Sebuah visi yang sangat visioner untuk menyongsong kemajuan di Indonesia.
Lantas, mengapa populasi ternak sapi itu turun? Untuk menjawabnya, tentu ada beberapa alasan. Menurut penulis, ada empat alasan mengapa populasi sapi di Indonesia turun.
Pertama, Terjadi pergeseran minat peternak yang awalnya dominan memelihara ternak sapi pengembangbiakan, tetapi saat ini lebih "menyukai" memelihara sapi penggemukan.Â
Dengan kata lain, bisnis persapian saat ini bergeser ke pemeliharaan sapi untuk tujuan dipotong seperti untuk kebutuhan hari raya kurban atau kebutuhan untuk pemotongan hewan harian di Rumah Potong Hewan.
Hal ini dibuktikan dengan jumlah pemelihara ternak sapi potong juga lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan ternak sapi jenis lainnya.Â
Kemudian, bisnis sapi penggemukan juga relatif lebih cepat menunjukkan hasil. Dengan memelihara sapi beberapa bulan, sapi langsung bisa dijual atau dipotong.
Bandingkan dengan memelihara sapi pengembangbiakan, sapi indukan (betina) harus ditunggu hingga bunting, melahirkan dan kemudian dibesarkan. Itupun jika semua tahapan berjalan baik. Jika tidak, betina indukan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk mendapatkan anak.
Di samping itu, memelihara sapi penggemukan juga sejalan dengan data Impor sapi bakalan (sapi yang dipelihara untuk penggemukan). Mengutip Data Kementerian Pertanian (Kementan), yang salah satunya bersumber dari Sistem Nasional Neraca Komoditas menunjukkan, realisasi impor sapi dan kerbau bakalan sepanjang 2019-2022 sebanyak 651.565 ekor (2019), 467.830 ekor (2020), 403.941 ekor (2021), dan 307.392 ekor (2022).
Kedua, faktor wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan penyakit hewan lainnya.Â
Diakui atau tidak, munculnya penyakit hewan juga turut menyumbang penurunan jumlah populasi ternak sapi.Â
Artinya, pemerintah harus serius dalam pengendalian penyakit hewan. Paling tidak, jumlah dokter hewan harus merata di setiap daerah. Ini bagaimana akan menangani persoalan penyakit hewan jika pejabat ororitas veterinernya saja tidak ada.