Tulisan ini hanyalah sebagai upaya untuk mengemukakan persepsi lain atas sebuah artikel yang tersebar luas lewat media sosial dengan judul "Jawaban Komnas HAM terkait Wajib Kerja Dokter Spesialis ", berita diupload pada 18 Jul 2017 09:07:20 pada website ini
Saya bukanlah siapa-siapa dan tidak menjabat sebagai apapun, salah satu lulusan FK Universitas Airlangga, yang pada tahun 2012 mendapat kesempatan mengabdi sebagai dokter Internship di Kabupaten Magetan, dan pada 2015 saya menyelesaikan tugas sebagai dokter PTT selama dua tahun di Kabupaten Mamberamo Raya Papua.
Kembali lagi bahwa niat awal tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan baik individu maupun organisasi, atau saudara saya, sejawat saya yang mungkin mempunyai pandangan lain dalam hal ini mengenai Wajib Kerja Dokter Spesialis. Tulisan ini hanya sekedar bacaan ringan, yang mana kalau ada sisi positif bisa diambil, dan kalua ada sisi negatif mohon untuk dimaafkan. Kebenaran Absolut hanya milik sang Pencipta.
Pada 12 Januari 2017 lalu pemerintah menetapkan Perpres no. 4 tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Sebagai narasi singkat, lulusan dokter spesialis diwajibkan untuk mengabdi selama kurun waktu satu tahun. Berdasarkan artikel yang dimuat di website resmi  Badan PPSDM kementrian Kesehatan RI disebutkan bahwa Wajib Kerja Dokter Spesialis yang selanjutnya disebut WKDS merupakan terobosan Kementerian Kesehatan yang didukung oleh Organisasi Profesi IDI, POGI, PABI, PAPDI, IDAI dan Perdatin serta Kolegium Ahli Penyakit Dalam, Obstetri dan Ginekologi, Anak, Ahli Bedah serta Anestesiologi dan Terapi Intensif serta pihak terkait dalam rangka pemenuhan dan pemerataan tenaga spesialis terutama di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Dalam pandangan saya kebijakan pemerintah untuk mewajibkan lulusan dokter spesialis merupakan suatu yang urgent mengingat banyaknya persoalan kesehatan di daerah terpencil perbatasan dan kepulauan (DPTK). Selanjutnya dalam tulisan ini saya lebih memilih memakai istilah daerah terdepan Indonesia menggantikan istilah Daerah Terpencil perbatasan dan kepulauan (DPTK). Bahwa masyarakat di daerah terdepan Indonesia merupakan gambaran bagaimana potret Indonesia seutuhnya.
Pada 17 Mar 2017 lalu, perkumpulan dokter yang menamakan dirinya sebagai Dokter Indonesia Bersatu (DIB) membuat surat terbuka yang ditujukan untuk Presiden republik Indonesia Joko Widodo dengan judul "Tanggapan PDIB tentang Perpres Wajib Kerja Dokter Spesialis" yang mempertanyakan pasal mempertanyakan beberapa pasal 19, 21, dan 29 dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis.
Singkatnya pada 29 Maret 2017 Komnas HAM menerima pengaduan dari sejawat dokter yang tergabung dalam Komite Naasional Kesehatan dan Perkumpulan Dokter Indonesia bersatu (PDIB). 17 April 2017 Komnas HAM menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri Kementrian Kesehatan RI, Kementrian Hukum & HAM RI, Kementrian Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi RI, Majelis Pembina Kesehatan Umum, PP Muhammadiyah, Ketua Komite Nasional Kesehatan dan Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu. Dan pada 15 Juni 2017 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi WKDS perlu dievaluasi dan atau direvisi karena diduga melanggar HAM dan Konvensi ILO.
Rekomendasi Komnas HAM bahwa Pengiriman dokter spesialis ke daerah terdepan Indonesia dianggap sebagai "kerja paksa", bertentangan dengan Konvensi ILO poin 105 dan bertentangan dengan Undang Undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dimana dokter boleh berpraktek di tiga tempat pelayanan kesehatan. Lulusan dokter Spesialis yang menjalani WKDS hanya diperbolehkan kerja di satu tempat praktek saja. Poin keberatan lain yakni program WKDS tidak hanya berimbas pada dokter lulusan PPDS itu sendiri, melainkan juga keluarganya. Dengan adanya program ini, maka banyak pasangan suami/istri hidup terpisah atau anak yang tidak dapat tumbuh berkembang bersama kedua orang tuanya, karena tidak memungkinkan dibawa ke daerah terpencil. Terlebih penempatan dokter didaerah terpencil memiliki resiko yang tinggi terhadap keselamatan dan keamanan jiwanya.
Saya beranggapan bahwa istilah 'kerja paksa' tidak pantas dipakai untuk menggambarkan program WKDS. Dokter, dokter spesialis terikat dengan konvensi tersebut sebagai buruh  atau profesi atau buruh profesi?.  Seandainya pun masih memakai Konvensi ILO sebagai batu pijakan argumentatif, kita tidak boleh melupakan ada poin no. 29  konvensi ILO yang berisi semua negara anggota ILO melarang semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja kecuali melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wajib militer, wajib kerja dalam rangka pengabdian sebagai warga negara, wajib kerja menurut keputusan pengadilan, wajib melakukan pekerjaan dalam keadaan darurat atau wajib kerja sebagai bentuk kerja gotong royong. Artinya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam konvensi ILO. Apakah wajib kerja sebagai warga negara, wajib kerja sebagai dokter spesialis, wajib kerja untuk membangun daerah terdepan Indonesia bisa kita beri stempel 'kerja paksa'?, mengenai jawaban atas pertanyaan itu kita kembalikan pada diri masing-masing.
Berikutnya membenturkan dengan  WKDS dengan Undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga kurang tepat. Praktek di tiga tempat di kota besar memang sangat mungkin, Rumah Sakit ibarat jamur yang bertumbuh subur dimana-mana. Apa yang diharapkan dari pengabdian di daerah terdepan Indonesia yang mana paling banyak ada satu Rumah Sakit yang fasilitasnya tidak memadai pelayanannya kurang sempurna. Seharusnya kita tidak berharap apapun selain mempunyai harapan bisa memajukan Rumah Sakit di daerah terdepan dengan ilmu dan pengalaman yang kita miliki. Selain itu konon kabarnya pemerintah berencana memberikan apresiasi yang lebih dari cukup insentif sebesar 23-30 juta per bulan.
Dokter merupakan profesi yang cukup berisiko jarang berinteraksi dengan keluarga. Semenjak menjalani program Pendidikan dokter spesialis pun sudah terbiasa jauh dari keluarga Karena padatnya rutinitas sehari-hari menangani pasien dan setumpuk tugas ilmiah. Dampak terhadap keluarga dan anak memang cukup nyata selama menjalani pendidikan terlebih ketika PPDS menjalani dinas luar di Rumah Sakit lain hingga menyeberang ke luar pulau.Â
Saya rasa semua hal teresbut sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan dari PPDS dan pun dokter spesialis dimana pun. WKDS harusnya merupakan perjalanan singkat yang sangat mudah dilewati oleh lulusan dokter spesialis selain untuk membayar 'hutang waktu produktif' kepada rakyat juga bisa menempa keahliannya sebagai dokter spesialis. 'Hutang waktu produktif' saya gambarkan sebagai tidak semua orang bisa menjadi dokter, tidak semua orang bisa menjadi spesialis, dibalik bangku yang kita duduki, dan dinginnya ruangan ber-AC dimana kita bekerja dan menuntut ilmu terdapat uang rakyat di dalamnya.Termasuk  uang rakyat dari daerah terdepan Indonesia.
Apabila kita memakai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam mengkaji WKDS tanpa melihat kenyataan yang ada di sisi rakyat merupakan hal yang tidak berimbang. Sedikit gambaran di tempat saya mengabdi, di Kabupaten Mamberamo Raya Papua, masih banyak saya jumpai gizi buruk yang cukup banyak, mereka bisa diibaratkan menunggu giliran mati didalam  hutan yang sepi. Salah satu kejadian, Ibu hamil dengan kehamilan ektopik yang terganggu (kehamilan di luar Rahim) meninggal Karena tidak ada sarana transportasi udara ke kota, dan tidak ada dokter Spesialis Obsgyn di Rumah Sakit pada saat itu.Â
Dan banyak lagi contoh kenyataan pahit potret kesehatan daerah terdepan di Indonesia. Mereka rakyat di daerah terdepan Indonesia tidak pernah berpikir untuk mengadu ke Komnas HAM akan nasib kehidupan mereka, dan mereka tidak mempunyai akses kekuasaan untuk itu. Yang mereka butuhkan adalah bagaimana pelayanan kesehatan berjalan baik, kehidupan mereka jadi lebih maju, harapan mereka ada pada dokter darimanapun ia berasal.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kita harus mengingat kembali bahwa bagaimana perjuangan dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Soetomo, dan pahlawan dokter lain, mereka tidak pernah menghitung-hitung apa yang mereka berikan untuk pasien, apa yang mereka berikan untuk bangsa dan  negara. Nyawa mereka pertaruhkan, di dalam dada mereka ada rasa perikemanusiaan, dalam dada mereka ada rasa kebangsaan yang sangat luas, perjuangan mereka tidak satu jengkal pada tanah kelahiran mereka saja, tidak sesempit pada ruang praktek saja, tetapi melewati batas-batas geografis bahkan hingga daerah terdepan Indonesia. Alangkah baik kita kembali pada nilai positif histori ini dibandingkan kalkulasi pasal-pasal atau prasangka-prasangka lain yang tida ada artinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H