Baru-baru ini kita dikejutkan dengan adanya pemberitaan tentang matinya hewan peliharaan milik seorang publik figur tanah air.
Pasalnya, hewan yang dipeliharanya bukan hewan biasa. Melainkan hewan liar, yakni anak harimau benggala.
Meski bukan termasuk dalam satwa dilindungi di Indonesia, tapi status hewan tersebut menurut Lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN), masuk ke dalam status satwa yang terancam punah di dunia.
Baca juga: Peran Strategis Sektor Perunggasan Bintan
Lantas, mengapa seseorang dapat memelihara hewan liar di rumahnya dan mati? Ini yang patut disimak.Â
Karena menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, pihaknya akan menunggu hasil pemeriksaan penyebab kematian anak harimau itu dan terbuka kemungkinan mengevaluasi izin penangkaran.
Diketahui, saat ini tim dokter hewan tengah melakukan nekropsi atau pembedahan mayat dan mengambil sampel organ dari bangkai harimau Benggala itu untuk selanjutnya dikirim ke laboratorium primata di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Cara Memperoleh Izin Memelihara Satwa Liar
Dikutip dari tirto.id (23/10/2019), cara membuat surat izin memelihara hewan langka adalah dengan mengajukan proposal izin penangkaran atau memelihara hewan ke BKSDA setempat.Â
Kemudian, menyerahkan salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk perseorangan dan akta notaris untuk badan usaha.
Setelah itu, menyertakan Surat Bebas Gangguan Usaha dari kecamatan setempat, yang berisi keterangan bahwa aktivitas penangkaran dan pemeliharaan hewan tidak mengganggu lingkungan sekitar. Selain itu, juga memberikan bukti tertulis asal usul indukan hewan langka yang dipelihara.
Adapun syarat untuk memelihara atau memperjualbelikan hewan liar adalah Hewan yang dimanfaatkan untuk peliharaan atau diperjualbelikan harus didapatkan dari penangkaran, bukan dari alam dan Hewan liar yang boleh dimanfaatkan yang berasal dari penangkaran merupakan kategori F2.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Kategori F2 adalah hewan generasi ketiga yang dihasilkan dari penangkaran.Â
Untuk memastikan bahwa hewan merupakan kategori F2, terdapat syarat yakni pernyataan asal usul hewan dari pihak berwenang. Kemudian, dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kesiapan teknis, mencakup kandang tempat penangkaran atau pemeliharaan, kesiapan pakan, dan perlengkapan dalam memelihara hewan yang dilindungi.Â
Selain itu, juga memiliki Surat Rekomendasi dari kepala BKSDA setempat, jika hewan berasal dari daerah lain.
Pertimbangan Sebelum Memelihara Hewan Liar
Memelihara hewan liar sejatinya telah diatur oleh pemerintah. Sehingga, masyarakat boleh saja memeliharanya, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
Namun demikian, sebelum memelihara satwa liar, patut kiranya kita mempertimbangkan lima faktor agar tidak justru menimbulkan dampak negatif. Lima faktor tersebut adalah:
Pertama, hewan liar merupakan satwa liar yang bukan termasuk hewan kesayangan.Â
Satwa liar merupakan hewan yang habitatnya memang di alam (liar), bukan untuk dipelihara (didomestikasi).Â
Jika didomestikasi, dikhawatirkan ada banyak perubahan pola hidup dan perilaku yang berubah dari satwa liar yang dipelihara. Sebagai contoh, Awalnya mereka sangat cekatan dalam berburu mangsa, kini ia hanya pasrah dan bahkan naluri memburunya tidak berkembang dengan baik. Hal ini tentu tidak baik untuk perkembangan satwa itu sendiri.
Kedua, Meski terlihat jinak, sifat liar dari satwa liar sejatinya tidak dapat diubah sepenuhnya.Â
Sehingga jangan heran (dan tidak boleh disalahkan) jika dikemudian hari ia akan menyakiti tuannya. Kejadian seperti ini kerap terjadi di berbagai daerah.
Ketiga, memelihara satwa liar membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Meski ukuran kebutuhan biaya sangat subyektif, (tergantung pemeliharanya), namun sejauh ini belum ada pakan hewan pabrikan yang dibuat khusus untuk satwa liar. Kalaupun ada, tidak dikomersialkan secara luas.
Sehingga kebutuhan pakannya harus berasal dari daging (karnivora). Pemakan daging, atau satwaboga adalah makhluk hidup yang memperoleh energi dan nutrisi yang dibutuhkan dari makanan berupa jaringan hewan, baik sebagai pemangsa maupun pebangkai.
Keempat, memelihara satwa liar membutuhkan perhatian yang lebih dari pemeliharanya.
Berbeda dengan hewan domestik, memelihara satwa liar dari sisi manajemen pemeliharaannya sejatinya membutuhkan usaha yang lebih tinggi. Pasalnya, hewan liar sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Seperti keramaian lingkungan sekitar.
Di alam terbuka, hewan jenis ini cenderung untuk mencari ketenangan dan sering berpindah tatkala ada perubahan cuaca. Ia akan menyesuaikan sesuai dengan kondisi yang nyaman bagi dirinya. Bahkan, hewan ini juga dikenal dengan hewan penjelajah.
Sehingga, dengan upaya pengurungan atau domestikasi, sifat-sifat ini harus disesuaikan. Jika tidak mampu bertahan, bukan tidak mungkin hewan tersebut justru akan mati.
Kelima, domestikasi diluar lembaga konservasi, justru membuat keturunan hewan liar tersebut menjadi berkurang dan punah.
Upaya konservasi yang telah dilakukan di lembaga konservasi (seperti kebun binatang dan taman safari), kadang menemui kendala dalam pengembangbiakan satwa liar. Apalagi jika dipelihara di rumah? Ini yang patut menjadi perhatian.
Mari kita bijak dalam memelihara hewan kesayangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H