Mohon tunggu...
Nurdin Putra
Nurdin Putra Mohon Tunggu... Dokter - penulis dan praktisi sehat

All for Hypnosis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Laut Perdana ke Persinggahan

12 April 2020   08:57 Diperbarui: 12 April 2020   11:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Sejauh garis melintang kutatap tak geming sejajar sudut mata, biru yang semakin kukejar nan menjauh, tak mungkin diraih. Kulihat nyata garis itu. Entah kemana arah perahu besar melaju, kuyakin diujung sana ada daratan kan kupijak sambil menatap surya mulai meraih langit.

Lintas perdana laut kutempuh menuju tanah Andalas. Bentuk penasaran dari pembicaraan orang tentang daerah ini mendorong keputusan bulat meninggalkan Jakarta, menuntaskan tugas.

Kupegang tepian kapal, logam tebal berbalut pelapis putih tebal menutup korosif garam. Erat kugenggam, takut seraya menahan angin berhembus kencang sekujur tubuh. Aroma laut yang kuat menerpa wajah. Sesekali bunyi tamparan air bersama derunya kapal melaju.

Gelombang laut agak tinggi, pikirku, sambil melihat dikejauhan awan nan gelap seakan hendak menyapa dengan kilatan petir. "Mau hujan?" tanyaku pada seseorang disebelahku. 

Rupanya ada penikmat cakrawala disebelahku. "Mana?" tanyanya sambil mencari tanda hujan, "oh masih jauh awannya" lanjutnya. Aku hanya tersenyum dan seolah paham aku mengangguk. Kadang angin berhembus dingin, tak lepas kupandang awan itu. Jauh... tinggi sekali.

PIkiranku terbang , melayang ke sebuah film dimasaku. Membayangkan sebuah kapal terpantau dari kejauhan dari tempat tertinggi, ditengah samudra luas. Suatu perbandingan ukuran jomplang antara kapal dan laut. Laut terbentang luas , kapalku sebuah titik dan aku.........titik kecil di dalam sebuah titik....

Oh, Tuhan, aku sadar, diriku sangat kecil sekali.

Setitik air menyentuh hidung menyadarkanku, gerimis, kulihat bapak disampingku sudah berlari masuk ke dalam kabin, tak lama hujanpun turun. Aku tertawa dalam hati mengingat bapak tadi mengatakan masih jauh ternyata angin kencang membawa awan itu mendekat. 

Kududuk tenang dekat jendela dan kunikmati buaian ombak nan mengayun. Langit gelap dan cakrawala menghilang. Batas laut tak tegas naik dan turun begitu tinggi di haluan. 

Disebelahku, ibu dan anak merapat menenangkan. Beberapa pria berdiri menikmati ombak. Lambungku melancarkan protes, ya sebentar lagi aku makan, mual, kataku dalam hati. Untung tak lama hujanpun berhenti, rasa nyaman hati luarbiasa.

Terimakasih Tuhan, Engkau sangat baik. Lautpun tenang

Kapal ini ternyata besar dan naluriku membuat penasaran untuk berkeliling menuju buritan. Perahu besar melaju gagah membelah samudra, meninggalkan sayatan buih nan panjang.

Tampak daratan kutinggal hijau lembut semakin jauh, menghilang tertutup awan. "Sudah jauh sekali" gumamku sambil berpikir bagaimana kalau harus pulang sekarang juga, hahaha, tawa dalam hati namun miris, mana mungkin.

Rasa penasaran semakin mengajakku berkeliling perahu besar dan luas ini. Tersesat, tak tahu kemana, "mau kemana pak" tanya seseorang dibelakangku. Aku menoleh "mau ke ruang kantin lewat mana pak?" balik tanyaku. 

"Naik tangga itu, hati-hati licin" katanya tegas. Kunaiki tangga dan terbaca arah kantin. Sarapan sejenak sambil menatap laut. Makanan ini enak tapi perutku menolak, pasti pengaruh ombak tadi, pikirku.

Setelah sarapan berangsur ketepian kapal, banyak penumpang  yang duduk disini, mereka saling kenal. Bermain kartu dan tertawa riuh rendah. Aku melewati mereka dan merapat dipagar kapal. 

Pandanganku menuju bawah kapal, terlihat buih yang sangat banyak ketika beradu dengan badan kapal. Seberapa dalamnya laut ini, pikirku, kulihat kanan dan kiri tak ada orang, "pasti sangat dalam" gumamku lagi. 

Teringat anak-anak kecil yang berenang saat di pelabuhan, menangkap uang logam yang dilempar dan mereka menyelam mengambil ke dalam laut. Mereka senang mendapat uang banyak, semakin bagus atraksi, semakin semangat penumpang melempar koin. 

Lamunanku terhenti ketika ada penumpang berteriak, "jangan terlalu pinggir, tercebur nanti", sambil menarik tangan anaknya, geram. Orang tua yang sangat menjaga anaknya, ujarku dalam hati, bagaimana kalau anak tadi tercebur ke laut dan aku sendirian di sini, buru-buru kutepis lamunanku dan berpindah ke dalam kabin.

3 jam perkiraan lama perjalanan Merak -- Bakauheni seakan tepat, terjaga sekejap, sebentar lagi tiba, kataku dalam hati sambil melihat jam. Semangat timbul, kekuatanku pulih, tetapi kenapa kapal ini berhenti. 

Penumpang lainpun sama, ada yang bertanya, "kenapa berhenti ini kapal, kehabisan bensinkah?" Aku kaget tetapi penumpang semua tertawa, aku bingung. 

Aku bertanya pada ibu disebelahku, "Bu, ada apa, kog berhenti, bukannya sudah dekat?". 

"Sudah biasa dik, kalau jam segini pelabuhan penuh, kapal mesti antri untuk merapat" katanya sambil berguman, "bisa lama ini"

Sedikit tenang aku berjalan kembali ke tepi kapal. Ternyata kapal berhenti dekat sebuah pulau kecil. Kecil tak berpenghuni. Dibangun rumah pasti bagus, jadi rumah perahu, hayalku. 

Tetapi setiap hari, tidak ada tetangga, listrik tak ada, jika sakit, lamunanku tersentak perahu kecil melewati persis di depanku. Sembari memperhatikan kapal nelayan itu berangsur ke laut, terlihat gelapnya laut membuat kubergidik. 

Ini pasti sangat dalam, pikirku sembari menjauh dari tepi kapal. Terbayang ada apa di dalam laut itu, monster, ikan besar, tanyaku dalam hati. Aku takut laut. Hitam sekali.

Pernah aku berenang menyeberang dari pantai ke bagan ikan di tengah laut. Teman-teman mengajak dengan tantangan, siapa berani. 6 orang akhirnya menyeberang. 

Diriku adalah perenang unggul disebuah klub renang, tapi bukan di laut, renungku. Menurut ilmu fisika tubuh menjadi lebih ringan ketika di laut, siapa takut, pikirku. Berenang cepat dan sampai di bagan ikan segera aku naik bilah bambu kokoh itu lalu menoleh ke pantai.

Oh Tuhan..... jauh sekali... teman-temanku sangat kecil diseberang sana.

Kulihat laut nan hitam di bawah bagan, seakan bayang hitam yang bergerak dan melambai di dalamnya. Aku takut tapi mesti jaga pamor. Aku juara renang, berapa ratus meterpun aku terjang. Tapi ini laut hitam. Apakah aku menunggu nelayan menjemput, tapi kapan, tangis hatiku. 

Teman-temanku segera bertolak kembali. Aku mesti ambil keputusan cepat atau bisa bermalam disini. Aku loncat dan mengayuh secepat-cepatnya menyusul semua teman. Aku juara.....hati kecut wajah pucat. Tidak lagi berenang di laut, tekadku.

Kapan kapal ini bergerak, pikirku. Seandainya kapal ini tak bisa merapat, lalu menggunakan perahu kecil untuk berlabuh, sanggupkah aku...... menyeberangi laut hitam ini, itu saja yang melintas dipikiranku. Tiba-tiba......

Daaarrr.... "Lagi pikir apa"

Ampun aku kaget parah setengah melompat. Suara keras mengagetkanku lalu kutengok perlahan, "loh kamu sedang apa di kapal ini, ke Lampung juga?" tanyaku lemas sambil mengembalikan jiwaku yang sempat hilang. Setengah ingat dan lupa. Sepertinya aku ingat, jiwaku terkumpul sudah, "Ita?" kuteriakkan namanya. 

"Sssssttt, iya... nanti semua orang tahu namaku ih.." potongnya cepat. Ita seprofesi denganku, beda universitas. 

"Kamu dapat penempatan di Lampung juga?" tanyaku dan melihat anggukannya. Kataku dalam hati, akhirnya ada teman seperjalanan, aku tenang. "Eh tadi dimana, aku keliling kapal tidak melihat kamu" tanyaku. 

"Aku tidur di mobil, lebih enak di dalam mobil. Kapal terasa berhenti maka aku turun, eh lihat kamu bengong disini" katanya. Enak juga ya bawa mobil, pikirku. 

"Keluarga tidak ikut" tanyaku. "Nanti mereka menyusul selesai pelatihan itu" jawabnya.  Acara pelatihan  dijadwalkan 1 minggu. Diperbolehkan pulang dan diharapkan segera kembali untuk langsung ke daerah yang ditunjuk. Saat pulang nanti aku bawa mobil saja, rencanaku.

Kapal merapat, sempurna berlabuh. Melanjutkan perjalanan bersama teman sangat nyaman. Kuambil alih kendara mobil melaju menyusuri tepian dataran tinggi dipinggir pantai. Jauh memandang terlihat pasir putih terbentang luas dengan batas biru laut yang indah. "Indah sekali laut itu" kataku. 

"Kalianda" decak kagumku. Jauh berbeda disaat berlabuh. pikirku. Laut biru membuat lamunanku terusik, ada apa di dalamnya. "Banyak penyelam ke pantai itu", sambung Ita. Sayang sekali,  waktu tidak tepat membuat wacana tambahan perjalanan sekedar melihat pantai nan putih, tugas menanti kepatuhan waktu. Bayang rencana terpapar dalam impianku minggu depan.

Kelak ke pantai biru itu, akan kubawa keluargaku serta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun