Hasil sensus pertanian tahun 2023 secara resmi telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Meski masih dalam bentuk Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 untuk Tahap I, namun hasil ini telah dipublikasikan pada 4 Desember 2023 yang lalu.
Rilis tahap 1 ini merupakan hasil pencacahan lengkap usaha pertanian pada 1 Juni--31 Juli 2023. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran rinci mengenai kondisi usaha pertanian Indonesia tahun 2023 menurut subsektor dan beberapa informasi strategis di sektor pertanian.
Mengacu pada data tersebut, ternyata terjadi penurunan populasi ternak sapi yang cukup tinggi, dibandingkan hasil sensus pertanian sepuluh tahun yang lalu (2013).Â
Jumlah sapi pada tahun 2013 di Indonesia berjumlah 13.127.923 ekor, sedangkan pada sensus tahun 2023 ini, jumlah populasi ternak sapi sebanyak 11.318.085 ekor. Atau terjadi penurunan populasi sapi sebanyak 1,809,838 ekor.
Sementara itu, dari 38 provinsi di Indonesia, hanya 7 daerah yang secara provinsi mengalami kenaikan populasi sapi. Sisanya, 31 daerah mengalami penurunan populasi sapi.
Penyebab Penurunan Populasi Sapi
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat antara setuju dan tidak setuju dengan hasil Sensus 2023, tapi yang pasti, BPS merupakan institusi pemerintah yang telah berhasil melaksanakan sensus pertanian dengan sangat baik.Â
Terbukti, sejak republik ini merdeka, setiap 10 tahun sekali, BPS secara profesional memberikan datanya berkenaan dengan kegiatan sensus pertanian.Â
Terlebih, dalam visi yang baru, BPS menegaskan peranannya dalam penyediaan data statistik nasional maupun internasional, untuk menghasilkan statistik yang mempunyai kebenaran akurat dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dalam rangka mendukung Indonesia Maju.Â
Sebuah visi yang sangat visioner untuk menyongsong kemajuan di Indonesia.
Lantas, mengapa populasi ternak sapi itu turun? Untuk menjawabnya, tentu ada beberapa alasan. Menurut penulis, ada empat alasan mengapa populasi sapi di Indonesia turun.
Pertama, Terjadi pergeseran minat peternak yang awalnya dominan memelihara ternak sapi pengembangbiakan, tetapi saat ini lebih "menyukai" memelihara sapi penggemukan.Â
Dengan kata lain, bisnis persapian saat ini bergeser ke pemeliharaan sapi untuk tujuan dipotong seperti untuk kebutuhan hari raya kurban atau kebutuhan untuk pemotongan hewan harian di Rumah Potong Hewan.
Hal ini dibuktikan dengan jumlah pemelihara ternak sapi potong juga lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan ternak sapi jenis lainnya.Â
Kemudian, bisnis sapi penggemukan juga relatif lebih cepat menunjukkan hasil. Dengan memelihara sapi beberapa bulan, sapi langsung bisa dijual atau dipotong.
Bandingkan dengan memelihara sapi pengembangbiakan, sapi indukan (betina) harus ditunggu hingga bunting, melahirkan dan kemudian dibesarkan. Itupun jika semua tahapan berjalan baik. Jika tidak, betina indukan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk mendapatkan anak.
Di samping itu, memelihara sapi penggemukan juga sejalan dengan data Impor sapi bakalan (sapi yang dipelihara untuk penggemukan). Mengutip Data Kementerian Pertanian (Kementan), yang salah satunya bersumber dari Sistem Nasional Neraca Komoditas menunjukkan, realisasi impor sapi dan kerbau bakalan sepanjang 2019-2022 sebanyak 651.565 ekor (2019), 467.830 ekor (2020), 403.941 ekor (2021), dan 307.392 ekor (2022).
Kedua, faktor wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan penyakit hewan lainnya.Â
Diakui atau tidak, munculnya penyakit hewan juga turut menyumbang penurunan jumlah populasi ternak sapi.Â
Artinya, pemerintah harus serius dalam pengendalian penyakit hewan. Paling tidak, jumlah dokter hewan harus merata di setiap daerah. Ini bagaimana akan menangani persoalan penyakit hewan jika pejabat ororitas veterinernya saja tidak ada.
Berdasarkan data dari Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, per 1 Desember 2023, dari 514 Kabupaten/Kota, yang memiliki pejabat Otoritas Veteriner hanya 277 kabupaten/kota atau hanya 53,89%. Sisanya yakni 237 kabupaten/kota se Indonesia belum memiliki pejabat otoritas veteriner.
Ketiga, pengalih fungsian lahan pertanian, di dalamnya terdapat lahan gembala peternakan menjadi kawasan lainnya.Â
Hal ini terlihat dari jumlah lahan pertanian yang mengalami penyempitan setiap tahunnya. Sebagai contoh, luas lahan baku sawah nasional sebesar 8,07 juta ha pada 2009. Angkanya kemudian menyusut menjadi sebesar 7,46 juta ha pada 2019.Â
Selain itu, mengutip dari CNBC Indonesia, BPS juga mencatat, mayoritas atau 15,89 juta petani hanya memiliki luas lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Sebanyak 4,34 juta petani lahan pertaniannya hanya di kisaran 0,5- 0,99 ha.Â
Kemudian, petani yang luas lahan pertaniannya sebesar 1-1,99 ha sebanyak 3,81 juta jiwa. Petani yang luas lahannya di kisaran 2-2,99 ha hanya sebanyak 1,5 juta jiwa. Di atas luasan itu, jumlah petaninya tak sampai 1 juta jiwa. Maknanya, sudahlah luasan menurun, jumlah luasan lahan yang diusahakan pun juga tidak luas.
Keempat, penurunan populasi ternak sapi diakibatkan karena faktor lain.Â
Bisa jadi karena persoalan di pemerintahan daerah seperti tidak fokusnya kepala daerah untuk mendorong sektor peternakan, maraknya penggabungan atau peleburan organisasi perangkat daerah (OPD) yang membidangi sektor peternakan, adanya penurunan minat generasi muda terhadap sektor peternakan, lemahnya regulasi yang mendukung sektor peternakan dan faktor-faktor lainnya.
Namun demikian, semoga potret penurunan populasi ternak sapi tahun 2023 ini dapat menjadi bahan evaluasi pemerintah. Paling tidak, memberikan gambaran bahwa persoalan persapian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Selanjutnya, semoga ini juga menjadi penyemangat kita untuk terus peduli terhadap persoalan pangan. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H