Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Menanti Waktu Berhenti

22 Januari 2019   06:43 Diperbarui: 22 Januari 2019   07:31 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.

Hanya menantikan waktu untuk berhenti.

Semua beban tubuhku telah terangsur menghilang bersamaan dengan berbagai cairan yang keluar terus-menerus.

Aku tidak kuat untuk meminta mereka berhenti berlari. Bahkan untuk bersuara pun, aku sudah lelah.

Tuhan, apakah memang ini semua harus berakhir?

Pakaianku kusam, mukaku penuh lebam, apakah ini layak untuk menghadap-Mu?

Aku masih ingin membalas senyuman dari matahari yang membias di jendelaku.

Aku masih ingin menyanyi bersama suara kendaraan yang berlalu lalang di saat berangkat kerja.

Aku sudah tidak kuat untuk semua ini, Tuhan.

Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.

Hanya menantikan waktu untuk berhenti.

Aku masih menyimpan rindu akan seorang cowok nun jauh di sana.

Ya, cowok yang aku kenal hanya melalui dunia maya belaka.

Dia bukanlah tampan untuk ukuran orang tempatku, namun perilakunya sangatlah menyenangkan.

Mungkin dia sudah sibuk dengan kerjaannya melayani para orang sakit di sana.

Sedangkan aku sendiri, masih melawan segala rasa sakit yang datang silih berganti.

Hanya karena hasrat sepihak yang tak terbendungi lagi.

Aku sudah tidak kuat lagi, Tuhan.

Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.

Hanya menantikan waktu untuk berhenti.

Tuhan, aku belum siap menghadapmu dalam keadaan yang kotor ini.

Kenapa cowok kurang ajar itu harus datang lagi setelah sekian lama?

Apa yang dia mau dari sosok aku yang tidak punya apa-apa ketimbang dia?

Cinta? Aku sudah muak melihat wajahnya bahkan mendengar namanya pun.

Harta? Dia malah lebih kaya dari aku, bahkan dia hanya gunakan itu untuk bermain wanita lain.

Kebahagiaan? Itu hanya untuk dirinya saja, sepihak.

Kenapa harus aku, Tuhan? Aku masih ingin menjadi orang yang berguna bagiMu, Tuhan.

Berikan aku secercah harapan untuk kembali tersenyum di pagi esok, Tuhan.

Aku sudah tidak berdaya lagi hanya untuk menggerakkan mulut ini untuk berharap.

Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.

Hanya menantikan waktu untuk berhenti.

Ah, sepertinya ada satu orang tinggi berjubah hitam datang ke hadapanku.

Datang dengan watak yang tegas dengan penuh keikhlasan,

Dia membawa jam dan menunjukkan padaku sisa waktuku sekarang ini.

Aku ingin mencoba nego orang tersebut, namun dia menggeleng dengan kerasnya.

"Waktumu sudah habis!". Kata dia dengan tegas,

Segala cairan yang ada pun sudah mulai melambat dengan konstan.

Tubuh pun mulai terasa ringan, hanya menyisakan sebuah kerelaan

Ya, aku sudah merelakan apa yang akan terjadi bagiku ini.

Tuhan, jika memang waktu tidak bisa dihentikan lagi. Aku mau titip pesan satu saja,

"Tolong jaga cowok baik itu dengan sungguh-sungguh.

Biarkan aku melindunginya untuk seumur hidupnya dari sini.

Aku tidak ingin dia menjadi cowok yang kurang ajar itu.

Cowok yang hanya mementingkan urusan hasrat belaka hingga melakukan ini untukku.

Biarkan aku menjadi malaikat untuknya, Tuhan.

Karena, aku benar-benar mencintainya.

Maafkan aku, Cintaku. Sampai jumpa lagi! Matur nuwun!"


--- NY --

This is not the end of us                                                                                                                                  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun