Mohon tunggu...
Iwan Berri Prima
Iwan Berri Prima Mohon Tunggu... Dokter - Pejabat Otoritas Veteriner

Seorang Dokter Hewan | Diidentifikasi oleh Google sebagai Pengarang | Pejabat Eselon III di Pemda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Besar Keagamaan dan Ancaman Keamanan Pangan

18 Maret 2023   14:39 Diperbarui: 18 Maret 2023   14:43 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pengawasan Keamanan Pangan Asal Hewan (Sumber: Pemkab Bantul, DIY)

Hari besar keagamaan dan ramadan, biasanya merupakan momentum yang sering dimanfaatkan oleh produsen pangan atau pedagang untuk menaikkan harga pangan. 

Diluar faktor lain yang memang sejatinya harga produksi yang mahal, hal ini masih dianggap wajar. Mengingat, dimomen seperti itu, kebutuhan akan barang, khususnya sembilan bahan pokok (Sembako), termasuk daging segar akan mengalami kenaikan. Maklum, daging segar kerap menjadi bahan pangan (menu wajib) bagi masyarakat ketika ramadan.

Dalam hukum ekonomi, jika permintaan meningkat, normalnya maka akan diikuti pula dengan kenaikan harga. Walakin, khusus untuk harga Sembako, pemerintah telah mengaturnya, diantaranya melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Jangan Tergiur Harga Murah

Sebagai konsumen yang cerdas, sebaiknya kita jangan tergiur dengan harga yang murah. Tetapi perhatikan kualitas dan keamanan pangan dari bahan pangan yang akan kita beli. Kecuali, kegiatan pasar murah yang memang diinisiasi oleh Pemerintah.

Selain itu, harga pangan yang murah di kala menjelang Hari Besar Keagamaan justru menjadi indikasi adanya keanehan (anomali) dalam perdagangan. Karena bukan tidak mungkin, oknum produsen/ pedagang akan mengambil kesempatan dengan berbuat curang. Memberikan harga murah, agar dagangannya, lekas laku terjual.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Pangan Olahan Asal Hewan adalah makanan atau minuman yang berasal dari produk Hewan yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

Dalam praktiknya, ditengah tingginya permintaan akan pangan asal hewan (daging dan telur), terutama menjelang ramadan dan hari besar keagamaan islam (HBKI), pelanggaran keamanan pangannya sering kita temukan. Seperti daging sapi glonggongan, daging sapi oplosan (dicampur dengan daging babi/celeng), ayam berformalin, ayam mati kemarin (ayam tiren), telur pecah, telur tidak higiene, telur palsu, daging ayam pakai pewarna dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, upaya peningkatan keamanan pangan harus menjadi perhatian bagi kita semua.

Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran, yaitu cemaran biologis, kimia, dan fisik atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 

Dalam penjaminan higiene dan sanitasi pangan, dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada rantai produksi produk Hewan. 

Pada produk pangan asal hewan, cara yang baik pada rantai produksi produk hewan memiliki lima titik kritis yang patut diperhatikan.

Kelima titik kritis tersebut adalah pengawasan dan penerapan hiegene sanitasi pada: tempat budidaya; di tempat produksi pangan asal Hewan; di rumah potong Hewan; di tempat pengumpulan dan penjualan; dan dalam pengangkutan.

Pengawasan Keamanan Pangan Terpadu

Langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Dinas yang membidangi urusan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) dalam pengawasan pangan terpadu, untuk merespon maraknya peredaran daging segar bermasalah, patut kita apresiasi.

Biasanya, tim ini akan melakukan inspeksi ke pasar, mengecek kondisi daging segar yang diperdagangkan, dan memberi teguran kepada pedagang yang terbukti menjual daging segar yang tidak layak dikonsumsi.

Namun, tampaknya upaya inipun menemui jalan terjal. Pasalnya, tidak semua daerah mampu melakukannya. Hanya pemda yang memiliki urusan Kesmavet saja yang melakukannya. Hal ini sebagai dampak bahwa urusan kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner adalah urusan pilihan bagi pemda. Setiap Pemda tidak memiliki kewajiban menjalankan urusan itu.

Meski demikian, kita patut sependapat sebagaimana apa yang telah disampaikan Sudaryatmo (Yayasan Layanan Konsumen Indonesia), bahwa maraknya peredaran daging tidak layak konsumsi juga tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sudah waktunya, pedagang yang terbukti menjual daging bermasalah, tidak hanya didekati terbatas pada pelanggaran administrasi belaka, tetapi sebagai perbuatan kriminal yang bisa diancam pidana. 

Dasarnya adalah Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya pada pasal 8 ayat (1) tentang larangan pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar. Dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimal 2 (dua) milyar rupiah.

Mari kita bijak, karena kesehatan adalah segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun