Mohon tunggu...
Nurfahmi Budi Prasetyo
Nurfahmi Budi Prasetyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis kalau lagi mood

Penguber kuliner, tertarik politik & penggila bola

Selanjutnya

Tutup

Money

Di Acara Dialog dengan Menkeu, Henry Yoso Tolak RUU Pengampunan Pajak

23 Oktober 2015   17:18 Diperbarui: 23 Oktober 2015   17:18 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggota DPR RI H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH - foto: satuharapan.com

Anggota DPR H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH dalam Dialog Bersama Menteri Keuangan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Kamis (22/10) malam mengungkapkan penolakannya terhadap kebijakan Pemerintah terkait Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

“Saya tertarik dengan salah satu topik malam ini kaitannya dengan tax amnesty, yang di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI masih dalam tahap awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional. Dimana RUU ini diajukan oleh sekelompok Anggota DPR RI. Kebetulan saya sebagai anggota DPR RI, tapi saya tidak mendukung RUU tersebut. Dan saya berharap kita semua lebih bijak mencermati dan mendalami RUU ini,” ucapnya.

Penolakan Henry semakin tegas setelah ia dengan seksama membaca draft RUU tersebut. Terutama dalam Pasal 10, disebutkan bahwa baik perseorangan maupun badan yang melaporkan maka selain memperoleh fasilitas di bidang pajak, mereka juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan.

“Kemudian, di dalam rancangan dijelaskan, bahwa penjelasan umum dari RUU itu disebutkan antara lain, terdapat berbagai kejahatan masa lampau yang berkaitan dengan uang / dana hasil tindak pidana, yang diduga belum selesai ditangani oleh instansi penegak hukum, karena instansi penegak hukum kesulitan untuk membuktikan asal aliran dana hasil tindak pidana tersebut

Ada pun tindak pidana yang dimaksud dalam RUU tersebut antara lain: tindak pidana korupsi, pencucian uang, pembalakan liar,  perikanan dan kelautan, perbankan, kepabeanan, perjudian, dan penanaman modal.

“Artinya, kita akan memberlakukan atau membuat suatu UU yang kalau saya tidak salah menafsirkan, bisa kita artikan: Hai perampok, hai penjahat, kalian lakukanlah kejahatan di negeri ini. Kalian boleh menebang hutan hingga gundul mengakibatkan banjir, kalian boleh mencuri ikan, kalian boleh melakukan usaha perjudian, kalian boleh melakukan kejahatan kepabeanan, kalian boleh korupsi, kalian boleh melakukan kejahatan pencucian uang dan  sebagainya, kemudian kalian lari ke luar negeri sebentar. Lalu laporkan itu dan kalau kalian buron maka kalian boleh pulang.


Uang hasil kejahatan kalian itu tidak kami disita apalagi dirampas, dan kau bebas dari tuntutan pidana, kalian hanya membayar tebusan paling banyak 8% dari nilai uang atau kekayaan hasil kejahatan itu" ungkap  Henry dengan nada tinggi dan kesal.

Mereka, lanjut dia, hanya dikenakan kewajiban menebus istilahnya, sampai dengan waktu-waktu tertentu, dimana terdapat sejumlah pengelompokkan tarif uang tebusan berdasarkan periode Surat Permohonan Pengampunan Nasional yaitu sebesar 3 persen, 5 persen dan 8 persen berdasarkan harta yang dilaporkan.

“Padahal kalau kita lihat, hal ini bertentangan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi, semangat bagaimana kita menciptakan Indonesia yang bermartabat. Mungkin kita berbeda sudut pandang. Saya tidak melihatnya dari sudut pandang penerimaan negara saja. Tapi saya lebih melihatnya agar bangsa kita menjadi bangsa yang betul-betul beradab,” tegas Henry.

Lebih lanjut Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Lampung II itu berharap sebagai sebuah bangsa, kita tidak hanya memikirkan penerimaab negara saja tapi juga mempertimbangkan uang yang diterima itu berasal dari mana? Tidak  dengan “menghalalkan segala cara”.

“Ini merupakan suatu preseden di kemudian hari. Oleh karena itu sebelum terlalu jauh bicara mengenai tax amnesty, agar dipahami dulu apa yang terkandung dalam RUU itu,” imbuhnya.

Dan kalau ini yang terjadi, sambung Henry, maka kalau melihat dari sisi penegakan hukum, akan jauh lebih baik penegakan hukum dilakukan toh dalam penegakan hukum uang dari kejahatan itu dirampas untuk negara.

“Kalau ini tidak, uangnya tetap kepada yang bersangkutan, kita (negara) hanya dapat tebusan dan dia lepas dari tuntutan pidana. Artinya ini juga akan melukai rasa keadilan masyarakat. Mohon maaf kalau saya berbeda pendapat dengan yang lain, karena perbedaan pendapat sesama umatku, kata Rasulullah, adalah Rahmat,” tandas Henry.

Menanggapi itu, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito menyebut RUU Pengampunan Pajak awalnya adalah usulan yang diajukan dari Komisi 11 DPR RI. Sementara usulan dari Kementerian Keuangan menurut DPR saat itu dinilai kurang menarik, dan baru kemudian diajukan kembali oleh DPR menurut versinya. Wewenang itu ada di DPR karena memang inisiatif dari Dewan.

“RUU Pengampunan Pajak awalnya yang kami buat dulu khusus Tax Amnesty dimana kita arahkan ke luar negeri. Dulu kebijakan itu sengaja untuk dana WNI di luar negeri dengan alasan sulit terjangkau. Pengampunan pajak menjadi salah satu cara yang dinilai efektif untuk mengamankan target penerimaan pajak Rp1.295 triliun,” ungkapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun