Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Dokter Hewan | Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mewaspadai Penyakit Demam Babi Afrika dan Dampaknya bagi Masyarakat

24 Desember 2024   20:04 Diperbarui: 25 Desember 2024   07:17 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang Dokter Hewan sedang Melakukan Pengawasan Kesehatan Hewan di salahsatu Kandang ternak Babi di Bintan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Penyakit demam babi afrika atau African Swine Fever (ASF) kembali merebak. Penyakit yang pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 2019 ini, bahkan sudah menyebar hingga ke 32 provinsi di Indonesia.  

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 708 Tahun 2024 Tentang Status Situasi Penyakit Hewan, hanya ada 6 provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya belum ada kasus penyakit ASF, yakni Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.

Sementara itu, saat ini kasus ASF justru sedang mewabah di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Sebanyak 1.400 ekor babi dilaporkan mati akibat ASF dari total populasi 18.000 ekor. Padahal, di daerah tersebut, biasanya menjelang Natal dan Tahun Baru permintaan akan daging Babi sangat meningkat.

Lantas, apakah penyakit ASF ini berbahaya?

African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika adalah penyakit viral yang sangat menular dan mematikan pada babi, dengan tingkat kematian yang dapat mencapai 100%.  

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Afrika pada 1920-an dan telah menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Asia. 

Di Indonesia, ASF menjadi ancaman serius bagi industri peternakan babi dan memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat serta perekonomian nasional.

Karakteristik dan Penularan ASF

ASF disebabkan oleh virus DNA dari keluarga Asfarviridae. Virus ini sangat tahan terhadap kondisi lingkungan dan dapat bertahan dalam produk daging babi olahan, seperti sosis atau daging babi kering. 

Penularan ASF terjadi melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, konsumsi produk babi yang terkontaminasi, serta melalui vektor seperti kutu lunak dari genus Ornithodoros. 

Selain itu, praktik pemberian pakan sisa makanan (swill feeding) yang mengandung produk babi terinfeksi juga menjadi sumber penularan. 

Dampak ASF terhadap Peternakan Babi

Wabah ASF menyebabkan kematian massal pada populasi babi. Selain Nabire, beberapa daerah lain juga melaporkan peningkatan angka kematian babi akibat ASF. Misalnya, di Papua, terjadi peningkatan kematian ternak babi di Kampung Nolokla dan Ayapo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. 

Kematian massal ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak, terutama peternak kecil yang menggantungkan mata pencaharian pada ternak babi.

Sementara itu, di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, peternak juga mengalami kerugian besar akibat tingginya angka kematian babi yang disebabkan oleh virus ASF. 

Dampak ASF Terhadap Perekonomian Nasional

Industri peternakan babi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, populasi babi di Indonesia mencapai 8,5 juta ekor, dengan produksi daging babi sebesar 327.215 ton. 

Provinsi dengan populasi babi terbesar antara lain Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Papua.  

Wabah ASF mengancam industri ini, yang berdampak pada penurunan produksi daging babi, hilangnya mata pencaharian bagi sekitar 285.315 peternak rakyat, dan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. 

Dampak terhadap Masyarakat

Meski ASF tidak menular ke Manusia (bukan Zoonosis), namun ASF dapat mempengaruhi aspek sosial masyarakat. Di beberapa komunitas, seperti di Kecamatan Tomoni Timur Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, penyebaran virus ASF pada awal tahun 2023 menimbulkan dampak merugikan terhadap peternak babi. 

Kehilangan ternak babi tidak hanya berarti hilangnya sumber pendapatan, tetapi juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan dan tradisi budaya yang terkait dengan peternakan babi.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian

Hingga saat ini, belum ada vaksin yang efektif untuk ASF. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian difokuskan pada biosekuriti yang ketat, seperti membatasi pergerakan babi dan produk babi, menerapkan sanitasi yang baik, dan menghindari praktik swill feeding.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan status darurat untuk menghadapi wabah ASF dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebarannya. Namun, semua itu tidak akan berhasil jika tidak adanya kolaborasi yang baik antar semua sektor, mengingat persoalan penyakit hewan seperti ASF, ini sejatinya juga bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan hewan semata. Tapi juga tanggung jawab kita semua. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun