Belum lama ini pemerintah menerbitkan aturan baru berkenaan dengan Otoritas Veteriner. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner.
Peraturan yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 28 Agustus 2024 ini dimaksudkan untuk mendorong percepatan pengangkatan Pejabat Otoritas Veteriner (POV) provinsi dan pejabat otoritas veteriner kabupaten/kota.
Maklum, berdasarkan data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan, hingga 31 Agustus 2024, dari 514 Kabupaten/Kota se Indonesia, hanya 318 daerah yang ada POV nya. Atau sekitar 61.87% saja. Sisanya, 196 daerah belum memiliki POV.
Padahal, kewajiban adanya Pejabat Otoritas Veteriner di setiap daerah, telah ada sejak tahun 2017 alias sudah 7 tahun yang lalu.
Mengenal Otoritas Veteriner
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pengertian Otoritas Veteriner adalah kelembagaan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan.
Selanjutnya, berdasarkan lingkup kerjanya, Otoritas Veteriner terbagi menjadi Otoritas Veteriner Nasional, Otoritas Veteriner kementerian, Otoritas Veteriner lembaga pemerintah, Otoritas Veteriner provinsi, dan Otoritas Veteriner kabupaten/kota.
Otoritas Veteriner nasional  berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan nasional.
Adapun keputusan tertinggi Otoritas Veteriner Nasional meliputi keputusan dalam:Â
a. pemberian rekomendasi status bebas Penyakit Hewan menular tertentu untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri;Â
b. pemberian rekomendasi penetapan Wabah Penyakit Hewan menular kepada Menteri;Â
c. pemberian rekomendasi pencabutan penetapan Wabah Penyakit Hewan menular kepada Menteri;Â
d. pembuatan kesepakatan persyaratan teknis Kesehatan Hewan dengan negara lain secara bilateral, regional, dan internasional;Â
e. pemberian rekomendasi penetapan status darurat Veteriner di tingkat nasional kepada Menteri;Â
f. penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterima;Â
g. penetapan analisis risiko Penyakit Hewan terhadap pemasukan Hewan dan Produk Hewan dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. penetapan jenis Obat Hewan yang dapat digunakan yang boleh beredar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;Â
i. penetapan persyaratan Kesehatan Hewan untuk Hewan dan Produk Hewan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;Â
j. pemberian rekomendasi persetujuan untuk pertama kali terhadap negara, zona dalam suatu negara, dan unit usaha asal Hewan dan Produk Hewan kepada Menteri; danÂ
k. pemberian rekomendasi pemasukan dan pengeluaran Hewan, bibit, benih, Produk Hewan, satwa liar, dan Hewan akuatik dari dan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri.
Sementara itu, otoritas veteriner di lingkup kementerian, lembaga negara dan pemerintahan daerah, melaksanakan tugasnya sebagaimana lingkup kewenangan instansi atau daerahnya masing-masing.
Namun demikian, karena Otoritas veteriner tampaknya hanya sebatas pejabatnya saja, maka sejatinya diperlukan badan khusus untuk melaksanakan tugas penting tersebut. Diantaranya adalah mendorong terbentuknya badan kesehatan hewan nasional.
Tanpa kelembagaan ini, kewenangan otoritas veteriner terlihat berjalan tidak optimal. Terbukti, di Kabupaten/Kota misalnya, POV ditempelkan pada struktural yang berbeda-beda. Ada dinas pertanian, ada dinas perikanan, ada dinas peternakan dan lain sebagainya. Bahkan, tidak sedikit pula POV yang kadang berbenturan kepentingan dengan pejabat struktural diatasnya. Maklum, meski disebut Pejabat, tapi faktanya POV bukan menjadi pejabat sesungguhnya.Â
Di tingkat Kabupaten/Kota, syarat diangkat menjadi POV adalah telah ditetapkan sebagai dokter hewan berwenang dan menduduki jabatan paling rendah pengawas pada dinas daerah kabupaten/kota yang membidangi suburusan Kesehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Kemudian, dalam hal struktur organisasi dinas daerah kabupaten/kota terdapat bidang atau seksi Kesehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner, Pejabat administrator (Kepala Bidang) atau pengawas (Eselon IV) yang diisi oleh Dokter Hewan Berwenang, dapat diangkat sebagai pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota.
Sedangkan jika tidak terdapat seksi Kesehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner, dapat diangkat menjadi POV, Dokter Hewan Berwenang dengan jabatan fungsional paling rendah jenjang ahli muda yang melaksanakan tugas di bidang Kesehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner, maka dapat diangkat sebagai pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota.Â
Artinya, POV di Kabupaten/kota tidak selalu diemban oleh pejabat struktural.
Dampaknya, yang sering tampak adalah munculnya dualisme antara kepala bidang kesehatan hewan/ kesmavet yang bukan dokter hewan, dengan POV itu sendiri. Tetapi, tetap saja, karena penilai kinerja POV yang bersangkutan adalah pejabat strukturalnya, maka ia pun sejatinya tidak memiliki otoritas.Â
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya untuk dibentuk Badan Kesehatan Hewan Nasional agar Pejabat Otoritas Veteriner menjadi benar-benar memiliki otoritas.Â
Apalagi, keamanan pangan untuk mewujudkan makan siang gratis (makan sehat bergizi) sebagai program unggulan Presiden terpilih perlu dikawal. Jangan terhambat gara-gara merebaknya wabah penyakit hewan sehingga terjadi penutupan wilayah seperti hanya kejadian wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang terjadi beberapa saat yang lalu. Naudzubillah min dzalik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H