningkat per tahun. Lalu dari sekian banyak kontribusi tersebut, tidakkah negara yang seharusnya menjamin perlindungan pekerja migran dan bukan lembaga profit seperti asuransi?
Hal keempat yang mengemuka adalah pemaksaan untuk melakukan tes kesehatan sebelum pembuatan KTKLN yang lagi-lagi akan memberatkan para pekerja migran. Pemaksaan pemeriksaan kesehatan para pekerja migran adalah kegenitan yang tidak penting dari BNP2TKI. Kebijakan ini tumpang tindih dan tidak relevan karena di negara penempatan, pekerja migran kembali akan melakukan pemeriksaan kesehatan. Jika seandainya lembaran pemeriksaan kesehatan yang dimiliki di Indonesia bisa digunakan di negara penempatan, menurut saya bisa saja tapi faktanya surat keterangan dokter dari Indonesia tidak bisa digunakan di negara penempatan. Di negara penempatan pemeriksaan kesehatan ditanggung oleh pengguna jasa. Lantas untuk apa membebani pekerja migran membayar biaya pemeriksaan kesehatan di Indonesia jika di negara penempatan dibayar oleh pengguna jasa? Dan jika pemerintah memberikan perhatian yang serius tentang kesehatan seorang pekerja migran, seharusnya pemerintah menekan agar biaya ini ditanggung oleh pengguna jasa dan bukan oleh pekerja migran.
Hal kelima yang sangat-sangat memalukan adalah kebanggaan BNP2TKI mengatakan KTKLN adalah chip pintar yang memuat semua data para pekerja migran tapi di kedubes negara penempatan data ini tidak bisa diakses. Bahkan di bandara data ini tidak bisa diakses. Tapi BNP2TKI dan pemerintah tidak menyadari bahwa keberadaan kartu ini justru menunjukkan kegagalan negara dalam mengintegrasikan data kependudukan. Dimulai dari passport, menyusul kemudian mendagri mengeluarkan ektp, dan sebelumnya dirjen pajak mengeluarkan kartu NPWP yang sempat juga menjadi momok bagi para pekerja migran. Dimana integrasi dari semua data ini? Mengapa membangggakan kelemahan negara dalam mengelola data kependudukan? Jika data kependudukan sudah terintegrasi dengan baik, satu kartu kependudukan cukup untuk diakses oleh semua departemen. Keheranan saya sebenarnya bertambah. Philippine tidak mengenal adanya kartu kependudukan seperti KTP di Indonesia. Mereka hanya memiliki voters card. Untuk para pekerja migran mereka memiliki kartu yang hampir sama dengan KTKLN tapi itu hanya sebatas kartu dan tidak menjadi ganjalan karena sistem pendataan mereka atas pekerja migran sudah sangat memadai. Kartu itu bahkan cenderung tidak digunakan.
Sejak UU No. 39 tahun 2004 diputuskan KTKLN tidak pernah dibicarakan sama sekali. Kartu hantu ini hanya muncul setelah keluarnya surat blunder dari kepala BNP2TKI yang memberi ruang bagi pemerasan di lapangan. Walaupun kepala BNP2TKI baru menjabat, seharusnya hal ini yang segera dibenahi. Tarik surat tersebut dengan memberikan penjelasan kepada pihak bandara agar tidak mempermasalahkan KTKLN bagi para pekerja migran. Bukan malah mengeluarkan pernyataan kontroversi yang menisbikan perintah presiden.
Ada banyak exit strategy yang bisa dipikirkan oleh kepala BNP2TKI jika dirasa kebijakan ini belum bisa segera dilakukan:
Pertama mengeluarkan edaran di semua bandara agar tidak mempertanyakan kembali soal KTKLN sembari menunggu proses legislasi berjalan. Ini akan lebih diapresiasi masyarakat daripada pernyataan mengintegrasikan dengan passport dan visa. Justru yang lebih blunder lagi adalah pemberian stempel di belakang passport sebagai bukti bahwa pekerja migran tersebut memiliki dokumen lengkap dan tidak lengkap. Lalu dimana esensi fungsi KTKLN adalah untuk pendataan ketika data tersebut tidak bisa diakses online. Apakah stempel tersebut bisa menjadi instrumen untuk melihat kelengkapan data yang bersangkutan. Semakin terlihat kebingungan BNP2TKI dalam melaksanakan perintah presiden.