Saya rasa semua hal teresbut sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan dari PPDS dan pun dokter spesialis dimana pun. WKDS harusnya merupakan perjalanan singkat yang sangat mudah dilewati oleh lulusan dokter spesialis selain untuk membayar 'hutang waktu produktif' kepada rakyat juga bisa menempa keahliannya sebagai dokter spesialis. 'Hutang waktu produktif' saya gambarkan sebagai tidak semua orang bisa menjadi dokter, tidak semua orang bisa menjadi spesialis, dibalik bangku yang kita duduki, dan dinginnya ruangan ber-AC dimana kita bekerja dan menuntut ilmu terdapat uang rakyat di dalamnya.Termasuk  uang rakyat dari daerah terdepan Indonesia.
Apabila kita memakai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam mengkaji WKDS tanpa melihat kenyataan yang ada di sisi rakyat merupakan hal yang tidak berimbang. Sedikit gambaran di tempat saya mengabdi, di Kabupaten Mamberamo Raya Papua, masih banyak saya jumpai gizi buruk yang cukup banyak, mereka bisa diibaratkan menunggu giliran mati didalam  hutan yang sepi. Salah satu kejadian, Ibu hamil dengan kehamilan ektopik yang terganggu (kehamilan di luar Rahim) meninggal Karena tidak ada sarana transportasi udara ke kota, dan tidak ada dokter Spesialis Obsgyn di Rumah Sakit pada saat itu.Â
Dan banyak lagi contoh kenyataan pahit potret kesehatan daerah terdepan di Indonesia. Mereka rakyat di daerah terdepan Indonesia tidak pernah berpikir untuk mengadu ke Komnas HAM akan nasib kehidupan mereka, dan mereka tidak mempunyai akses kekuasaan untuk itu. Yang mereka butuhkan adalah bagaimana pelayanan kesehatan berjalan baik, kehidupan mereka jadi lebih maju, harapan mereka ada pada dokter darimanapun ia berasal.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kita harus mengingat kembali bahwa bagaimana perjuangan dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Soetomo, dan pahlawan dokter lain, mereka tidak pernah menghitung-hitung apa yang mereka berikan untuk pasien, apa yang mereka berikan untuk bangsa dan  negara. Nyawa mereka pertaruhkan, di dalam dada mereka ada rasa perikemanusiaan, dalam dada mereka ada rasa kebangsaan yang sangat luas, perjuangan mereka tidak satu jengkal pada tanah kelahiran mereka saja, tidak sesempit pada ruang praktek saja, tetapi melewati batas-batas geografis bahkan hingga daerah terdepan Indonesia. Alangkah baik kita kembali pada nilai positif histori ini dibandingkan kalkulasi pasal-pasal atau prasangka-prasangka lain yang tida ada artinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H