Mohon tunggu...
sonny fadli
sonny fadli Mohon Tunggu... Dokter - pejuang-pemikir

Dokter TSR PMI Kota Surabaya, PTT Mamberamo Raya Papua.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Membangun Kesehatan Warga Bangsa di Daerah Terdepan Indonesia Berbasis Digital

3 Maret 2019   13:57 Diperbarui: 4 Maret 2019   14:32 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kesehatan memberikan perawatan kepada sejumlah anak penderita gizi buruk dari kampung Warse, Distrik Jetsy di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua.| ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Tulisan saya kali ini akan diawali dengan pengalaman saya ketika menjadi dokter PTT Pusat yang ditempatkan di Puskesmas Gesa Baru, Distrik Benuki, Kabupaten Mamberamo Raya.

Masih kental dalam ingatan saya yang terpapar dengan pasien yang memiliki corak penyakit tropik infeksi misalnya malaria, filariasis (kaki gajah), Ascariasis (cacing gelang), Frambusia (patek), kusta, TBC dan lain sebagainya. Masyarakat Mamberamo, yang memiliki hutan hujan tropis dengan keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya, memiliki potensi penyakit yang bisa menyebabkan kecacatan dan kematian terlebih karena masyarakatnya masih dalam taraf pendidikan yang rendah.

Sebagian masyarakat setempat sudah sadar mengenai kondisi mereka yang hidup dalam ancaman berbagai penyakit, namun mereka kesulitan mendapat pengobatan yang optimal terkait akses ke fasilitas kesehatan sulit atau keterbatasan obat. 

Sebagian masyarakat ada yang tidak tahu mereka sedang menderita penyakit berbahaya namun dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sehingga berujung pada kecacatan bahkan kematian karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai penyakit tersebut.

Dalam satu waktu saya menerima kunjungan pasien, seorang tokoh agama di salah satu kampung. Ia puluhan tahun mengabdikan diri untuk masyarakat setempat.

Bapak itu datang tangan dan kakinya "dimakan" hampir habis oleh bakteri Mycobacterium Leprae, bapak itu menderita sakit kusta. Beliau kehilangan tangan dan kakinya secara perlahan namun nyatanya tidak tahu mengenai apa nama penyakit yang diderita, yang mestinya bisa diobati.

Saya pernah menerima rombongan pasien dari kampung usia. Kampung Usia, kampung terjauh di distrik Benuki ini memiliki kebiasaan berobat massal dalam satu kali waktu, sebulan sekali, dua bulan sekali, bahkan tiga bulan sekali.

Kenapa demikian? karena kampung mereka memiliki jarak tempuh dua hari untuk tiba di puskesmas, harga bensin yang mahal tidak terbeli untuk menghidupkan mesin perahu ketinting atau speed boat mereka.

Mereka biasanya nebeng kepala kampung saat turun ke distrik, mereka terbiasa menahan sakit seakan hanya mereka dan Tuhan yang tahu bagaimana sakit yang mereka derita.

Sebut saja namanya Mace Salwa, bukan nama sebenarnya. Ia datang bersama rombongan dari Kampung Usia. Jalannya terseok-seok seperti ada beban berat di kakinya, ternyata benar apa yang saya duga, Mace Salwa menderita filariasis atau kaki gajah.

Menurut teori spesies Wuchereria Bancroft, merupakan cacing filaria yang bertanggung jawab terhadap 90% kasus kaki gajah, diperantarai gigitan nyamuk jenis tertentu.

Nah, Mace Salwa ini tidak tahu bagaimana ia menderita sakit demikian dan sudah 5 tahun menderita tanpa pernah mendapat pengobatan intensif. Dan ternyata bukan hanya Mace Salwa saja, tiga pasien lain berikutnya juga menderita penyakit yang sama kebanyakan perempuan.

Lengkap sudah beban derita mace-mace ini, mereka harus hidup dengan tanggungan mengasuh keluarga, mendampingi suami berburu di hutan, membantu mengangkut kayu dan hasil buruan dengan kondisi kaki yang terseret.

Di suatu sore saya dipanggil oleh Pace Markus-bukan nama sebenarnya-, bapak dari seorang anak yang menderita batuk darah. Saat bapak itu datang saya bertanya-tanya apa mungkin anak tersebut menderita TBC. Saya bergegas memakai motor menuju Kampung Kerema, sekitar 2 km dari Puskesmas Gesa Baru. 

"Pak dokter, keluar cacing dari hidung anak saya". Biuh, saya "nderedeg" mendengar penyampaian bapak tersebut. Wah ternyata keluar cacing gelang dari hidung anak tersebut saat batuk sesaat sebelum saya tiba. Duh, Ascaris Lumbricoides, cacing gelang ini sudah hidup nyaman di organ paru anak tersebut. Bagaimana ini bisa terjadi?

Suatu senja, saya dipanggil untuk menolong persalinan di rumah warga dekat logbon (sebutan pelabuhan di sungai). Sang dukun bayi menyerah, bayinya tidak segera lahir padahal sudah lebih tiga jam dipimpin. 

Saya menolong persalinan hanya berbekal pengalaman saat menjadi dokter muda di RSUD dr. Soetomo, FK Unair Surabaya, menolong persalinan total 9 pasien saat putaran di Departemen Obstetric dan Ginekologi.

Hampir dua jam saya mendampingi menolong persalinan di rumah kayu yang hanya diterangi perapian kecil dengan kepulan asap tebal. Kesabaran berbuah maksimal, akhirnya bayi lahir menangis, saya berucap syukur sekaligus bangga. 

Saat hendak memotong tali pusat, tindakan saya ini dilarang, "Pak dokter tra boleh potong tali pusat, ini kitong punya adat."

Waduh mati sudah, bayi mulai tampak kedinginan, saya merayu terus menerus agar tali pusat segera bisa dipotong, akhirnya mereka setuju. Saat melanjutkan melahirkan plasenta (ari-ari) bayi, datang pace yang rumahnya dekat dengan puskesmas. "Pak dokter, adik saya kejang."

Perihal menolong ari-ari atau plasenta bayi saya serahkan ke Suster Wayoi. Saya pamit ngebut gas pol tanpa rem pol, tanpa harus takut menabrak dan ditabrak karena kondisi jalan masih sepi. 

Saya bisa ngebut layaknya Valentino Rossi karena kondisi jalan jauh lebih membaik karena ada proyek pembangunan jalan Trans Papua yang saat itu digawangi oleh satuan Tugas TNI sebagai usaha percepatan pembangunan papua.

Bah, pasien usia remaja kejang dalam rumahnya, saya menduga ia menderita malaria yang sudah menginfeksi otak atau ia memang menderita epilepsi. Saya ke puskesmas mencari obat anti kejang, sayangnya stok obat anti kejang baik obat suntik maupun obat minum ternyata habis.

Saya kembali ke pasien, apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasi kejang? Akhirnya terpaksa mengeluarkan kekuatan nonmedis, berusaha mensugesti kejangnya berhenti dengan menekan pangkal ibu jari tangan pasien sekuat tenaga (konon kata ahli akupuntur sebagai titik kejang). Jos kejang pun berhenti.

Masih banyak narasi lain yang bisa dibagikan. Ini hanya intro tapi sudah sepanjang ini, saya harap tidak bosan membaca. Anda bisa membayangkan bagaimana susahnya menjadi masyarakat yang hidup di pedalaman Indonesia, lalu dikembalikan pada diri masing-masing bagaimana mudahnya kita yang hidup diperkotaan, di manapun ada fasilitas kesehatan yang memadai.

Di tengah kompleksitas persoalan masyarakat di pedalaman, kita masih saja tumpul empati dengan mengatakan membangun infrastruktur tidak perlu, mengirim dokter spesialis disebut pelanggaran HAM, dan sebagainya. Hello, apa anda mau mengadakan kemah bareng di pedalaman agar bisa merasakan sakitnya tuh di sini.

Pekerjaan rumah di bidang kesehatan dan pendidikan masih sangat besar. Mencerdaskan kehidupan bangsa tak akan pernah bisa tercapai dengan dukungan optimalisasi pendidikan dan kesehatan. Pendidikan, pendidikan, pendidikan, dan kesehatan. 

Kecerdasan dapat dibentuk oleh tiga kali tempaan pendidikan namun tidak akan menghasilkan generasi terdidik dan berdaya saing kalau kesehatan tidak dianggap penting. 

Kesehatan adalah penentu cetak biru dari masa depan seseorang. Ibu hamil yang menderita kencing manis, memiliki risiko bayinya menderita penyakit jantung bawaan di kemudian hari.

Bagaimana dengan ibu hamil di pedalaman, yang memiliki potensi ancaman penyakit beragam, bagaimana kelak bayinya tumbuh, bagaimana kelak ia tumbuh menjadi generasi yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas tinggi, menjadi generasi pemenang yang bisa menyulap wajah terdepan Indonesia menjadi indah.

Rasanya kita semua harus sepakat persoalan kesehatan dan pendidikan merupakan tanggung jawab semuanya bukan sekedar beban yang harus ditanggung oleh pemerintah. Ide-ide segar, gagasan-gagasan besar perlu kita sodorkan ke pemerintah bagaimana upaya percepatan pembangunan kesehatan dan pendidikan khususnya di pedalaman.

Bukan malah terjebak oleh isu-isu yang menurut saya kurang penting, misalnya isu gaji dokter lebih sedikit dibandingkan dengan tukang parkir. Kita terjebak ke dalam perjuangan kelas yang semu dan usang. Kita seperti mengotori bagaimana perjuangan dokter di masa pergerakan nasional.

Padahal mestinya sudah kita berakhir perihal perjuangan-perjuangan kelas semacam ini apalagi kita ini sebagai kaum yang disebut terdidik. Kita ini bagian dari instrumen negara atau pemerintah yang perlu bersatu, bahu membahu, meng-create solusi persoalan kesehatan yang dihadapi masyarakat di pedalaman.

Kita perlu sama-sama berpikir bagaimana pemerintah pusat mengirim tenaga kesehatan ke daerah namun dengan hasil yang maksimal. Bagaimana pengiriman tenaga kesehatan diberi dukungan oleh pemerintah daerah setempat, dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Bagaimana masyarakat bisa mengupgrade status kesehatannya menjadi lebih baik dari ide-ide berbasis milenial. Kita tidak sekadar berbicara mengenai revolusi industri 4.0 untuk manfaat ekonomi. 

Bagaimana mengirim tenaga profesional baik dokter spesialis, dokter umum, bidan, perawat, sarjana kesehatan masyarakat, ahli gizi, dan sebagainya secara serentak dan terintegrasi.

Bagaimana bila mengirim tenaga kesehatan ke daerah dengan dibekali teknologi digital bisa memfasilitasi percepatan arus pelaporan masalah kesehatan, bagaimana teknologi digital bisa mempercepat penyelesaian solusi masalah kesehatan secepat mungkin, bagaimana teknologi digital bisa mempercepat proses transfer edukasi kepada masyarakat, itu yang perlu sama-sama kita pikirkan dan realisasikan.

Saya membayangkan kasus pasien yang menderita filariasis, kusta dan sebagainya yang saya paparkan sebagai intro tadi bisa terlapor secara digital dan langsung dibaca oleh dinas kesehatan daerah, pemerintah daerah, dinas kesehatan provinsi, kementerian kesehatan bahkan presiden.

Maka, sangat perlu dan tidak ada salahnya mengirim sarjana yang ahli di bidang teknologi untuk wajib mengabdi ke daerah pula, memberi dukungan penuh terwujudnya pembangunan kesehatan dan pendidikan berbasis digital. Presiden bisa dengan sangat cepat tahu, misalnya ada kejadian kematian ibu dan bayi di pedalaman, tanpa harus blusukan masuk ke kampung-kampung.

Calon kepala daerah, calon anggota legislatif tidak bisa lagi menutupi kondisi riil di daerahnya. Peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk memasukkan peran teknologi digital ini dalam membangun manusia di daerah, kita pangkas birokrasi-birokrasi yang rumit, kita habisi peluang pelaporan-pelaporan palsu kondisi di lapangan. Perkembangan ilmu dan penelitian di bidang kesehatan.

Yang menjadi kenyataan adalah media-media memiliki kecenderungan untuk menutupi kasus yang merugikan pejabat setempat, media-media tidak akan memberitakan sesuatu yang tidak komersil, bombastis, membawa keuntungan bagi usaha mereka.

Persoalan informasi masalah kesehatan jelas masih kalah jauh dengan berita-berita politik usang, sampah-sampah wacana yang digulirkan calon pejabat eksekutif dan legislatif di tahun politik. Pembangunan teknologi digital yang memberi dukungan percepatan informasi sangat-sangat diperlukan.

Pertanyaannya apakah hal demikian bisa?Jawabannya adalah sangat-sangat mungkin. Kita bisa melihat Gojek, Grab, Buka Lapak, dan aplikasi-aplikasi lain yang sangat memberikan manfaat untuk masyarakat di bidang ekonomi. Kita hanya tinggal mengadopsi bagaimana aplikasi-aplikasi ini bisa menjadi fasilitas yang mempercepat pembangunan terutama di daerah terdepan Indonesia.

Suatu hari Bidan Yuli, bertugas di tengah hutan Mamberamo dengan medan sulit, ia menyalakan alarm "call for help", ada pasien dengan perdarahan setelah melahirkan. Sembari Bidan Yuli mengatasi kegawatan pasien, pemerintah daerah dan provinsi dapat memberikan instruksi pesawat atau helikopter datang untuk mengevakuasi pasien ke rumah sakit memiliki fasilitas lengkap.

Bila pasien selamat, ia akan berterima kasih, ternyata pemerintah memperhatikan nasib mereka, Indonesia menjadi negara paling aman buat ibu. Dan bila sebaliknya pasien meninggal, pemerintah bisa melakukan evaluasi apa yang sekiranya harus diperbaiki tanpa menunggu laporan tahunan. Ini sangat-sangat penting, karena kematian ibu merupakan indikator kemajuan bangsa.

Mari membangun pikiran positif, menggali dari alam bawah sadar ide-ide kreatif yang sekiranya memberikan support kepada pemerintah untuk membangun warga bangsa yang tinggal di pedalaman Indonesia.

Terakhir saya mengutip kalimat yang saya gandrungi, dari sahabat saya Atho Lose, Aktivis Komunitas Anak Negeri Indonesia (KANI) dalam sebuah diskusi pasamuan di Rumah Pahlawan HOS Tjokroaminoto Surabaya, ia memaparkan "Percuma kita bangun gerbang atau pagar tapi manusianya kita tidak bangun sebagai pilar yang hidup untuk menjaga NKRI, tidak ada gunanya bila kita bangun pagar, bangun tentara dan sebagainya. Hal yang paling utama adalah bagaimana kita membangun manusis-manusia di perbatasan itu sebagai penjaga utamanya". 

Kita terus bangun infrastrukturnya namun kita tidak lupa melakukan untuk terus menerus melakukan upaya optimalisasi pembangunan kesehatan dan pendidikan di daerah terdepan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun