Beberapa hari ini dunia maya Indonesia heboh dengan banyaknya konten yang meroasting Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Di Tiktok misalnya, ada pengguna tiktok yang membagikan pengalamannya yang konon hidupnya berubah setelah dilantik menjadi anggota KPPS. Ada juga yang bercerita kalau mantannya minta balikan lagi ketika tahu ia dilantik jadi anggota KPPS.
Sementara itu, di instagram, tidak sedikit juga orang yang membanggakan ketika telah berhasil menjadi anggota KPPS, karena kabarnya: kalau gagal lolos menjadi anggota TNI/Polri bisa mengulang tahun depan, tetapi kalau gagal lolos jadi anggota KPPS, mengulangnya lima tahun kedepan.
Bagi saya yang pernah menjadi anggota KPPS empat kali (tahun ini kelima kalinya), hebohnya netizen berkenaan dengan KPPS ini juga disebabkan karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pelimu 2024 ini membuat beberapa kegiatan terobosan baru.Â
Seperti pelantikan dan pengambilan sumpah anggota KPPS dilakukan secara serentak se Indonesia dan dikumpulkan dalam satu tempat di setiap Desa/Kelurahan/ Kecamatan/Kabupaten/Kota.Â
Uniknya, ketika hal ini dilaksanakan, seluruh anggota KPPS diwajibkan menggunakan baju hitam putih, bersepatu dan disarankan menggunakan peci berwarna hitam.
Akibatnya, ada beberapa teman yang tidak punya baju hitam putih, malam hari itu mencari pinjaman kesana kemari. Namun, ada juga yang rela merogoh kocek untuk membelinya, katanya: demi tugasnya sebagai anggota KPPS, semua rela ia lakukan. Sebuah kondisi yang dilematis.
Padahal, pada Pemilu sebelumnya, kegiatan pengambilan sumpah dilaksanakan sesaat sebelum pelaksanaan pemungutan suara dilakukan. Artinya, pengambilan sumpah dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing. Bahkan, setahu saya, tidak ada yang namanya pelantikan anggota KPPS.Â
Penggunaan baju hitam putih juga tampaknya hanya sekali digunakan, karena saat pelaksanaan pemilu, anggota KPPS belum tentu menggunakan seragam tertentu. Kecuali pada Pilkada Gubernur Kepri tahun 2020, kami pernah mendapat baju jatah dari KPU.
Selain itu, pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek)anggota KPPS pada pemilu sebelumnya, juga hanya dilakukan di kantor kelurahan/kantor desa. Itupun bersamaan dengan pembagian buku panduan pelaksanaan pemungutan suara.Â
Tidak seperti saat ini, anggota KPPS mengikuti Bimtek yang sebagian besar digelar di hotel. Tetapi sayangnya, setelah Bimtek justru buku panduan KPPS tidak dibagikan kepada anggota KPPS. Kita hanya diberi softcopy buku panduan dalam bentuk pdf.
Bahkan, setelah kegiatan Pelantikan/pengambilan sumpah dan pelaksanaan Bimtek, masing-masing anggota KPPS mendapat uang transportasi. Jujur, ini seingat saya juga belum pernah terjadi pada pemilu sebelumnya.Â
Sehingga wajar, jika netizen menyindir bahwa menjadi anggota KPPS benar-benar dianggap layaknya jabatan orang kantoran. Habis berkegiatan, langsung dapat honor.
Meski demikian, guyonan dan ledekan pada anggota KPPS sebaiknya tidak perlu diperpanjang. Terlalu lucu soalnya. Apalagi jika KPU pada pemilu tahun depan menambahkan aturan: setiap anggota KPPS wajib mengikuti ujian CAT dan uji kompetensi bidang sebelum dinyatakan menjadi anggota KPPS. Makin tertawa kita nanti.
Sudahlah, kembalikan saja esensi anggota KPPS kepada hal yang semestinya. Hindari gimik dan seremonial yang tidak perlu. Karena anggota KPPS sejatinya adalah sukarelawan yang siap mengabdikan pengorbanannya mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.Â
Parameternya: percayakan dan serahkan itu pada lingkungan aparatur terkecil di negeri ini yakni pengurus RT/RW setempat, dengan berpedoman pada kriteria atau syarat yang telah ditetapkan. Apalagi, kita juga telah terbiasa berdemokrasi, seperti pemilihan ketua RT, pemilihan ketua RW dan lain sebagainya.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H